Chapter 2 - Mulai Tergoda Pesona ‘Daun Muda’

2027 Kata
Matthew menatap wajah istrinya dengan mimik terkejut. “Permintaan macam apa itu, Vivian?” ucapnya heran. “Istri macam apa yang secara gamblang meminta supaya suaminya menikah lagi?” Sepasang manik milik Vivian nampak sedikit berkaca-kaca. “Kamu tahu, aku sudah tidak bisa hamil lagi. Tapi kamu masih bisa punya an …,” lirihnya. “No,” potong Matthew dengan sorot dingin. “Aku tidak akan menuruti permintaan bodohmu. Case closed dan aku harap kamu tidak akan membahas hal ini lagi.” Setelahnya, sebuah senyum merekah di sudut bibir Vivian. Dicubitnya ujung hidung Matthew yang mancung itu dengan gemas. “Kamu terlalu serius, sayang,” katanya. Dia menangkupkan paras tampan Matthew dengan tangan kanannya lalu mencium bibirnya selama tiga detik. “Aku cuma bercanda,” bohongnya, persis di hadapan wajah Matthew. “Damn,” gumam Matthew yang jadi ikut-ikutan tersenyum karena istrinya. “Kamu sungguh membuatku jantungan. Apa aku harus menghukummu, hm?” godanya, lalu lanjut memeluk tubuh Vivian dari belakang dan menggelitiki pinggang rampingnya. “Stop. Jangan, sayang, geli,” pinta Vivian sambil terus meronta dan mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan Matthew yang kuat dan perkasa. Namun Matthew tidak peduli. Dia menyeringai, dan gelitikan tangannya mulai berubah jadi remasan-remasan lembut yang begitu membangkitkan gairah. Bibirnya mendarat tepat di atas leher dan pundak Vivian, sementara tangannya mulai naik ke atas untuk memijit satu gundukan kembar milik Vivian yang tak tertutup bra. “Ahh …,” desah Vivian sambil meremas paha Matthew. Kemesraan keduanya terpaksa harus terhenti saat seseorang membunyikan bel rumah. “Tunggu sebentar,” ujar Matthew yang dengan sigap mengakhiri ciuman dan sentuhan tangannya dari atas tubuh Vivian. Dia lanjut membuka pintu rumahnya dan tersenyum dengan lebar saat melihat kedatangan Alvarina, teman baik Vivian, yang dua hari sebelumnya sudah diberitahu olehnya untuk mampir. Siapa tahu dengan menghabiskan waktu bersama temannya Vivian bisa jadi lebih senang, pikir Matthew. “Vivian! Kita kedatangan tamu spesial!” panggilnya semangat. Dihampirinya Matthew dengan langkah cepat. “Alvarina?” sapa Vivian. “Hey,” sahut Alvarina seraya tersenyum dan memeluk tubuh kawannya. Dia melepas pelukannya dan lanjut bicara. “Lama tak berjumpa. Bagaimana kabarmu, Cantik? Matthew yang sengaja memanggilku, dan kebetulan aku sedang tidak sibuk makanya aku bisa mampir ke rumahmu. Temani aku belanja di mall, ya?” ajaknya. Vivian menggeleng sambil tersenyum tipis. “Maaf, aku sedang tidak minat pergi ke mall,” tolaknya. “Come on! Pasti asik rasanya lihat-lihat barang branded di shopping center. Kita bisa sekalian makan dan belanja bersama,” bujuk Alvarina. Dia lanjut menatap Matthew. “Iya, kan, Matt?” tanyanya. “Pergilah, sayang,” kata Matthew sembari mengusap pipi kiri Vivian dengan ibu jarinya. “Aku juga sudah belikan kalian dua tiket salon dan spa. Gratis,” sambungnya. “Ah, thanks, Matthew!” tutur Alvarina. Vivian menghela nafas panjang. “Okay, aku ikut,” katanya. Dia mengecup bibir Matthew. “Terima kasih, sayang,” gumamnya. ***** Siangnya, karena Vivian masih asik memanjakan dirinya di salon dan tempat spa, maka Matthew memutuskan untuk mengikut dua kolega kerjanya yaitu Allan Keskula dan Ragnar Valbe untuk menghabiskan waktu main golf bersama di Green Hill Golf House—lapangan golf favoritnya. “Memangnya istrimu lagi tidak ada di rumah?” tanya Allan yang sedang sibuk memilah bola golf. Matthew menggeleng. “Dia sedang pergi dengan temannya,” jawabnya sambil memposisikan tongkat golf-nya untuk diayun. “Aku turut prihatin dengan kondisi psikis istrimu, kawan. Kalian sudah coba mempertimbangkan soal adopsi anak?” timpal Ragnar. “Vivian tidak mau mengadopsi anak,” jawab Matthew yang masih fokus pada bola golf dan tongkat golf-nya. “Pakai bayi tabung pun tidak bisa?” tanya Ragnar bingung. “Mustahil. Bukankah dokter sudah mengangkat rahim Vivian?” komentar Allan. “Sorry, aku baru tahu. Aku pikir Vivian masih bisa hamil,” tutur Ragnar canggung. Matthew hanya tersenyum tipis. Sesudah dia selesai mengayun tongkat golf-nya, perhatian dan arah pandangnya lantas berpaling—bukan pada apakah bola golf-nya berhasil masuk lubang atau tidak, melainkan pada seorang perempuan muda yang sedang berdiri tak jauh darinya. Perempuan itu, Amanda Roos Marilena namanya, sungguh menarik bagi Matthew. Selain karena wajahnya yang manis, rambutnya yang dikuncir satu itu juga nampak halus dan tebal. Dia mengenakan kaus polo warna putih, yang dipadupadankan dengan sepatu kets serta celana pendek yang warnanya senada dengan warna kausnya. Kulitnya bersih mulus, nyaris tanpa celah. Kakinya jenjang. Rasio dan lekuk tubuhnya benar-benar harmonis dan pas. Payudaranya juga terlihat kencang, padat dan berisi. Terlepas dari penampilan fisiknya yang aduhai, yang paling memancing pandangan Matthew adalah dikarenakan wajah Amanda mengingatkannya akan wajah Luana, cinta pertamanya yang berakhir dengan tragis. Sebuah senyum nakal menghiasi wajah Allan saat dirinya tahu ke arah mana Matthew terus memandang. “Eh, dasar mata keranjang,” guraunya. “Apa maksudmu? Aku lagi memperhatikan apa bolaku sudah masuk atau belum,” sanggah Matthew yang terlihat sedikit salah tingkah. “Ah, bohong kau,” tutur Ragnar. Dia dan Allan lalu terkikik geli. Matthew hanya bisa menggelengkan kepalanya, mencoba mengumpulkan kembali fokusnya yang sempat buyar. Dia beranjak mengambil bola golf yang baru, meletakkannya di atas tee, lalu mengayunkan tongkat golf-nya lagi. Matanya terbuka lebar saat dirinya mendapati kalau bola golf-nya tidak masuk ke lubang, melainkan tak sengaja terpental dan mengenai gundukan kembar milik Amanda. Gerakan mengayun Matthew pasti jadi tidak tepat sasaran karena kehadiran Amanda di dekatnya. ‘Oh, f**k,’ umpat Matthew dalam hati. Amanda lantas menghampiri Matthew dan mengembalikan bola golf itu padanya. “Bola ini punyamu?” tanyanya agak risih. “Iya. Sorry,” ucap Matthew sembari mengambil bola golf itu dari tangan kanan Amanda. Jari-jari tangannya tanpa disengaja bersentuhan dengan jari-jari tangan Amanda—dan dugaannya tidak meleset, kulit Amanda terasa begitu lembut. “Tidak apa-apa,” kata Amanda, lalu pergi meninggalkan Matthew dan kembali ke tempatnya semula. “s**t, bodohnya aku,” gumam Matthew sambil memperhatikan bola golf itu. Allan lanjut menggoda kawannya, “Kau pasti sengaja mengarahkannya ke payudaara perempuan itu, kan? Untung ukuran bolanya kecil, kalau besar bagaimana?” “Coba lihat dirimu, kau begitu kikuk, kawan,” seru Ragnar. Matthew langsung mengalihkan topik pembicaraan, “Sudahlah. Ayo, kita tanding lagi. Yang kalah harus traktir minuman, oke?” Sorenya, hujan deras yang disertai angin kencang turun dan membasahi lapangan rerumputan hijau Green Hill Golf House. Karena sedang tidak bawa mobil, Matthew memutuskan untuk menunggu sebentar di kafetaria yang letaknya ada di samping lapangan golf, sementara Allan dan Ragnar sudah terlebih dulu pulang sejak sepuluh menit yang lalu. Dia lanjut menghubungi Vika, asisten rumah tangganya. “Suruh sopir untuk menjemputku sekarang di Green Hill Golf House,” perintahnya. “Baik, Tuan,” kata Vika. Panggilanpun berakhir. Dia lanjut menatapi langit berwarna abu-abu gelap yang sesekali dihiasi dengan kilat yang menyambar itu. “Semoga Vivian sudah pulang. Hujannya deras sekali …,” gumam Matthew khawatir. ***** Selepas menemani Caesar Maximilian—kekasihnya—bermain golf, Amanda tak langsung diantar pulang. Mobil tesla hitam yang jadi tempatnya dan Caesar bernanung masih betah berada di lapangan parkir, diguyur derasnya hujan dan dinginnya angin yang berhembus. “Terima kasih sudah menemaniku main golf hari ini, sayang,” ujar Caesar, yang sedang duduk di kursi pengemudi di samping Amanda, sembari mengusap-usap paha mulus Amanda yang tak tertutup celana pendeknya. Disingkirkannya tangan Caesar dari atas pahanya dengan pelan. “Antar aku pulang sekarang,” pinta Amanda. Caesar langsung menolak, “Tunggu dulu, jangan buru-buru. Kita masih punya banyak waktu, kan?” Dia beralih mendekati tubuh Amanda, menangkupkan wajahnya dengan tangan kanannya, lalu lanjut menatap wajah Amanda dengan sorot dan gerak-geriknya yang begitu mendominasi. “Memangnya kamu mau ke mana?” tanyanya. Amanda membuang muka. “Masih ada kerjaan yang harus aku selesaikan,” jawabnya sambil menatapi dashboard mobil Caesar. “Mau aku bantu? Kita bisa menyelesaikannya bersama di apartemenku,” ajak Caesar dengan seringai rubahnya. Dia lanjut menatapi gundukan ranum milik Amanda, lalu meremasnya satu dengan tangan kanannya. “Jangan!” bentak Amanda sambil menyingkirkan tangan kanan Caesar dari atas gundukan ranumnya. Caesar masih belum mau menyerah. Dia mendaratkan bibirnya ke atas bibir Amanda lalu menyentuh paha bagian dalam milik Amanda, nyaris mengenai daerah kewanitaannya. Dia melepas ciumannya yang memberikan kesan kasar dan menuntut itu selang beberapa detik kemudian. “Let’s f**k with me, baby … Tak akan ada yang melihat kita di sini,” ujarnya dengan nada bicara yang terdengar lebih berat dari sebelumnya. Tanpa mempedulikan respon apa yang akan diberikan oleh Amanda, dengan lancang Caesar mendaratkan bibirnya kembali ke atas bibir Amanda sambil mengangkat tubuhnya untuk berpindah duduk di atas pangkuannya. “Mphh!”erang Amanda sambil memukul-mukul d**a Caesar yang bidang. Dia melepas ciuman itu dan lanjut bicara sambil meremas sepasang gundukan ranum milik Amanda. “Mau pindah ke jok belakang?” ajak Caesar. “Aku bawa k0ndom dan pelumas,” bisiknya persis di depan telinga Amanda. Amanda bisa merasakan dengan jelas bagaimana batang berurat milik Caesar yang semakin mengeras itu menekan b****g serta daerah intimnya. Tapi alih-alih membuatnya ikut b*******h, hal itu malah membuatnya dongkol dan agak jijik. “Aku sedang tidak ingin berciinta denganmu,” tolaknya serius. Caesar Maximilian yang memang terkenal