Adit menatap pantulan dirinya di cermin sembari merapikan rambutnya. Ia juga menyemprotkan parfum ke tubuhnya untuk membuat penampilannya hari itu semakin sempurna.
“Kaya mau ketemu presiden lu, pake acara dandan segala,” cibir Sammy yang sejak tadi bersandar di dinding sembari memperhatikan sahabatnya yang terlihat seperti ABG yang sedang kasmaran.
“Banyak cing cong lu,” ucap Adit tak peduli.
Sammy tertawa mengejek. Sudah lama ia tak melihat Adit bertingkah seperti ini, kali terakhir saat temannya itu sedang melakukan pendekatan pada Dewi. Singkat cerita Adit sudah memberitahunya jika klien mereka kali ini adalah cinta lama Adit semasa SMA.
“Eh mau taruhan gak?” usul Sammy membuat Adit menatapnya sambil mengerutkan dahi.
“Gue jamin ini cewek gak inget sama lu.”
“Sok tahu banget lu.”
“Iyalah , kalau dia inget gak mungkinkan dia ngambil lu buat jadi pacar sewaannya. Pasti dia bakal malu kalau tahu temen SMA-nya bakal jadi pacar sewaannya.”
“Mau taruhan berapa?” tantang Adit. Ia sendiri tidak yakin dengan opini Sammy. Dalam hati Adit berharap bahwa, Oliv, wanita yang menjadi klien baru mereka masih mengingatnya.
“Gak usah banyak-banyak deh. Lu bayarin trip gue ke Bali gimana?”
“Pala lu!”
Adit refleks melempar Sammy dengan botol parfum yang dipegangnya. Untung Sammy berhasil menangkap botol parfum yang terbuat dari kaca itu, salah-salah ia bisa masuk rumah sakit jika botol itu mengenai kepalanya.
“Lu pikir trip ke Bali murah.”
“Halah, lu kaya. Pasti duit segitu gak ada apa-apanya.”
“Kalo gue menang gimana?”
“Gantian lah, gue yang bayarin trip lu ke Bali entar, sekalian lu ajak tuh cinta lama lu buat liburan.”
“Oke setuju.”
Adit menatap bayangan dirinya di cermin penuh dengan rasa percaya diri. Ia sangat yakin bahwa tak akan kalah taruhan dengan Sammy. Oliv pasti masih mengingatnya.
***
Oliv duduk sendiri di salah satu kursi di dalam sebuah kafe. Ia janji bertemu dengan pria yang akan menjadi pacar sewaannya. Kata Bianca, yang sudah 2 kali menggunakan jasa pacarsewaan.com, klien atau para penyewa akan bertemu dengan calon pacar sewaannya setidaknya dua kali. Katanya untuk saling mengenal, jadi saat hari di mana mereka berpura-pura sebagai pasangan, mereka benar-benar terlihat seperti orang pacaran. Lalu biaya yang dikeluarkan selama 2 kali pertemuan itu, mulai dari biaya makan dan minum semua ditanggung oleh klien atau penyewa di luar tagihan jasa yang mereka gunakan.
Oliv melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam 15.45. Ia datang terlalu cepat, padahal mereka janji bertemu pukul 16.00. Memang sudah jadi kebiasaan Oliv untuk selalu datang lebih awal, ia tidak suka membuat orang lain menunggu. Sembari menunggu calon ‘pacarnya’ Oliv sibuk melihat ponselnya untuk memeriksa pekerjaannya.
Oliv adalah seorang ilustrator. Ia bekerja secara freelance. Sebagai seorang ilustrator Oliv banyak berkutat dengan gambar ilustrasi baik membuatnya secara manual ataupun secara digital. Seorang ilustrator rata-rata mengawali kariernya dari hobi, sama seperti Oliv yang mengawali kariernya di bidang ilustrasi dari hobi menggambarnya. Sampai Oliv menyadari pekerjaan freelance ini bisa jadi sandaran hidup.
Dari pintu depan kafe seorang pria baru saja masuk. Pria tersebut tak lantas menuju kasir untuk memesan, tapi berdiri sejenak sambil melihat ke sekeliling ruangan. Itu Adit. Senyum Adit langsung mengembang begitu ia menemukan wanita yang ia cari. Meski sudah lama berlalu tak sulit untuk Adit menemukan yang mana Oliv, karena di matanya wanita itu sama sekali tak berubah, hanya terlihat semakin cantik dan dewasa.
“Sudah lama menunggu?” tanya Adit setelah menghampiri meja Oliv. Ia bertanya dengan bahasa formal, karena status Oliv adalah kliennya.
“Oh nggak kok, saya aja yang datangnya kecepetan,” jawab Oliv mendongak menatap Adit. Ia lalu melempar senyum pada pria itu.
“Maaf, saya udah pesen minum duluan.” Oliv merasa tak enak karena ia sudah memesan minum lebih dulu. “Kamu mau minum apa? Biar saya pesenin.”
“Ice americano aja,” sahut Adit setelah menjatuhkan pantatnya ke kursi di depan Oliv.
“Oke, tunggu bentar.”
Oliv kemudian berjalan menuju kasir untuk memesankan minuman Adit. Sementara Adit memperhatikan Oliv dari tempat duduknya. Ia kemudian tersenyum saat Oliv berbalik dan menatapnya. Oliv juga balas tersenyum, membuat Adit terpesona saat melihat senyuman Oliv yang manis.
8 tahun berlalu sejak mereka lulus SMA, Oliv sama sekali tak berubah di mata Adit. Wanita itu hanya terlihat semakin dewasa dan bertambah cantik tentunya. Setelah puas menatap Oliv dari belakang, Adit beralih melihat sekeliling kafe itu. Adit kembali tersenyum saat sadar ternyata selera Oliv juga tak berubah. Ia tahu sejak dulu Oliv menyukai hal-hal bernuansa klasik seperti kafe ini.
“Ini minumannya,” ujar Oliv saat meletakkan ice americano pesanan Adit.
“Makasih, kita langsung bahas kerjaan aja ya.”
Oliv yang sudah kembali duduk di kursinya mengangguk mengiyakan ajakan Adit.
“Kamu uda baca semua ketentuannya di kontrak yang uda dikirim ke email kamu, kan?”
Oliv kembali mengangguk. Semua ketentuan kontrak itu sudah ia baca dan pahami.
“Iya, saya udah paham kok.”
“Oke, kalau gitu bahas kerjaannya uda selesai,” kata Adit lalu menyesap ice americano-nya.
“Lho? Cuma gitu doang?”
Adit mengangguk. “Kalo kamu sudah paham aturannya ya uda selesai.”
“Tapi, katanya kita bakal ngobrol buat saling mengenal, supaya kelihatan kaya orang pacaran beneran.”
“Ohh soal itu gak perlu, soalnya gue uda kenal banget sama lu.”
Oliv mengerutkan dahinya saat Adit tiba-tiba bicara informal padanya.
“Kamu kenal saya?”
Melihat reaksi Oliv, Adit langsung sadar jika ia kalah taruhan dari Sammy. Ternyata Oliv memang tidak mengingatnya. Ia harus rela mengeluarkan uang untuk membiayai trip Sammy ke Bali nantinya.
“Lu gak inget gue? Wah sakit hati nih gue,” ucap Adit setengah bercanda, walaupun sebenarnya ia agak kecewa karena Oliv tidak mengenalnya.
Oliv menggelengkan kepalanya. Ia memang tidak kenal ataupun ingat siapa Adit.
“Emangnya kita saling kenal?”
“Gue Adit, Aditya, Aditya Hermawan.”
Oliv kembali mengerutkan dahinya. Ia merasa tak punya teman ataupun kenalan dengan nama Aditya.
Adit mengusap batang hidungnya sambil tertawa pelan. Oliv benar-benar tak mengingatnya.
“Kita dulu sekelas lho pas kelas 3 SMA, masa lu gak inget?”
Oliv kembali mencoba mengingat nama Aditya di antara nama teman-teman SMA-nya.
“Oh, ya ampun,” seru Oliv kemudian.
“Uda inget?” tanya Adit penuh harap.
Oliv mengangguk. “Kamu yang dulu suka bolos terus terkenal jadi playboy sekolah, kan?”
“Iya bener, tapi sekarang uda tobat gak jadi playboy lagi,” kata Adit. Dia dulu memang terkenal sebagai playboy di sekolah, tapi sekarang ia sudah pensiun dan bertobat.
“Kamu tinggal di Jakarta juga?” tanya Oliv. Dulu mereka sekolah di salah satu SMA di Surabaya, daerah asal Oliv.
“Aslinya gue emang tinggal di Jakarta, dulu gue dititipin sama om yang kebetulan dinas di Surabaya gara-gara nyokap bokap sibuk ngurusin kerjaan. Lu sendiri kapan pindah ke Jakarta? Gue kira bakal stay terus di Surabaya, soalnya lu kan anak rumahan banget.”
Oliv tertawa pelan mendengar ucapan Adit. Dia memang tipikal anak rumahan. Makanya Oliv mengambil pekerjaan sebagai freelance ilustrator, jadi dia bisa bekerja dari rumah.
“Dulu saya milihnya kuliah di Jakarta, terus sekarang sekalian cari makan di Jakarta juga.”
“Seriusan? Kok gue gak tahu? Lu kuliah di mana emang?”
“Di Gunadarma, jurusan akuntansi.”
Mata Adit mengerjap beberapa kali karena tak menyangka Oliv yang dulu terkenal pintar, malah masuk universitas swasta.
“Swasta?”
Oliv mengangguk sambil menyesap ice lemon tea miliknya. “Tapi, dapet beasiswa penuh.”
“Ohh gitu.”
Adit lalu melirik jam tangannya. Sudah hampir jam 5 sore, itu artinya sebentar lagi masuk jam makan malam.
“Mau makan bareng gak? Sekalian ngobrol-ngobrol, bentar lagi juga masuk jam makan malam, kan?” ajak Adit.
Oliv melirik jam tangannya memang sebentar lagi sudah masuk jam makan malam, tapi ia tidak terlalu yakin untuk setuju dengan ajakan Adit. Mereka memang teman SMA, tapi jujur mereka sama sekali tak dekat. Bahkan Oliv sampai lupa siapa Adit beberapa waktu lalu.
“Kenapa? Lu takut sama gue? Ya elah temen SMA gini, buat apa takut,” ucap Adit saat menyadari raut wajah Oliv yang terlihat bimbang.
Setelah cukup lama berpikir Oliv akhirnya setuju dengan ajakan Adit. Lagi pula setelah ini mereka akan bekerja bersama.
“Boleh deh.”