“Jadi mau makan apa nih?”
“Terserah, kamu aja.”
Adit dan Oliv sedang dalam perjalanan untuk makan malam bersama. Tadi Oliv agak kaget saat tahu Adit ternyata datang membawa mobil. Oliv pikir Adit naik kendaraan umum seperti dirinya.
“Makan di warung pinggir jalan gak apa-apa?” tanya Adit sembari menoleh ke arah Oliv yang duduk di sampingnya.
“Iya gak apa-apa,” jawab Oliv sambil melempar senyum. Ia tak masalah makan di mana saja. Sebagai anak rantau Oliv terbiasa makan di warung pinggir jalan. Harganya murah dan porsinya banyak. Sangat cocok untuk anak rantau seperti dirinya.
“Kerja di mana sekarang?”
“Jadi freelence ilustrator.”
Kedua alis Adit berkerut. “Ilustrator? Bukannya lu kuliah ngambil jurusan akuntansi?”
“Gak nyambung ya sama jurusannya?” tanya Oliv sembari terkekeh.
“Dulu habis lulus kuliah sempat kerja di salah satu bank swasta, 2 tahunan.”
“Terus?”
“Resign.”
“Kenapa?”
“Ngerasa gak kuat aja sama sistem kerja dan tekanan di tempat kerja.”
“Terus kok bisa jadi ilustrator?”
“Hobi sih awalnya, sering post hasil gambar di sosmed, terus banyak yang nanya open commision dan segala macam, terus jadi kerjaan utama deh sampai sekarang.”
“Oh.” Adit menganggukkan kepala. Ia ingat dulu semasa SMA Oliv memang hobi menggambar. Dan hampir seluruh teman sekelas mereka tahu. Makanya dulu Oliv selalu yang bertanggungjawab jika kelas mereka mengikuti lomba desain dan semacamnya.
“Kalo kamu?” Oliv balik bertanya pada Adit. Ia agak penasaran bagaimana kehidupan Adit dewasa, sebagai siswa yang dulu terkenal suka membolos dan merupakan playboy di sekolah.
“Ada beberapa bisnis kecil-kecilan,” jawab Adit sembari melirik ke arah Oliv. Lalu sedetik kemudian kembali fokus pada jalanan di depannya.
“Terus pacarsewaan.com ini kamu yang ngelola atau gimana?”
“Gue sama temen yang ngelola.”
“Oh...” sahut Oliv. Selebihnya ia sudah tidak tertarik lagi. Mengetahui Adit punya beberapa bisnis kecil, sudah cukup menjawab rasa penasaran Oliv.
“Uda sampe nih.”
Mobil Adit memasuki halaman parkir sebuah restoran. Setelah memarkir mobilnya Adit mengajak Oliv untuk segera turun dari mobil.
“Lu suka makanan sunda?”
Oliv mengangguk. Ia bukan tipe pemilih makanan.
“Masuk yuk,” ajak Adit.
Adit dan Oliv berjalan masuk ke dalam restoran yang punya desain modern ini. Mereka lalu duduk di salah satu kursi yang kosong. Karena datang di jam makan malam, restoran yang menyajikan makanan sunda ini sedang ramai oleh pengunjung.
Setelah memesan makanan, Adit kembali memandang Oliv yang masih sibuk berkutat dengan ponselnya. Walau hanya diam saja sambil berkutat dengan ponselnya Oliv tetap terlihat cantik di matanya. Ia tak akan bosan jika disuruh berlama-lama menatap wajah wanita itu.
“Maaf, saya sibuk sama hape terus,” ucap Oliv lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
“Gak apa-apa kok, santai aja.”
“Hmm.”
Adit menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia menatap Oliv yang sedang memperhatikan sekitar ruangan restoran itu. Adit mengulas senyum, mau bagaimanapun Oliv tetap tampak cantik, sama sekali tak berubah.
“Ada apa?” tanya Oliv ketika sadar Adit terus memperhatikannya.
“Gak apa-apa, lu cantik soalnya.”
Oliv menyungging senyum saat Adit menyebutnya cantik. Hanya senyum biasa, bukan senyum malu-malu karena dipuji.
Adit menarik sudut bibirnya. Pertahanan Oliv masih sama seperti 8 tahun lalu. Hanya dia wanita yang tak tergoda oleh pujian atau rayuan gombalnya.
“Jadi lu nyewa pacar buat datang ke pernikahan mantan?” tanya Adit. Sebenarnya pria itu penasaran seperti apa rupa mantan Oliv, bagaimana bentukannya sampai bisa menaklukkan Oliv yang pertahanannya super kuat ini, walaupun akhirnya mereka berakhir putus juga.
“Iya,” jawab Oliv singkat.
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa butuh pasangan buat datang ke nikahan mantan lu? Apa lu belum move on? Atau takut dikira belum bisa move on kalo datang sendiri?”
Oliv menarik napas. Memang mungkin orang-orang akan berpikir seperti itu, tapi Oliv sama sekali tidak berpikir seperti itu. Soal move on? Oliv sudah lama move on dari pria bernama Damar yang menghianatinya dengan berselingkuh dengan sahabat Oliv sendiri.
“Gak, bukan gitu.”
“Terus kenapa?” Adit kembali bertanya. Semua hal tentang Oliv membuatnya penasaran.
“Cuma gak nyaman aja kalo datang sendirian. Posisi saya ini mantannya, pasti jadi pusat perhatian kalo datang sendiri. Saya paling gak suka jadi pusat perhatian.”
Adit mengangguk mengerti. Ia ingat betul kalau Oliv paling tidak suka jadi pusat perhatian. Ia juga ingat Oliv pernah marah besar, karena ia selalu menempel pada wanita itu dan menjadikan Oliv pusat perhatian oleh seluruh warga sekolah.
“Jadi lu beneran uda move on?”
Oliv mengangguk yakin. Tidak ada alasan untuknya tidak bisa move on dari Damar. Prinsipnya, dunia tidak akan kiamat hanya karena ia putus dari Damar. Oliv malah bersyukur Tuhan menjauhkannya dari laki-laki yang tak setia seperti Damar.
“Bagus deh.”
Oliv mengerutkan dahi. “Kenapa?”
“Berarti masih ada kesempatan,” ucap Adit lalu menyungging senyum.
Oliv menatap Adit yang menyungging senyum padanya. Walau tak mengerti dengan ucapan pria itu, Oliv tak bertanya lebih lanjut.
Adit menarik napas. Pertahanan Oliv sama sekali tak bisa ia tembus. Jika Oliv seperti kebanyakan wanita yang ia temui, mereka pasti akan langsung tersipu malu mendengar kata-katanya tadi. Namun, Oliv berbeda. Semanis apa pun rayuan yang ia ucapkan Oliv tak akan pernah tersipu malu karenanya. Sikap Oliv inilah yang membuat Adit semakin menyukai wanita itu. Bahkan sampai sekarang.
***
Oliv keluar dari kamar mandi. Setelah pulang dari bertemu Adit, gadis itu langsung mandi karena merasa badannya lengket akibat keringat. Meskipun malam hari, Jakarta tetaplah panas.
Oliv melirik ponselnya di atas nakas samping tempat tidur. Benda pipih persegi panjang itu berdering, menandakan ada panggilan masuk. Oliv mengambil ponselnya, dilihat ada nama Bianca terpampang di layar. Oliv segera menggeser ikon berwarna hijau lalu menempelkan ponselnya ke telinga.
“Halo,” ucap Oliv setelahnya.
“Gimana pacar sewaan lu? Aslinya cakep beneran kaya di foto?” tanya Bianca di seberang telepon.
“Lu kepo amat.”
“Iyalah kepo gue, di foto ganteng begitu ya gue penasaran aslinya gimana. Jadi gimana ganteng gak?”
Oliv tertawa pelan. Jika ada penghargaan untuk orang paling ingin tahu, mungkin Bianca akan masuk ke dalam nominasi.
“Iya ganteng,” jawab Oliv. Adit memang tampan. Meskipun Oliv tak tertarik pada pria itu, tapi di mata Oliv, Adit adalah pria tampan, sangat tampan malah.
“Beneran?”
“Iya.”
“Iri deh gue sama lu.”
Oliv mengerutkan dahinya. Apa yang membuat Bianca iri padanya?
“Lu bisa pacaran sama cowo ganteng.”
Oliv kembali tertawa. Bianca memang orang yang acak. “Pacaran bohongan, ngapain lu iri? Gak jelas banget sih.”
“Yah bohongan, tapi tetep statusnya pacaran, kan?”
“Terserah deh, males ngeladenin lu,” kata Oliv sembari tertawa. “Eh—”
“Apaan?”
“Gak jadi.”
“Ih, gak jelas lu. Ya udah gue matiin teleponnya. Bye.”
Sedetik kemudian Bianca benar-benar menutup panggilan itu.
Sebenarnya Oliv tadi ingin bilang ke Bianca kalau pria yang akan jadi pacar sewaannya adalah teman SMA Oliv, tapi Oliv mengurungkan niatnya. Ia yakin reaksi Bianca akan heboh dan berlebihan. Oliv pikir sepertinya ia tak perlu memberitahu siapa Adit pada Bianca, toh setelah acara pernikahan Damar, Oliv tak akan lagi bertemu pria itu.
Oliv tak mau terlibat dengan Adit. Entah, ia hanya merasa bukan hal baik jika ia terus terlibat dengan Adit setelah masalah pekerjaan mereka selesai. Adit terkenal sebagai playboy, walaupun dia bilang sudah pensiun dan bertobat, Oliv tetap tak yakin. Di mata Oliv, Adit masih sama seperti 8 tahun lalu. Cara bicara, sikap dan bagaimana ia mencoba menggodanya seperti tadi tidaklah berubah. Itu alasan kenapa Oliv tak mau terlibat dengan Adit lagi. Terlibat dengan playboy macam Adit, pasti akan sangat merepotkan dan mengganggu. Oliv benci kedua hal itu.