kepala batu dan selalu menghalalkan segala cara guna mendapatkan apa yang dia inginkan itu kembali mencium Amanda, kali ini leher jenjangnya yang jadi sasarannya. Amanda yang sudah kadung kesal lantas mendorong tubuh Caesar dan menjauhinya. Dia lanjut duduk di atas kursinya kembali dengan raut wajah masam. “Please, sayang, kamu sudah membuat milikku ‘tegang’,” desak Caesar yang masih ogah menjauhi tubuh kekasihnya. Tangan kirinya lagi-lagi bergerak untuk meremas dan memainkan gundukan kenyal milik Amanda. “Menjauh dariku!” bentak Amanda sambil mendorong tubuh Caesar ke belakang. Emosinya seketika meningkat drastis. “Kelakuanmu sungguh lebih rendah daripada binatang!” ejeknya. Kesal melihat raut wajah Amanda dan tak terima derajatnya direndahkan, tanpa sadar Caesar mengayunkan tangan kanannya ke udara lalu mendaratkannya dengan kasar ke atas pipi kiri Amanda—membuatnya merah seketika. Tapi hanya berselang beberapa detik kemudian Caesar langsung meminta maaf karena sudah menyakiti hati kekasihnya, lagi. Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya. “Sial, sial, sial, maafkan aku, sayang. Aku tak bermaksud menamparmu,” kata Caesar. Namun Amanda tak peduli. Dia lanjut mengambil handbag-nya, lalu pergi meninggalkan Caesar secepatnya. “Tunggu! Kamu mau ke mana?! Di luar masih hujan!” teriak Caesar sambil menatapi Amanda, yang sudah berlari membelah derasnya hujan. Melindungi diri dari terpaan air hujan, Amanda memutuskan untuk mengunjungi kembali kafetaria Green Hill Golf House. Di sana, dia bertemu dengan Matthew, yang kebetulan masih duduk sendirian menunggu kedatangan sopirnya. “Kamu laki-laki yang tadi melemparku dengan bola golf, kan? Kenapa belum pulang?” tanyanya, lalu menarik kursi dan duduk di seberang Matthew. “Kamu sendiri? Kenapa masih di sini?” tanya Matthew sambil tersenyum manis. Amanda tidak menjawab. Matthew lanjut bicara, “Aku sedang menunggu sopirku.” Dia mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Amanda, “Matthew.” “Amanda,” sahut Amanda sambil menjabat tangan kanan Matthew. “Aku ke sini dengan kekasihku,” imbuhnya. “Lalu? Dia ada di mana?” tanya Matthew. “Jangan bilang dia tega meninggalkan perempuan secantik dirimu sendirian di tengah hujan begini?” sarkasnya. Lagi-lagi Amanda lebih memilih untuk mengunci mulutnya. Diperhatikannya sejenak wajah Amanda sambil mengernyitkan dahinya. “Pipimu kenapa? Kelihatannya agak … memerah?” tanya Matthew cemas. Amanda menggeleng. “Aku cuma lagi kedinginan. Nanti juga sembuh sendiri,” bohongnya. Dia lanjut memperhatikan gelas kosong yang ada di atas meja di hadapan Matthew. “Jangan memperhatikan wajahku seperti itu, kamu membuatku merasa tidak nyaman,” akunya. “Maaf,” ucap Matthew dengan senyum getirnya. “Hanya saja … kamu mengingatkanku akan seseorang.” Barulah Amanda menatap wajah Matthew kembali. “Siapa?” tanyanya penasaran. “Lupakan saja,” gumam Matthew sambil menggeleng. Dia lanjut memperhatikan sejenak kaus polo yang sedang dikenakan oleh Amanda, lalu inisiatif melepas jaket warna hijau army-nya. “Bajumu basah. Ini, pakai jaketku dulu,” katanya. “Thanks.” Dan seseorang yang wajahnya paling tidak mau dilihat Amanda lagi pun datang menghampiri kembali. “Oh, kekasihku ada di sini rupanya?” cetus Caesar cemburu. ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN