bc

Married Without Love [END]

book_age18+
4.0K
IKUTI
30.7K
BACA
billionaire
possessive
contract marriage
arranged marriage
dare to love and hate
CEO
drama
comedy
mxb
office/work place
like
intro-logo
Uraian

Diputusin pacar dan ditolak puluhan perusahaan. Nasib sial menimpa Gita Andriana. Meskipun seorang Sarjana Ekonomi, tapi gelar bukan jaminan kemudahan dalam mencari pekerjaan. Dengan berat hati, Gita berkerja sebagai pelayan di sebuah kafe bersama sahabatnya, Agni. Gita bertemu dengan laki-laki bernama Vino Saputra yang meninggalkan kesan tidak menyenangkan di antara keduanya.

Vino adalah laki-laki yang dijodohkan ayahnya sewaktu mereka masih bayi. karena alasan balas budi, ayah Vino menjodohkan anaknya dengan Gita. Anehnya, Vino tidak menolak perjodohan itu dan Gita, ya, Gita tidak punya pilihan lain mengingat dia gadis yang tidak terlalu berguna di dunia. Mamah Vino yang sakit jantung menutut Vino untuk menikah dengan Gita.

Kendala dalam pernikahan yang serba mendadak membuat Gita frustasi. Mengurus pre-weddingnya sendirian. Vino yang awalnya cuek dan menyerahkan semuanya pada Gita akhirnya ikut berpartisipasi melihat Gita yang terus-terusan komplain kepadanya.

Vino adalah pemilik Rumah Produksi bernama Movie Billionare. Kekasihnya bernama Katrina Syafa. Katrina adalah salah satu aktris kesayangan rumah produksinya. Sayang, Katrina gemar membuat sensasi untuk mendongkrak popularitasnya. Ia menutupi hubungannya dengan Vino dan mempublikasi hubungannya dengan aktor papan atas Indonesia bernama William.

chap-preview
Pratinjau gratis
BAB 1
                Sebelah tanganku memegang sapu hendak menyapu lantai. Lantai rumahku ini seperti lantai yang tidak pernah di sapu ataupun di pel. Seperti gedung tua peninggalan Belanda yang nyaris seabad tidak dijamah. Okay, lupakan soal lantai dan sapu karena langkahku mendadak tertahan ketika melihat foto Pap. Terbingkai sebuah kenangan di dalam foto itu. Pap terlihat gagah dengan jas hitam dan tuksedo. Sekilas wajahnya mirip Jacky Chan, tapi kalau kamu tidak percaya, tidak apa. Tidak usah mempedulikan wajah Papku. Aku ingat, sebelum difoto Pap bilang, “kamu harus jadi orang sukses”. Sukses? Sampai diusiaku yang menginjak 24 tahun saja aku belum mendapatkan pekerjaan. Padahal sudah puluhan surat lamaran aku kirim ke berbagai perusahaan, tapi tak ada satu pun yang mengontakku.             Aku mendekati foto Pap. Aku ingat percakapanku dengan Mam tadi malam. Tentang perjodohan. Perjodohan secara sepihak oleh Pap dengan ayah dia. Laki-laki yang wajahnya pun belum aku tahu. Perjodohan yang didasari karena balas budi Ayah dia kepada Papku. Balas budi apa? Aku tidak mengerti dengan balas budi macam ini! Cerita perjodohan bagiku konyol. Bagaimana mungkin di zaman modern dan era marshmellow masih ada perjodohan layaknya jaman dahulu. Ini sungguh mengecewakanku.             “Pap,” selorohku dengan emosi tertahan. Ada rasa rindu sekaligus kesal.             “Kenapa Pap menjodohkan aku dengan orang yang tidak aku kenal sama sekali? Aku tidak suka perjodohan, Pap. Mungkin Mam dan Pap beruntung saja karena dijodohkan dan ternyata kalian memang berjodoh. Tapi aku berbeda dengan Mam yang hanya bisa pasrah pada kehendak orangtua. Aku punya pilihan sendiri. Aku punya pacar, tapi baru seminggu yang lalu aku putus—“ Mendadak aku terdiam mengingat pacarku yang memutuskan hubungan begitu saja.               Aku kembali menatap foto Pap. “Aku ingin menikah dengan orang yang aku cintai!” Nada suaraku meninggi entah karena apa. Mungkin aku mengingat Rengga—mantanku.             “Pap, aku bukan Siti Nurbaya!”                                     “Pap, bagaimana kalau laki-laki yang akan dijodohkan denganku itu jelek? Bagaimana kalau laki-laki itu penjahat? Bagaimana kalau laki-laki itu hidung belang? Bagaimana kalau dia itu psikopat? Bagaimana kalau dia itu gay? Bagaimana kalau dia—”             “Gita!!” teriak Mam memotong kalimatku, membuatku tersentak. Aku suka memanggil Ibu dan Ayah dengan sebutan Mam dan Pap. Itu karena efek samping keseringan baca novel terjemahan. Meski begitu, orangtuaku tidak mempermasalahkan panggilan Mam dan Pap.             “Mam,” gumamku.             “Apa-apaan kamu? Mau memukul foto ayahmu dengan sapu?!” tanyanya dengan langkah yang dihentak-hentakkan. Aku baru sadar karena emosi, gerakan spontan membuat sebelah tanganku yang memegang sapu terangkat sehingga terlihat seperti akan memukul foto Pap.             “.....”             “Ayo ke dapur. Kamu harus belajar masak. Anak perempuan harus bisa masak. Mau dikasih makan apa suami dan anakmu nanti kalau kamu tidak bisa masak.” kata Mam lalu melangkah ke arah dapur. Aku hanya terdiam, membatu.              Mam menoleh dan menghentikan langkahnya. “Kenapa masih di situ, sih? Ayo ke dapur. Kamu harus belajar masak!” Mau tidak mau akhirnya aku mengekor Mam ke dapur.             Masak? Ah, selama 24 tahun hidup baru kali ini aku ke dapur untuk belajar masak. Kalau di dapur biasanya cuma bikin mie instan saja. Tapi kali ini, aku harus memasak. Salah satu pekerjaan rumah tangga yang memalaskan buat gadis modern sepertiku.             “Mam, kok sudah pulang?” tanyaku, melihatnya sibuk mengeluarkan bumbu-bumbu dapur dari kantong plastik putih transparan. Mam seorang pedagang di pasar ayam. Jam 12 malam dia berangkat ke pasar dan biasanya jam 2 siang baru pulang. Sekarang baru jam 12 siang tapi Mam sudah pulang.             “Di pasar sepi. Gara-gara harga ayam naik, pembeli pun urung membeli ayam. Jadi, ya, ibu pulang saja.” jawab Mam yang terdengar seperti gerutuan.             “Kamu kupas bawangnya, ya.” Mam menyodorkan pisau dan beberapa biji bawang.             “Mau masak apa, Mam?” Aku mulai mengupas bawang.                                  “Sup ayam.” jawabnya, mata Mam masih fokus dengan ayam yang sedang di potong-potong menjadi bagian-bagian kecil.             Ponselku berdering. Aku menatap Mam sekilas sebelum pergi ke kamar untuk mengecek siapa yang menelpon.             “Halo, Git.” suara di seberang sana.                                                 “Iya, Ni.” Aku menghempaskan tubuh di atas kasur.             Agni. Sahabatku dari SMA. Hanya Agni yang sampai sekarang masih bertahan menyandang status ‘sahabat Gita’, entah menguap kemana sahabat-sahabatku yang lain. Yeah, aku baru sadar kalau aku memang tidak punya banyak sahabat dan juga teman. Saat ini aku hanya punya Agni. Dia gadis yang baik dan lemah lembut. Mengimbangi karakterku yang cenderung keras kepala. Jika diibaratkan Agni itu seperti air yang mampu meredam kepalaku yang terbuat dari api. Tapi, sejak SD aku selalu bersugesti kalau bukan hanya kepalaku yang tercipta dari api, tetapi hatiku juga.             “Besok kamu bisa berangkat ke kafe, kan? Soalnya di sini lagi butuh karyawan.”             Di kafe, tempat Agni bekerja ada lowongan sebagai seorang pramusaji. Di kedalaman hati, aku menolak pekerjaan ini. Apa kata orang jika mereka tahu kalau seorang lulusan sarjana ekonomi bekerja sebagai seorang pramusaji di sebuah kafe. Tapi... aku butuh pekerjaan. Aku sudah menganggur selama nyaris dua tahun.  Tak apalah menerima pekerjaan ini. Toh, pekerjaan sebagai pramusaji kan tidak berbenturan dengan hukum dan tidak akan ada masalah dan juga halal, tentunya. Tapi pekerjaan ini akan bermasalah ketika orang tahu kalau aku seorang sarjana. Mereka pasti akan mencemoh dan mencibirku. Oh, No s**t Gita!             “Gita!” suara Agni membuatku terkesiap.             “Ah, ya, Ni.” Jawabku gelapan.             “Jadi gimana? Kamu mau tidak?” desaknya.             “Iya tidak apa. Asal kamu tidak memberitahu mereka kalau aku itu sarjana. Kalau sampai ada yang tahu, aku tidak akan membunuhmu dan memutilasi tubuhmu.” Ancamku. Aku mendengar Agni cekikikan di sana.             “Iya, beres Git. Tenang saja, aku ini ahli dalam hal simpan-menyimpan rahasia.”             “Eh, kemarin malam aku melihat Rengga sama wanita lain di kafe. Ma’af, Git, tapi mereka bermesraan begitu.” lanjut Agni dengan nada menyesal.             Mendengar ceritanya, aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan mendesah kecil. Aku bahkan tidak terkejut sama sekali. “Aku sudah putus seminggu yang lalu, Ni.” Aku menunduk dan menggigit bibir bawah. Menelan rasa kecewa.             “Hah?! Putus? Kenapa Git?”             “Rengga yang mutusin. Katanya, ada yang lain.” Jleb! Sedih rasanya mendengar kata-kata itu keluar dari kedua daun bibir tipis Rengga. Meskipun aku mencintainya hanya dengan setengah hati, tapi tetap saja mendengar ada wanita lain yang menggantikan posisiku membuatku merasa cemburu dan sedih.             “Ya ampun, dasar laki-laki buaya darat! Kenapa tidak cerita sama aku, Git?”             “Lagian aku pacaran sama Rengga cuma setengah hati kok. Aku sudah terbiasa di sakiti. Kalau kata lagu, ‘Sudah terlatih patah hati’.” Aku tertawa pilu. “Aku tidak sedih dan menangis meraung-raung. Tenang saja.”               “Gitaaaa...!” suara Mam menggema ke seluruh ruangan rumah.             “Iya, Mam.” jawabku tanpa permisi pada Agni aku mematikan ponsel. ***             Bukan sekali atau dua kali hati ini dilukai. Tapi, mungkin memang inilah jalan takdir cinta. Cinta yang datang hanya sesaat lalu pergi berlalu meninggalkan jejak luka, dan pergi begitu saja. Cinta macam apa itu?! Apa semua laki-laki seperti itu? Apa mereka hanya menganggapku sebagai cadangan saja sebelum menemukan yang lebih cantik dan lebih segala-galanya dari aku? Mungkin... aku belum ditakdirkan bertemu dengan dia yang setia dan menerima aku apa adanya. Aku ingin memiliki kekasih seperti Pap. Bertanggung jawab dan setia. Mengingat Pap, membuatku ingat kembali dengan perjodohan. Kalau yang dijodohkan denganku memiliki sifat seperti Pap tidak apa asal dia juga punya wajah yang tampan. Tidak perlu setampan Leonardo Di Caprio sewaktu muda. Cukup seperti Pap saja. Kulit sawo matang dan humoris. Bagaimana kalau laki-laki yang akan dijodohkan denganku itu sudah tua? Bagaimana kalau dia punya penyakit yang tidak bisa disembuhkan? Atau jangan-jangan dia...             “Bawangnya dikupas, jangan dipegang saja.” suara Mam memecahkan pikiran burukku tentang perjodohan. Aku terkesiap.             “Besok malam kita diundang ke rumahnya.”             “Rumah siapa?” tanyaku dengan pupil melebar.             “Rumah calon suamimulah.” Mam tampak terganggu dengan sikap dan pertanyaanku.             “Mam yakin perjodohan itu akan berlanjut? Maksudku, Mam bagaimana kalau laki-laki itu sudah tua? Bagaimana kalau dia punya penyakit menular? Bagaimana kalau dia laki-laki hidung belang? Apa Mam tidak memikirkan hal itu sebelumnya? Mam, aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak aku kenal!” cercaku menyeruakan suara hati.             “Gita, perjodohan ini amanah dari ayahmu. Dia pasti sudah berpikir matang untuk memilihkan jodoh yang terbaik untuk kamu. Apa kamu tidak mau ayahmu tersenyum bahagia di surga? Dia akan bahagia kalau kamu juga bahagia dengan perjodohan ini.”             Bahagia darimana? Aku saja belum mengenal calon suamiku apalagi bisa mencintainya. Bahagia itu menikah dengan seseorang yang aku cintai, Mam.             Aku hanya bisa mengulum keprotesanku di dalam hati. *** Halo, pembacaku yang baik hati dan budimaaaan ^^ Jangan lupa tap love ya :) Dan jangan lupa kasih komentar kalian juga ^^ IG@finisah wattpad @finisah Terima kasih ^^

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

Sweetest Diandra

read
70.6K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Because Alana ( 21+)

read
360.6K
bc

The Ensnared by Love

read
104.1K
bc

My Ex Boss (Indonesia)

read
3.9M
bc

Tuan Bara (Hasrat Terpendam Sang Majikan)

read
114.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook