Orlando menaruh ranselnya di bawah kursi putar yang sejak awal ia tempati. Ia menyalakan monitor di hadapannya dan memeriksa beberapa email kerja sama yang masuk padanya hari ini.
Ponselnya berdenting, menampilkan pop up pesan dari Anika yang menanyakan bisakah Orlando menjemput Azalea hari ini yang langsung dibalas Orlando dengan Oke.
Biasanya kalau Anika sedang menerima banyak orderan, maka Azalea akan diungsikan ke rumah Orlando setelah sebelumnya Orlando pula yang menjemput gadis kecil itu. Tapi baik Orlando ataupun keluarganya, tidak ada yang keberatan dengan kebiasaan itu. Mereka dengan senang hati menerima Azalea kapan pun gadis kecil itu datang.
Sepuluh menit kemudian seorang wanita muda memasuki ruangan Orlando dengan membawa beberapa map yang berwarna sama.
"Ini print-out nya, Mas," ujar wanita itu.
Orlando mengangkat pandangan dan mengedikan dagunya ke arah meja, mengisyaratkan agar Nella-asistennya-meletakan berkasnya disitu.
Nella menurut dan langsung keluar ruangan.
Orlando melipat lengan kemejanya, mengambil ikat rambut di saku dan menguncir rambut gondrongnya.
Tampilannya yang seperti ini lah yang kerap kali disukai oleh wanita-wanita yang pernah singgah di hidupnya. Kecuali Anika. Anika memang sebuah anomali baginya. Wanita itu adalah yang akan dengan senang hati mencibir Orlando dan mengatai bahwa peruwujudan Orlando adalah lambang dari cowok-cowok bermasa depan suram.
Mengingat hal itu membuat Orlando berdecak cukup keras dan melepas kembali ikat rambutnya. Ia membenahi ulang rambutnya dengan menguncir sebagian dan sebagiannya lagi ia biarkan tergerai. Lalu fokusnya ia curahkan pada pekerjaan yang ada di hadapannya, ia harus bisa menyelesaikan sebagian dari berkas itu sebelum jam makan siang karena dia punya tugas lainnya yaitu menjemput pacar kecil di sekolah.
Tapi rencana menjemput pacar kecilnya itu harus tertunda atau bahkan batal, saat dua puluh menit menjelang makan siang seseorang datang menemuinya dengan wajah yang penuh airmata.
Orlando cukup terkejut melihat Lilian menyambangi kantor kecilnya dengan masih mengenakan setelan kerja dan kacamata hitam besar. Dan saat kacamata itu dibuka, mata sembab dan wajah basah gadis itulah yang pertama kali Orlando lihat.
"Aku mau ngomong, kamu ada waktu?" tanya Lilian, suaranya terdengar sangau menandakan bahwa belum lama wanita itu menangis.
Orlando mengangguk kaku, dan langsung meminta ijin untuk menelpon seseorang. Ia terpaksa menghubungi Orin agar adiknya itu menjemput Azalea di sekolahnya, beruntung Orin ada di rumah karena ia dipulangkan karena hari ini hanya ada jadwal try out.
"Kita jalan kaki aja, ke resto sebelah," ajak Orlando saat mereka sudah berda di depan kantor.
Lilian hanya mengangguk dan berjalan di samping Orlando. Orlando tidak mengatakan apapun sepanjang jalan, begitupun Lilian yang terlihat sangat murung dan lebih banyak melamun atau termenung.
Orlando menahan pintu dan mempersilahkan Lilian masuk lebih dulu, wanita itu menyambutnya dengan senyum manis dan ujaran terimakasih. Hanya tersisa satu meja yang kosong saat mereka masuk, membuat mereka tidak punya pilihan lain selain duduk di meja yang tepat ada di sebelah pintu masuk.
"Pesan apa?" tanya Orlando sembari membolak balik buku menu.
Lilian hanya menyebutkan ice lemon tea, sedangkan Orlando memesan pasta dan air mineral.
Orlando terdiam, tidak berniat bertanya lebih dulu atau berinisiatif menggali hal apa yang membuat Lilian sekacau ini. Gadis di depanya juga hanya duduk sembari memandangi vas bunga di atas meja dengan pandangan kosong.
Sampai pesanan mereka datang sepuluh menit kemudian, masih belum ada yang bicara. Orlando tidak ambil pusing dan memilih menyatap pastanya karena ia lapar.
"Kemarin istri dari pacarku datang," beritahu Lilian, gadis itu mengangkat wajah menatap Orlando.
Orlando menelan pasta yang masuk ke mulutnya dan meletakan kembali garpu yang tadi dipegangnya. Ia melipat tangan di meja dan memfokuskan diri pada cerita Lilian.
"Dia tahu kalau selama ini suaminya selingkuh, dan dia ngelabrak aku," Lilian menghela nafasnya dan meminum air di depannya.
"Aku bilang kalau suaminya yang lebih dulu deketin aku, bukan aku yang godain suaminya. Tapi dia tetap marah-marah dan bilang kalau aku engga ngeladenin ya suaminya engga akan selingkuh, padahal kalaupun bukan sama aku, aku yakin suaminya akan selingkuh dengan wanita lain," dalih Lilian.
Orlando sempat mengernyit samar, dari perkataan Lilian tadi secara tidak langsung wanita itu jelas mengetahui bahwa pacarnya a.k.a suami dari wanita yang melabraknya itu memang hidung belang dan tukang selingkuh. Tapi Orlando memilih tidak berkomentar dan menunggu inti dari alasan Lilian menemuinya siang ini.
"Malamnya, aku minta ketemu sama pacarku itu karena aku bilang ada yang mau aku omongin. Niatnya aku mau ngaduin soal kelakuan istrinya itu, tapi pas ketemu dia malah minta supaya hubungan kami berakhir karena dia engga mau dicerai istrinya," Lilian berujar sambil terisak kecil, membuat Orlando berinisiatif mengambilkan tisu untuk Lilian.
"Aku nolak, karena aku engga mau hubunganku sama dia berakhir. Terus dia setuju tapi dengan satu syarat," kata Lilian sambil menatap ke arah Orlando.
Saat alarm tanda bahaya menya di kepalanya, Orlando tahu harusnya dia tidak bertanya atau meninggalkan saja Lilian seperti waktu itu. Tapi sayangnya, mulutnya berkhianat saat sebuah tanya 'apa' meluncur dari bibirnya.
Lilian tampak ragu, dia memandangi Orlando sepersekian detik sebelum akhirnya berujar,
"Aku harus nikah sama cowok lain supaya istrinya percaya kalau aku sama dia udah engga hubungan lagi," katanya.
~
"Lo sibuk apa sampe nyuruh adek lo yang jemput Lea?" todong Anika saat Orlando memasuki tokonya.
Orlando mengabaikan pertanyaan Anika dan memilih menghampiri Azalea yang sedang belajar melukis bersama Orin.
"Rolade, gue ngomong sama lo ya!" sungut Anika kesal.
Biasanya Orlando akan langsung menolak untuk menjemput Azalea jika dia memang tahu akan sibuk. Tapi tadi pagi pria itu jelas-jelas menyanggupi dan tiba-tiba justru Orin yang meneleponnya dan bilang akan membawa Azalea ke toko.
Orlando memandang nelangsa ke arah Anika dan menarik tangan wanita itu.
"Gue benci sama hidup gue, Ka," ujarnya dramatis.
Bukannya prihatin, Anika justru menyentil dahi sahabatnya itu.
"Alay! Lo kenapa sih?"
Orlando menggelen pelan dan menelungkupkan kepalanya di atas meja.
"Jangan-jangan dulu pernah ada cewek yang gue tolak terus sakit hati, jadinya gue dijampe-jampe supaya jomblo terus dan selalu ketemunya sama cewek-cewek engga jelas," racau Orlando.
Anika berdecak, dia melepas apron yang masih ia kenakan dan duduk berhadapan dengan Orlando.
"Ceritain, ada apa?" tanyanya.
Orlando mengangkat kepala dan mendesah pelan.
"Lo inget Lilian?" tanya Orlando.
Anika mengangguk, "Cewek yang dijodohin sama lo taunya malah pacaran sama suami orang," tebak Anika.
Orlando mengangguk lemah, "Dia tadi datang ke kantor gue pas gue udah mau jemput Lea," kata Orlando.
Anika menatap tajam ke arah Orlando, "Oh, jadi lo batal jemput anak gue cuma karena mau ken---"ucapannya terhenti saat Orlando mengangkat tangan dengan wajah gusar.
"Dia dateng dengan muka yang kacau balau. Matanya sembab dan mukanya basah kayak orang abis nangis, dan dia minta waktu buat ngobrol sama gue. Mana tega gue nolaknya," jelas Orlando.
Anika mengecimus, "Okay, terus?"
"Dia cerita habis dilabrak sama istri pacarnya itu. Dan pas dia mau ngadu ke pacarnya, pacarnya malah mau mutusin dia karen engga mau cerai dari istrinya," lanjut Orlando, dia beralih menatap salah satu karyawan Anika dan minta dibawakan secangkir coklat panas.
"Syukurin! Siapa suruh jadi pelakor," caci Anika salah tempat.
Orlando mencemooh ke arah Anika, "Nyukurinnya totalitas banget, Bu. Pengalama pribada ya?" ejak Orlando. Ia lalu menutup kepala dengan kedua tangan saat Anika sudah mengangkat vas bunga tinggi-tinggi.
"Mulut lo itu harus disekolahin!" sungutnya.
"Engga usah ngomong gitu, lo lupa IPK siapa yang lebih tinggi?" sindir Orlando.
Anika yang kalah telak pun akhirnya hanya bisa mendengkus dan meminta Orlando melanjutkan ceritanya.
"Lilian engga mau diputusin sama pacarnya dan pacarnya setuju, dengan satu syarat," ucap Orlando, dia menatap lurus ke arah Anika yang justru mengerutkan keningnya.
"Apa?" tanya Anika, membuat Orlando merasa dejavu dengan pertanyaan yang sama itu.
"Katanya dia harus nikah sama cowok lain supaya istri dari cowok itu percaya kalau mereka udah engga ada hubungan," kata Orlando.
Anika bereaksi dengan menegakan duduknya, "Dan dia minta lo buat jadi cowok yang nikahin dia itu?" tebak Anika.
Dan wanita itu tampak murka saat Orlando mengangguk.
"Lo mau??" Anika menatap tajam ke arah Orlando.
"Ya enggaklah! Gila aja!" tandas Orlando. Dia benar-benar gila kalau sampai mengiyakan keinginan bodoh Lilian.
"Lo bodoh kalau sampai mau!" cerca Anika.
"Tapi yang bikin gue stres, dia neleponin gue mulu dari tadi," ungkap Orlando sambil menunjukan ponselnya yang menampilan 79 panggilan tak terjawab.
Anika membulatkan matanya dan menatap ngeri ke arah Orlando.
"Kok bisa sih Tante Kencana jodohin lo sama cewek gila begini?" tanyanya tidak habis pikir.
Orlando menggeleng lemah dan menjatuhkan ponselnya pelan ke atas meja.
"Apa gue blokir aja ya nomernya?" gumam Orlando pelan.
"Yaudah, blokir! Pusing amat," tutur Anika santai.
Belum sempat Orlando melaksanakan niatnya, ponselnya yang ada di atas meja bergetar membuat Anika dan Orlando sempat saling pandang sebelum akhirnya Anika yang meraih ponsel itu.
"Halo?" Anika menjawab panggilam telepon tersebut, membuat Orlando melebarkan matanya tidak menyangka.
"Olannya lagi mandi, ini siapa ya?" tanya Anika sambil tersenyum geli pada Orlando yang mengumpat pelan.
"Oh ya? Sebentar-- SAYANG, ADA TELEPON NIH. KAMU LAMA AMAT BERSIH-BERSIHNYA!" Anika berteriak sambil menahan tawa yang siap menyembur.
Dan tawanya lansung pecah saat Lilian di seberang sana buru-buru meminta maaf dan menutup sambungan, ditambah wajah suram Orlando yang langsung menelungkupkan kepalanya melihat tingkah Anika dan ucapan wanita itu yang pasti membuat Lilian salah paham.
"Gue jamin, dia engga akan ganggu lo lagi," simpul Anika yakin.
Dia kembali tertawa saat Orlando mengibaskan tangan tanpa mengangkat wajahnya.
~~