Aku terbangun dari tidurku, lagi-lagi bajuku sudah basah dengan keringat. Mimpi itu terus datang di setiap malam tidurku, aku sudah mulai terbiasa dengan mimpi-mimpi buruk itu. Sudah satu minggu sejak kejadian dimana aku pertama kali bertemu dengan iblis di dunia nyata. Aku teringat sehari setelahnya, aku bertemu lagi dengan lelaki yang pernah menolongku di kantin kampus, lelaki itu duduk di salah satu sudut kantin dengan ditemani dua temannya. Ketika aku melangkah memasuki kantin entah kenapa kami seolah-olah tahu dimana kami bisa saling menemukan, sehingga pandangan kami saling bertemu. Aku hanya menatapnya sekilas lalu memalingkan muka dari tatapannya, aku masih teringat dengan sikap sombongnya di pertemuan kami terakhir kalinya. Aku tak menceritakan kejadian aneh yang aku alami waktu itu, baik ke Aeneas maupun Lita, well tidak sekarang karena aku tak mau dibilang aneh dan gila. Namun Lita sempat menangkap arah pandanganku dan langsung berpikir kalau aku tertarik dengan salah satu lelaki yang duduk di meja itu. Sehingga Lita berinisiatif memberikan informasi kepadaku tentang mereka, mulai dari memperkenalkan nama-nama mereka sampai cerita bahwa mereka sangat populer di kampus ini dan merupakan salah satu keluarga terkaya di Vierra town. Hmm..tak heran mereka popular, wajah tampan dan aset banyak adalah tipe idaman wanita pada umumnya. Namun dengan sikap sombong yang dimilikinya, aku sama sekali tak bersedia menjadi salah satu dari wanita-wanita itu. Lelaki berambut hitam dan bermata berwarna coklat gelap dan tajam yang menolongku itu adalah Richard Willem, temannya yang berambut pirang dengan mata biru teduh adalah Ferdinand Latov dan lelaki berambut merah yang tampak senang bermain mata setiap ada wanita cantik melewatinya adalah Benjamin Hunt. Setelah hari itu aku tak pernah bertemu mereka lagi.
"Rienetta, Aeneas sudah datang..cepatlah bersiap diri.." suara Bibi Sophie dari luar kamar memecahkan lamunanku.
"Baik bi..aku akan bersiap-siap dulu.." jawabku sambil berjalan melangkah ke kamar mandi. Setelah bersiap diri dan sarapan bersama Bibi dan Aeneas, aku pamit kepada Bibi dan berjalan menuju Bugatti Kuning Aeneas yang sudah terparkir di depan.
"Hari ini kau latihan sepakbola lagi, Aeneas?" tanyaku, hari ini datang lagi. Dimana aku akan sendirian sampai Lita datang menemaniku dan Aeneas menjemput setelah selesai bermain.
"Yup..kenapa? Apakah kau ingin aku membatalkannya? Kau butuh sesuatu? Seminggu yang lalu kau mencari gedung perpustakaan sampai melukai tangan dan kakimu"
Aku menggelengkan kepala, aku tak ingin mengganggu aktivitas kesukaan Aeneas. Yang perlu aku lakukan adalah seperti seminggu terakhir ini, hindari tempat sepi seperti yang disarankan oleh Richard Willem. Walau aku enggan mengakui bahwa aku menuruti kata-katanya itu, namun setidaknya itu adalah satu-satunya cara aku terhindar dari kejaran iblis.
Sepanjang perjalanan ke kampus aku hanya diam mendengarkan cerita-cerita Aeneas, aku sama sekali tidak bisa fokus mendengarkan dia bercerita. Pikiranku kemana-mana, dimana nanti aku akan menunggu Aeneas dan Lita? Apakah sebaiknya aku langsung pulang sendiri? Naik apa? Naik bus? Aku saja bahkan belum hafal kota ini walau sudah 2 minggu pindah. Well..lebih tepatnya aku tidak suka bepergian mengexplore kota ini… aku akan lebih nyaman di rumah dan tidak kemana-mana. Aku sebenarnya menyukai perpustakaan, tempat ternyaman bagiku di kampus ini. Sangat tenang dan dikelilingi buku-buku kesukaanku. Tetapi membayangkan apa yang terjadi seminggu lalu akan terjadi lagi kali ini membuatku enggan untuk melangkah sendirian menuju tempat itu.
Mobil yang mengantar Lita datang tepat setelah Aeneas memarkirkan mobilnya, sehingga kami bisa berjalan bersama menuju kelas. "Siang nanti akan ada kelas gabungan Rie..akhirnya aku bisa bersama David.." ucap Lita terlihat senang sambil menggandeng tanganku manja. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Iya..hari kelas gabungan, kalau di kampusku dulu disebut seminar, mahasiswa tingkat satu sampai dengan empat akan berkumpul bersama di auditorium. Mendatangkan dosen luar atau praktisi yang akan berbagi cerita tentang berbagai hal yang dapat mendukung karir kami ke depan.
Setelah 2 mata pelajaran terlalui hari ini, kami bertiga berjalan ke gedung Auditorium yang terletak di belakang gedung utama. Ketika melewati jalan setapak dengan banyak pepohonan, aku sempat ter-flashback lagi dengan kejadian minggu lalu dan membuat aku sedikit ragu melangkahkan kakiku. Syukurlah hari ini aku tak sendiri, dan karena akan ada kelas gabungan maka jalan setapak ini pun ramai dengan mahasiswa yang akan mengikuti kelas.
"Rie.. sini..tempat ini kosong!" Aeneas memanggilku, aku berjalan menghampirinya. Lita pamit untuk mencari David. Ruang Auditorium di kampus ini sangat luas dan bergaya elegant, mungkin bisa memuat ratusan orang. Ruangan besar ini mulai ramai terisi orang-orang yang mulai berdatangan.
“Jadi sudah kau putuskan akan datangkan Rie? “ tanya Aeneas, aku mencoba mengingat apa yang dia bicarakan, tadi pagi ketika dalam perjalanan ke kampus Aeneas mengajakku untuk ikut acara makan malam kelas visual art yang akan diadakan pada bulan depan bersama teman-teman seangkatan dan kakak kelas yang ikut mengulang di matakuliah yang sama. “Aku rasa tidak Aeneas… “ ucapku enggan.
“Ooo.. Ayolah…mau yaa… “ Aeneas mulai merengek, temanku yang satu ini memang selalu seperti itu, terkadang sikapnya yang manja dapat membuatku kelimpungan. “Kau tidak kasihan padaku Rie.. Kau tahukan kalau aku banyak sendirian atau pulang lebih awal ke rumah, hanya akan membuatku memikirkan Angela lagi dan.. “
“Stop… aku tidak ingin kau mengungkit dia lagi… ok fine! Aku akan datang dan kau yang urus tentang Bibi Sophie.. “ aku akhirnya mengalah. Angela adalah mantan pacar Aeneas, hubungan mereka hanya berjalan satu tahun. Namun akhirnya mereka putus beberapa bulan sebelum aku tiba di Vierra, akhirnya Aeneas tahu kalau selama ini Angela hanya memanfaatkannya dan memeras uangnya. Sayangnya Aeneas terlanjur jatuh cinta terlalu dalam dengan Angela, sehingga Aeneas melalui masa-masa sulit ketika mereka putus.
Aeneas berteriak kesenangan setelah mendengar persetujuanku lalu memelukku yang duduk disebelahnya “kau tahu aku selalu mencintaimu kan… “ ucapnya sambil memelukku.
Aku berusaha melepaskan pelukannya.. “aaargh.. Aku tidak butuh cintamu.. Pergilah..“ ucapku kesal.
“Hi.. Apakah di sini kosong?“ suara bariton menghentikan perbincangan aku dan Aeneas.
Aku menoleh ke arah asalnya suara, Ferdinand Latov berdiri sambil tersenyum dan dibelakangnya berdiri Richard Willem yang sepertinya tidak nyaman bertemu denganku.
Aku tersenyum “Iya.. Setahuku tempat duduk ini belum ada yang menempati.. “ ucapku, dua tempat duduk disebelahku memang kosong dari tadi aku datang.
“Kau yakin tidak ada tempat kosong lainnya.. “ tanya Richard kepada Ferdinand, sambil melihat ke sekeliling. Sebenarnya aku terganggu dengan sikapnya itu, seolah-olah dia tidak tahan berada di dekatku.
“Tidak ada Rick.. Aku sudah mencarinya tadi.. Ayolah..“ ucap Ferdinand sambil duduk di sebelahku. Richard akhirnya mengalah dan duduk di samping Ferdinand.
"Mm..sepertinya kau warga baru di Vierra ya..?" tanya Ferdinand ramah.
Aku tersenyum, well sepertinya dia ramah dan tidak seperti Richard Willem yang angkuh. "Yup..aku baru dua minggu di sini.."jawabku
"Wow..welcome…semoga kau akan menikmati kehidupanmu di Vierra..mm..aku Ferdinand Latov by the way.., kau bisa memanggilku Dinand.."
"Aku Rienetta Banes, kau bisa memanggilku Ririe..mm..dan ini Aeneas.." jawabku sambil memperkenalkan Aeneas. Mereka saling menyapa.
"Dan ini Richard Willem, kami biasa memanggilnya Ricko.." lanjutnya, Ricko hanya memandang sekilas kearahku lalu kembali menatap kearah podium.
Aku menatapnya kesal, Fine! Aku mencoba memahami sikapnya yang cuek dan tak ingin terlibat denganku, siapa juga yang ingin membahayakan dirinya sendiri melawan iblis-iblis yang ingin melahapku!
"Maafkan temanku ini, dia memang tidak mudah bergaul.." bisik Ferdinand sepertinya dia tidak enak denganku
"Dinand!" tegur Ricko kesal
Aku tersenyum, ke arah Ferdinand, sepertinya hubungan mereka cukup dekat. Apakah Ferdinand tahu kalau sahabatnya itu bisa membunuh iblis? Pikirku.
Dua jam berikutnya kelas pun berakhir, aku masih sibuk membereskan peralatanku dan Aeneas pamit meninggalkanku lebih dulu karena akan memulai latihan sepak bolanya. Ferdinand pun pamit akan ke toilet terlebih dahulu dan akan menunggu Ricko diluar kelas. Aku masih berkutat dengan notesku sambil memikirkan akan menunggu Aeneas dimana, sampai aku menyadari bahwa ada yang memandangi aku sedari tadi. Aku mendongak, Ricko menatapku dengan mata tajamnya.
"Jadi kau akan sendirian lagi?" tanyanya
Apa pedulinya?! Bukankah dia bilang tak ingin terlibat denganku! Aku hanya mengangguk.
"Apakah kau tidak cerita kepada kekasihmu tentang kejadian minggu lalu?"
"Kekasih?" Sejenak aku bingung dengan pernyataannya "..oo..maksudmu Aeneas? Dia sahabat sejak aku kecil, bukan kekasihku.."
"Apakah aku terlihat butuh penjelasanmu dalam hal itu?"
Apa sih?! Dia sungguh luar biasa dalam membuatku kehilangan kendali! "Apakah aku perlu menjawab pertanyaanmu? Kau sendiri bilang tak ingin terlibat denganku, jadi kenapa kau tidak abaikan saja aku seperti tadi!" sahutku ketus, lalu mengemasi barang-barang dan pergi berlalu meninggalkannya.
Sesampai di luar kelas aku berhenti, bingung mau kemana.
"Seandainya aku bisa…aku pasti akan melakukannya" Ricko berdiri disampingku.
Apa maksudnya? Dia tidak bisa mengacuhkanku? Bukankah dia sendiri yang menginginkannya! Aku berjalan menjauhinya tanpa menjawab komentarnya. Aku dapat merasakan dia mengikutiku dari belakang, well kenapa sih dia melakukan ini. Apakah ini permainan tarik ulur? Apakah dia sedang bermain-main dengan perasaanku? Ketika lokasiku melangkah sudah mulai sepi, Aku menghentikan langkahku dan berbalik menghadapinya, Ricko mendadak menghentikan langkahnya dan hampir menabrakku. Jarak kami begitu dekat. Aku sempat terpekat dengan kedekatan kami, namun aku berusaha menguasai diri dan mendongak menatapnya. Tinggiku tepat sedada bidangnya, sehingga aku harus mendongakkan kepala agar dapat menatap matanya. "Berhentilah mengikutiku!" sahutku ketus.
"Aku hanya berjaga-jaga, kalau-kalau kau bersikap bodoh dan membutuhkan bantuanku lagi" jawabnya santai.
Aku tersenyum sinis "Apakah aku membutuhkan penilaianmu tentang bagaimana aku bersikap? Pergilah, jangan sampai kau berpikir bahwa aku sangat ingin terlibat dengan tuan Richard Willem yang terhormat!"
Ricko memandangku kesal dengan sindiranku.
"Jadi dia yang berhasil memanggilmu Rick?" tanya Ferdinand yang tiba-tiba muncul di belakang Ricko, sepertinya dia berhasil menyusul kami.
"Kau tahu?" tanyaku bingung menatap ke arah Ferdinand, sambil berusaha mengabaikan tatapan intens Ricko ke arahku.
Ferdinand tersenyum "Tentu..mm..sepanjang umur kami sudah saling kenal, jadi apa yang terjadi dengan salah satu dari kami, pasti saling tahu.."
Aku sudah akan menjawab sebelum Ricko memberikan isyarat kepada kami berdua untuk diam. "Kau bisa merasakannya Dinand?" tanya Ricko.
"Tentu.." Ferdinand tersenyum dan membuat gerakan dengan tangannya, asap tipis biru muncul dan dalam sekejap busur panah beserta anak panahnya sudah berada ditangannya. Aku takjub melihatnya.
"Kali ini tak sendiri.." lanjut Ricko yang ikut menggerakan tangannya dan pedang berpendar biru sudah berada dalam genggamannya.
Aku tidak mengerti yang mereka bicarakan, apa sih maksudnya?
"Yup…ada 3 lebih tepatnya!" sahut Ferdinand mengayunkan tangannya, tiba-tiba selubung berwarna orange bergerak membentuk sebuah kotak besar seperti benteng yang mengelilingi kami bertiga. Seolah-olah benteng yang dibangun merupakan area yang disiapkan untuk bertarung. Aku masih berusaha memahami apa yang mereka bicarakan, sosok gelap tiba-tiba muncul dan bergerak cepat ke arahku. Ricko menarikku ke arahnya dan menghantam sosok gelap itu dengan gerakan yang sangat cepat, sosok gelap itu pun jatuh dan menghantam ke tanah.
Lalu tak jauh dibelakangku Ferdinand mengarahkan panahnya menuju sosok gelap lainnya yang melesat ke arah aku dan Ricko. Ketika anak panahnya menyentuh tubuh makhluk itu, darah hitam mucrat dan tak lama sosok itu terbakar dan menjadi abu. Sosok gelap lainnya pun bergerak menyerang kami, Ferdinand dan Ricko berusaha melawannya dengan gerakan yang sama cepatnya dengan kedua sosok gelap itu. Mereka pun terlibat pertarungan sampai akhirnya Ricko dan Ferdinand berhasil mengalahkan kedua makhluk yang tersisa dan membuatnya terbakar dan menjadi abu. Aku menatap mereka berdua dengan tatapan nanar. Apalagi ini? Apakah sosok hitam itu adalah Iblis? Namun kali ini bentuknya berbeda dari yang lalu. Apakah mereka iblis lainnya yang ingin memangsaku?
"Kau tidak apa-apa?" Ricko berlari mendekatiku, meletakkan tangannya di bahuku dan memeriksa tubuhku dengan matanya untuk memastikan aku tidak terluka. Raut khawatir terpampang di wajahnya, apa aku tidak salah mengartikan ekspresinya? Richard willem tidak mungkin khawatir melihatku. Apakah mungkin penilaianku sudah kacau karena kejadian tadi. Pedang yang tadi dia gunakan untuk melawan para iblis sudah menghilang. Aku masih tercekat dengan kejadian tadi "Apakah itu iblis lagi?" tanyaku Ricko mengangguk.
"Iblis Mammon…sepertinya energimu sangat menarik perhatian mereka.." jawab Ferdinand.
Kakiku mulai lemas, seandainya tadi Ricko tidak mengikutinya, apa yang akan terjadi dengannya. Apakah dia mampu menghindar dari ketiga iblis yang bergerak dengan lincah dan cepat tadi?
"Well..sepertinya kau butuh tea untuk menenangkan diri..ayo..aku tahu cafe terdekat disini.." ucap
Ferdinand sambil menarikku mengikutinya..aku seperti tidak memiliki tenaga untuk menolaknya.
Ricko berjalan memungut tasku yang jatuh ketika serangan tadi, dan menepuk-nepuk untuk membersihkannya lalu berjalan mengikuti aku dan Ferdinand.
===
Aku berusaha menjaga kesadaranku, kini aku sudah berada di salah satu Caffe yang ada di area kampus. Ferdinand memberikan isyarat bahwa akan ke counter untuk memesan minuman. Ricko dengan sigap memapahku menggantikan Ferdinand dan mengantarku ke salah satu meja pengunjung yang kosong. Menarik kursi untukku, setelah aku duduk dia pun menarik kursi untuk dirinya sendiri tepat disampingku. Aku menatapnya, aku seharusnya berterima kasih kepadanya, tapi aku hanya terdiam membalas tatapannya. Aku khawatir yang akan keluar dari mulutku bukanlah ucapan terima kasih, namun malah memintanya untuk tetap disampingku dan melindungiku, dimana hal itulah yang membuat kami bertengkar minggu lalu. Dalam kondisi normal biasanya aku paling tidak suka merepotkan atau bergantung dengan orang lain. Namun kali ini…ah entahlah aku sedang tak bisa berpikir normal. Entah berapa lama kami hanya saling memandang terdiam tanpa bisa membicarakan apapun. Ferdinand pun datang membawa 3 minuman hangat dan tersenyum ke arahku "minumlah teanya Rie..ini chamomile tea..mudah-mudahan bisa menenangkanmu.." ucapnya.
Aku meminum teh yang diberikan Ferdinand, setidaknya hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini pikirku.
"Terima kasih Dinand…" ucapku akhirnya aku bisa mengeluarkan suara.
"Apakah sudah merasa lebih baik?" tanya Ricko masih dengan raut yang kalau aku tak salah mengartikannya adalah raut wajah khawatir.
Aku mengangguk ke arahnya "Terima kasih Rick..dan maafkan aku karena melibatkanmu lagi…" Ricko tak menjawab hanya membalas menatapku dengan tatapan tajam. Apakah dia tidak suka dengan ucapanku? Tapi kenapa? Bukankah minggu lalu dia menekankan untuk tidak ingin terlibat denganku?
"Mm.. jadi iblis tadi punya nama.." ucapku mengalihkan pandanganku ke arah Ferdinand.
Ferdinand tertawa "Yup…well bukan nama tepatnya, tapi jenisnya…kau bisa membedakan berdasarkan bentuk mereka.."
"Aku rasa…akan sulit memperhatikan bentuk mereka di saat ketakutan datang karena mereka berusaha melahapmu.." jawabku.
Ferdinand tertawa lagi "Iya..kau benar..kau mengingatkanku pada diriku ketika pertama kali menghadapi iblis, di umurku 18 tahun.."
"Jadi kau sudah biasa menghadapi mereka?"
"Ya..aku, Ricko dan teman kami Benjamin Hunt memang bertugas menjaga Vierra dari serangan kegelapan..salah satunya iblis-iblis itu tadi…"
"Bertugas?" tanyaku bingung
"Well tak banyak yang tahu bahwa kami adalah pemburu kegelapan, warisan turun temurun dari leluhur kami yang harus kami jalani ketika tepat usia kami 18 tahun..tentunya dengan pelatihan yang tepat..sejak kami berumur 8 tahun, kami sudah dilatih dengan berbagai ilmu beladiri dan tepat ketika berumur 18 tahun, kami sudah dapat memilih senjata apa yang akan digunakan untuk melindungi diri kami sendiri…"
"Wow..jadi kalian keluarga pemburu kegelapan yang melawan para iblis? Kalian akan menjalani ini seumur hidup kalian?"
"Mmm..ada masa pensiun juga..kekuatan kami akan menghilang tepat ketika kami memasuki usia 60 tahun, seperti halnya kakek nenek kami sekarang" jelas Ferdinand
"Dan akan kau turunkan keturunanmu selanjutnya? Akan terus begitu sampai kapan? Apa kalian tidak bisa memilih? Kenapa dengan Vierra? Apakah kota ini keramat? Tapi kenapa iblis itu mendatangiku? Apakah ada yang mengalami hal yang sama seperti aku sebelumnya? Bagaimana caranya melepaskan dari ini semua?" tanpa sadar aku mengucapkan semua pertanyaan yang ada dibenakku, dan mungkin tidak akan berhenti jika tidak di stop oleh Ricko yang menarik daguku agar menatapnya. Ricko tersenyum, wajah tampannya membuatku tercekat. "Minumlah Rie.." ucapnya lembut, baru kali ini Ricko menyebut namaku, tanpa sadar aku menuruti perintah lembutnya dan mengesap tea yang ada di cangkirku sampai habis. Ferdinand menahan tawa "well.. aku cukup bingung harus menjawab semua pertanyaanmu.. Vierra adalah kota suci..Energi yang terpancar di pulau ini adalah energi murni yang belum tercemar..sehingga menarik para iblis yang selalu membutuhkan energi dari manusia dan alam untuk bisa mereka bertahan hidup…dan kau..adalah salah satu manusia yang memiliki energi yang luar biasa..mm..energi penerang jika dilihat dari tipe pancaran energimu..oleh karena itu iblis-iblis itu tertarik denganmu.."
"Energi penerang?..mm..aku masih berusaha mencerna semua ini..jadi kenapa kau merasa aku memanggilmu minggu lalu?" tanyaku ke Ricko.
"Mm..tidak hanya minggu lalu, tapi mungkin sejak kau tiba di Vierra lebih tepatnya.. di setiap malam… hanya saja aku baru dapat penglihatan lokasimu dimana dan kau siapa sekitar seminggu yang lalu…"
"Setiap malam? Tapi bagaimana.. Apakah di setiap mimpiku?" Aku semakin bingung dengan ini semua, jadi selama 2 minggu ini aku memanggilnya? Itulah sebabnya dia bilang akan mengacuhkanku seandainya bisa. Dia tidak bisa melakukannya karena aku terus memanggilnya pada saat para iblis mengejarku baik di dalam mimpi maupun dunia nyata?
"Aku rasa cukup untuk saat ini, ayo..aku akan mengantarmu pulang.." ucap Ricko sambil berdiri dan mengambil tasku.
"Yup..kurasa kau memang butuh istirahat..wajahmu masih pucat.." ucap Dinand memberikan perhatian kepadaku.
Tanpa sadar aku sudah mengikuti Ricko berjalan menuju tempat parkir dimana Jeep Wrangler hitam miliknya terparkir. Ricko sudah membukakan pintu penumpang untukku, aku terdiam menatapnya, lalu aku mendorong pintu untuk menutupnya lagi "mmm.. setelah kupikirkan.. sebaiknya aku menunggu Aeneas saja.." jawabku, walau entah kenapa aku merasa nyaman dan ingin bersama Ricko tetapi pikiranku tentang Bibi Sophie yang akan bertemu dengannya membuatku menahan keinginan itu.
Ricko mengernyit bingung "Bukankah tadi kudengar dia mengatakan padamu ingin latihan sepakbola? Dan mungkin baru akan selesai sekitar 2 jam lagi?"
Aku terdiam tak menjawab. Ricko menatapku seolah-olah menerka kemana arah pikiranku berjalan. Lalu raut wajahnya mulai berubah menjadi kesal "Argggh…aku tidak dalam kondisi untuk tidak terlibat denganmu.. khususnya setelah minggu lalu.. panggilanmu kepadaku tak berhenti 1 malam pun!"
Apakah dia marah kepadaku? "Maaf Tuan Willem.. kalau aku tahu caranya berhenti memanggilmu, maka aku akan melakukannya.. kau pikir aku mau melakukan ini semua… aku bukan seperti wanita-wanita lain yang selalu ingin menempel kepadamu!" sergahku kesal dengan pernyataannya.
"Maka menempelah kepadaku jika memang itu perlu! Kupikir itu akan lebih baik dibandingkan aku frustasi sendiri memikirkan dimana keberadaanmu!"
Apa?! "Apa kau pikir aku sudah gila mau melakukan hal itu?" sahutku ketus dan berjalan meninggalkannya, namun dengan sigap Ricko menarik lenganku mencegahku pergi.
“Mulai sekarang dengarkan perintahku, dan jangan pernah bergerak tanpa seizinku!” ucap Ricko tegas dengan sorot mata tajamnya.
Aku tidak percaya dengan ucapanya yang baru saja aku dengar “Well.. Tuan Willem, larangan dan wajib izin itu hanya berlaku untuk kekasihmu, itu tidak akan berlaku untukku. Memangnya kau pikir aku akan mengikuti perintahmu?! Aku hanya ingin hidup tenang dan menjauhlah dariku!” balasku kesal mendengarkan nada arogan dan memerintahnya. Aku hentakan tanganku agar terlepas dari Ricko.
“Sesukamu saja…..” suara Ricko terdengar tenang, sepertinya dia sudah bisa menguasai diri. Aku sudah berniat melangkahkan kaki dan pergi meninggalkannya, tapi berhenti ketika mendengar kalimat selanjutnya "..jika kau ingin mati maka pergi saja… menjauhlah dariku dan lakukan sesukamu…”
Aku memejamkan mata menahan kesal, karena tahu hanya lelaki dingin dan sombong inilah satu satunya yang dapat menyelamatkan hidupnya. Aku pun membalikan badan dan kembali berjalan ke depan Ricko berdiri. "Kau… aku akan memanfaatkanmu sesuka hatiku… aku benar-benar akan menempel denganmu sampai kau sendiri tidak akan bisa bernafas tanpa aku disisimu!" ucapku kesal, lalu membuka pintu penumpang dan duduk dengan tenang.. well berusaha tenang tepatnya.. karena baru kali ini dia seagresif itu dengan lelaki. Tentu bukan ini kali pertama dia dekat dengan lelaki, namun kali ini terasa berbeda… mungkin karena tujuannya pun berbeda..mungkin karena kondisinya pun berbeda..entahlah.
Ricko tak menjawab dan langsung berjalan dan duduk di kursi kemudi.
"Jadi kemana aku harus mengantarmu?" tanyanya kalem sepertinya terlihat sama sekali tidak terganggu dengan ucapanku barusan.
"Downing street" ucapku singkat.
===
Rienetta merenung di kamarnya, hari ini adalah hari yang panjang. Ini sudah jam tidurnya, tapi dia sama sekali belum bisa tidur. Sore tadi dia meminta Ricko memarkirkan mobil 2 rumah sebelum rumahnya dan cukup menunggunya berjalan sampai dia masuk ke rumah dari dalam mobil saja, karena dia tidak ingin Bibi Shopie sampai bertemu dengannya. Entah bagaimana memperkenalkan Ricko ke Bibinya dan pertanyaan apa yang akan Bibi tanyakan ketika bertemu dengan Ricko. Gorden putih yang ada di balkonnya bergerak, pasti karena angin. Dia lupa menutup pintu balkon kamarnya. Dia berjalan dan menutup pintunya, ketika dia berbalik Ricko sudah ada di dalam kamarnya.
"Jadi ini kamarmu.. kau suka membaca?" tanyanya sambil melihat-lihat deretan buku bacaan milikku.
"Kau.. bagaimana kau bisa masuk?" tanyaku bingung, ini lantai 2! Bagaimana dia bisa sampai diatas sini tanpa menggunakan apapun!
"Serius kau ingin aku menjawab pertanyaanmu?" ucap Ricko santai dan berjalan menuju sofa yang terletak di sudut ruangan kamarku. Wajahnya terlihat jelas dibawah pancaran cahaya lampu yang berdiri tepat di samping sofa single yang didudukinya.
"Sudahlah.. tidak perlu.. seharusnya aku tak bertanya padamu tentang hal itu setelah tahu kau siapa.. apakah kau ke sini karena aku memanggilmu lagi?" tanyaku sambil berjalan ke arahnya dan berhenti tepat di depan tempat Ricko duduk.
"Belum..biasanya kau akan memanggilku saat lewat tengah malam.."
"Jadi kenapa kau disini sekarang?" tanyaku bingung.
Ricko menatapku, terdiam beberapa saat tak menjawab, lalu berdiri "Baiklah.. aku pikir karena kejadian hari ini, kau mungkin membutuhkan seseorang menemani.. aku pergi.." jawabnya santai dan berjalan ke arah pintu balkon dan membukanya, namun terhenti ketika dia merasakan lengan kemejanya ditarik oleh Ririe. Ricko menengok ke arahnya.
Apa yang aku lakukan?! "..tunggu… kau benar.. tetaplah disini sampai aku tertidur.." ucapku lirih, setidaknya aku merasa aman jika ada pemburu kegelapan yang menjagaku. Aku menanti jawabannya. Namun Ricko memilih menjawab dalam gerakan dan berjalan kembali ke sofa single yang terletak di sudut ruangan. Aku melihat ke arahnya sebelum akhirnya memutuskan naik ke atas tempat tidur, mematikan lampu yang terletak di samping tempat tidur dan menarik selimut menutupi tubuhku sampai ke bawah dagu. Aku masih dapat melihat Ricko yang duduk diam memandang ke arahku tanpa berkata apapun. Wajah tampan dan mata coklatnya diterangi cahaya lampu yang menyala di sudut kamar. Dengan memandangnya saja sudah membuatku tenang.. damai dan kantukku mulai datang, aku pun tertidur.