Bab 01. Dua Ratus Juta
"Apa? Dua ratus juta?" Mata wanita yang akrab disapa Wilona itu membelalak lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Dua ratus juta, tentu saja bukan jumlah yang sedikit baginya. Tetapi, lelaki di hadapannya saat ini menyebutnya dengan sangat mudah, tanpa ragu sedikitpun.
"Kenapa? Bukankah uang itu sangat cukup untuk melunasi hutang mantan kekasihmu?" Devan Megantara, dia berdiri dengan senyum dingin, suaranya penuh kesombongan yang menusuk hati, seakan ia sudah membaca seluruh cerita kelam yang dialami Wilona.
Pewaris tunggal kekayaan Megantara itu bukan hanya kuat dalam harta, tapi juga menguasai permainan di balik layar. Ia tahu segala hal tentang Wilona, menyelidiki setiap sudut kehidupan sang wanita yang tersembunyi.
"Aku tahu, kamu sangat berkuasa. Tapi, tidak sepantasnya kamu mencampuri kehidupanku, Tuan Devan yang terhormat!" Wilona melawan dengan nada getir dan mata yang mulai memerah menahan amarah. "Kalau kamu ingin secepatnya menikah, ada begitu banyak wanita kaya dan terpandang di luar sana. Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang kamu pilih?"
Pertanyaan itu bukan hanya penuh keheranan, tapi juga jeritan jiwa yang menolak diperlakukan seperti komoditas dalam permainan Devan. Wilona berdiri tegang di koridor rumah sakit, membara, menantang keangkuhan Devan yang tak mengerti arti cinta selain uang dan kekuasaan.
"Simple. Itu semua karena oma." Devan menjawab singkat, senyum sinis menghiasi bibirnya.
Dahi Wilona mengerut penuh tanda tanya. "Oma? Maksudmu Nenek Dahlia?" Wilona menegaskan, suaranya bergetar sedikit, seolah berusaha menembus kabut keraguan.
Devan mengangguk pelan. "Ya. Oma sangat menyayangimu. Dia bahkan memintaku menikahimu, karena tahu kamu sekarang sudah sendiri. Tapi tenang saja, oma tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi denganmu." Suaranya datar, meyakinkan bahwa dia sama sekali tak mengingkan Wilona jika bukan karena sang nenek.
Wilona menatap Devan tajam, matanya memancarkan ketidakyakinan. "Tapi, bukannya kamu sudah bertunangan dengan penyanyi terkenal itu? Hubungan kalian bahkan baru diumumkan ke publik. Kalian juga akan segera menikah!" Kalimat itu meluncur begitu saja, seperti pedang yang tajam menusuk kenyataan yang mengambang di antara mereka.
Devan menaikkan alisnya, sebuah senyum kecil mengintip di bibirnya. "Kamu diam-diam mencari tahu tentang identitasku?" tanyanya, nada suara penuh tantangan.
Merasa gugup, Wilona buru-buru menyangkal, sedikit kesal. "Enak saja! Lagi pula, siapa yang tidak tahu tentang hubunganmu dengan Karin? Dia penyanyi terkenal, pasti selalu disorot media. Sedangkan kamu juga pengusaha besar. Bukankah itu hal yang wajar?"
Devan terdiam sejenak, matanya menyiratkan kelelahan dan kepahitan yang sulit diungkapkan. Memang benar, hubungannya dan Karin bukan rahasia lagi. Tapi dia tak pernah menyangka jika Wilona yang terlihat tidak tertarik dengan urusan orang lain, malah membahas hal yang membuatnya muak.
"Tidak semua hal kamu harus tahu. Sekarang yang terpenting, terima saja tawaranku. Kita hanya perlu menikah kontrak selama setahun dan uang dua ratus juta akan langsung masuk ke rekeningmu. Belum cukup? Aku juga akan memberimu seratus juta sebagai uang bulanan, selama kamu menjadi istriku dan penurut. Kamu juga tidak perlu lagi bekerja di rumah sakit ini, tapi akan menjadi perawat khusus oma, dengan bayaran besar yang menjamin masa depanmu. Kamu tidak perlu lagi memikirkan tentang hutang mantanmu yang tidak berguna itu. Sedangkan hidup orang tuamu di kampung, semua itu akan aku urus. Aku jamin, mereka akan selalu aman dan tidak akan kekurangan apapun." Devan mengucapkan kata itu dengan nada penuh ketegasan dan mata yang tajam, membekukan ruang di antara mereka.
Wilona menatap kosong, pikirannya berputar liar, sesak oleh jeratan hutang yang tak kunjung usai. Mantan kekasihnya telah mengkhianatinya, meminjam uang secara online dengan identitasnya, lalu menghilang bagai bayangan tanpa jejak. Kini, debt collector datang menyerang hidupnya, menekan dan mengancam setiap harinya. Bahkan, hidup orang tuanya di kampung juga terancam jika hutang itu tak segera dilunasi. Penghasilan dari pekerjaannya sebagai perawat hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan mengirimkan sedikit ke kampung terasa berat.
Saat ini, dia merasa terjebak di persimpangan antara keputusasaan dan janji Devan yang menggoda. Apakah ia berani menyerahkan hidupnya sekali lagi? Tawaran Devan datang seperti angin segar di tengah badai, melunasi hutang mantan kekasih yang kejam, hidup sejahtera tanpa rasa cemas memikirkan nasib orang tua dan jaminan keamanan untuk kedua orang tuanya itu. Namun, bayangan menjadi istri kontrak pria asing yang belum pernah dikenalnya seperti duri tajam menusuk hatinya. Apakah rela ia menjual dirinya seharga dua ratus juta, demi hidup yang lebih baik?
"Tawaran ini tidak akan datang dua kali." Suara Devan penuh desakan, mengejutkam Wilona dari lamunannya. "Kalau kamu setuju, kita langsung ke ruangan oma sekarang juga dan membicarakan pernikahan kita."
"Tapi-"
Wilona hendak bicara, tapi sebelum kata-katanya berlanjut, Devan memotong dengan tegas, "Jawab saja, setuju atau tidak!"
Tanpa memberi kesempatan untuk protes, pria itu melangkah cepat menuju ruang neneknya dirawat.
Hati Wilona bergemuruh, terpaku antara putus asa dan harapan. Akhirnya, dengan suara gemetar, ia menyerah, "Oke, aku setuju."
Senyum kemenangan tersungging di wajah Devan, seperti pemburu yang akhirnya mendapatkan mangsanya.
***
Sudah seminggu Wilona menjadi istri Devan. Sesuai janji pria itu, uang dua ratus juta akhirnya sampai ke tangannya, menghapus beban hutang yang selama ini mencekik hidupnya, padahal dia sama sekali tak melakukannya. Untuk pertama kalinya, Wilona merasa napasnya lebih lega, bebas dari bayang-bayang hutang yang tiada henti mengejarnya. Namun, di balik senyum tipisnya, ada bara yang tak padam. Tekadnya sudah bulat, dia akan menuntut pertanggungjawaban mantan kekasihnya itu, meskipun harus dikejar hingga ke ujung dunia sekalipun.
Kini, Wilona tak lagi mengejar karier di rumah sakit. Dia menjadi perawat khusus nenek Devan, wanita tua yang dianggapnya seperti keluarganya sendiri dan saat ini benar-benar menjadi neneknya. Dengan kelembutan yang menembus hati, Wilona merawat sang nenek sepenuh jiwa.
Dahlia pun merasakan perbedaannya, kondisinya kini jauh lebih baik dan kehangatan yang dibawa Wilona membuatnya merasa memiliki cucu menantu yang luar biasa.
"Wilona, Oma benar-benar tidak salah pilih. Kamu memang wanita yang sangat baik dan sangat cocok menjadi istri Devan," ujar Dahlia, penuh rasa syukur. Ia menatap dalam mata Wilona, tak bisa menyembunyikan rasa puasnya. "Untung saja, Devan batal nikah dengan Karin. Wanita itu sama sekali tidak pernah peduli terhadap Devan, apalagi sama Oma. Sangat egois!" katanya lirih, menegaskan bahwa keputusan Devan memperistri Wilona adalah yang terbaik bagi semua.
"Nek, sudah, ya. Jangan mengingat hal yang membuat Nenek nggak nyaman. Itu akan sangat mempengaruhi kesehatan Nenek. Yang penting sekarang, kita jalani saja ke depannya, ya?" Suara Wilona lembut tapi penuh tekad, menenangkan suasana yang sempat berat.
Dahlia menatap Wilona dengan mata sedikit mengernyit, masih merasa terganggu dengan panggilan itu. "Wilona, kenapa kamu masih memanggil Oma, 'nenek'? Panggil saja 'oma', seperti Devan. Kamu itu 'kan, cucu Oma juga. Berapa kali sudah Oma ingatkan?" Suaranya tegas, namun lembut.
Wilona tersenyum pahit, lalu buru-buru berkata, "Oh iya, Nek, Eh Oma. Maaf ya, aku sering lupa. Sekarang, Oma minum obatnya dulu. Lupakan masa lalu yang menyakitkan itu. Aku ini bukan cuma perawat, tapi juga cucu Oma. Aku akan jaga Oma sebaik-baiknya." Nada suaranya mengalir hangat, menenangkan hati Dahlia.
Mata Dahlia berkaca-kaca. Tanpa berkata-kata lagi, dia meminta Wilona mendekat. Dua wanita itu pun saling berpelukan erat, seakan melebur semua duka lama yang tersimpan.
Di saat itu, Devan yang baru saja tiba di rumah setelah bekerja, tanpa sengaja melihat pemandangan itu, hatinya hangat membuncah. Neneknya yang selama ini jarang tersenyum, kini tampak begitu bahagia. Semua berkat kehadiran Wilona, istri kontrak dua ratus juta yang tak hanya sekadar pelengkap tapi menjadi cahaya dalam keluarga kecil mereka. Devan menghela napas panjang, berterima kasih dalam diam. Mungkin, untuk pertama kalinya, hidup mereka benar-benar menemukan harapan baru.
Bersambung …