Lebih baik mencari ribuan alasan yang tidak penting, hanya untuk menghindari adu mulut denganmu.
Suara pantulan antara bola dengan semenan itu cukup berdengung beberapa kali di lapangan. Tidak ada yang perlu disoraki atau disemangati, karena mereka hanya bermain untuk mengisi waktu luang. Anggap saja, Anggota Khusus sedang malas nongkrong di rumah orang. Ya walaupun, habis olahraga kali ini mereka tetap ke rumah orang, tetapi setidaknya mereka tidak menghabiskan berjam-jam di rumah orang.
"Lang!" Sami bersuara dengan tangan kanannya yang masih setia memantulkan bola. Pandangannya tertuju pada Gilang yang sedang membelakanginya dan asik berbicara dengan Aldy dan Aldo.
Gilang menoleh. Meski suaranya berasal dari Sami, pandangannya tidak terjatuh ke cowok itu, melainkan kedua matanya lebih memilih untuk melihat pada Araya dan Ratu yang sedang berdiri di pinggir lapangan. Tidak lama untuk menatap, karena kemudian ia memilih untuk acuh.
Melihat Gilang yang tidak mengindahkan panggilannya itu, Sami berdecak. Ia kemudian melirik pada Araya yang masih memperhatikan Gilang, dan Ratu yang terlihat seperti takut dengan keadaan.
"Sebentar ya," ujar Sami yang langsung dibalas anggukan Ratu. Ia melempar bolanya asal, kemudian menghampiri Gilang yang berada di sisi lain pinggir lapangan.
"Lang, ngomong bentar kali." Sami berujar ragu. Ia jelas tahu apa yang sudah Araya lakukan dan itu jelas salah. Tetapi baginya, mengacuhkan seseorang tanpa merundingkan masalah terlebih dahulu bukanlah solusi.
Gilang menoleh sebentar, memberikan tatapan malasnya pada Sami. "Bilang aja gue gak mau," balasnya ketus.
"Gilang!"
Gantian Gilang yang berdecak. Suara Sami tergantikan oleh suara yang sudah malas sekali ia dengar. Meski dulunya sempat senang sekali dengan suara itu, tetapi namanya hidup, keadaan bisa berubah kapan saja bukan?
Ia tidak mengindahkan suara itu dan memilih untuk bangkit dari duduknya, kemudian meninggalkan posisi sebelumnya.
"Gilang!" Araya belum menyerah. Ia meraih tangan Gilang, dan menghentikan langkah cowok itu tepat di tengah lapangan, membuat permaianan terhenti sejenak karena posisi mereka yang menganggu, juga karena rasa penasaran apa yang terjadi.
Tidak ada kata ataupun kalimat yang keluar dari bibir Gilang. Ia memilih diam dan menunggu Araya melepaskan pegangannya pada tangannya itu.
"Kiara adik kamu?"
Suara pelan itu membuat Gilang berdecak. Ia pikir Araya akan membicarakan tentang hal lain yang lebih penting. Ternyata tidak ada pentingnya sama sekali.
"Gilang, aku belum mau putus!" rajuk Araya tiba-tiba.
Mendengarnya Gilang lagi-lagi berdecak. Apa hubungan Kiara dengan putus? Kenapa tiba-tiba dihubungkan begini.
"Kamu tau aku nekat 'kan orangnya!?"
Gilang berbalik, ia memilih menatap Araya dengan alisnya yang terangkat satu.
Araya tersenyum sinis. "Kalau kamu emang mau putusin aku, berarti aku jauh lebih bebas untuk ngapa-ngapain Kiara!" ancamnya.
Tetapi bagi Gilang itu bukan ancaman, melainkan sebuah lelucon. Mana mungkin Araya bisa berbuat sesuatu pada Kiara, ada juga terbalik.
"Lo ngancem gue?" Gilang membalas diakhiri dengan tawa sinisnya. Ia kemudian menatap tajam pada Araya, dan memberikan senyuman sinisnya.
"Rara jauh lebih kuat buat ngelawan lo, kali!"
Araya tidak mau kalah. Ia ikut menampilkan senyum sinisnya lagi. "Tapi dia gak punya temen sebanyak aku bukan?"
Tatapan Gilang semakin tajam. Senyum sinisnya hilang, digantikan dengan ekspresi datarnya. "Tapi dia punya backing-an lebih kuat dari lo 'kan?" balasnya telak. "Lo tanpa gue—" Gilang menggantukan ucapannya. Menatap sinis Araya. "Gak ada artinya di Angkasa," lanjutnya sarkastik, kemudian berbalik dan meninggalkan Araya yang masih diam di posisinya.
Araya menggigit bibirnya. Gilang berhasil menusuk relung hatinya. Cowok itu benar-benar kecewa padanya, sampai ancamannya pun tidak berhasil.
...
Suasana ruangan bernuansa warna pastel itu membuat Kiara merasa sedikit tidak nyaman. Baginya, warna pastel mengartikan sebuah kelembutan, dan itu bukan Kiara sama sekali. Kalau saja bukan karena Sami dan bukan karena es krim, pasti Kiara jauh lebih memilih untuk pulang.
"Enak gak, Ra?"
Kiara mengangguk. "Tau aja lo, gue suka es krim!" balasnya dengan senyuman.
Setelah kerja kelompok sore tadi, Sami tidak lupa akan ucapannya. Ia memang mengantar Kiara pulang. Tetapi belum sampai lima menit mereka berdiam di depan gerbang rumah Kiara, Sami sudah kembali mengajak cewek itu pergi lagi.
"Besok lo ada acara, Ra?" Sami bertanya sembari kedua matanya yang memperhatikan Kiara.
Kiara berpikir sejenak, sebelum menatap pada Sami. "Sekolah, terus pulangnya mau ketemu Daffa."
Sami menelan salivanya. Mendengar nama Daffa disebut oleh Kiara membuatnya merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Entah itu karena cerita Ben minggu lalu, atau alasan lain, Sami juga tidak tahu.
Sami berdeham. "Kalau gue gak bolehin, lo mau nurutin gue gak?"
Tanpa perlu diberi tahu pun, Sami jelas merasa kalimatnya itu jauh dari kata normal. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melarang seseorang dengan cara baik-baik dan sepelan itu. Tetapi karena lawan bicaranya adalah Kiara, ia harus melakukan hal itu.
Jujur, mendengar penuturan tersebut reaksi pertama Kiara adalah terkejut. Bahkan, ia membiarkan sendok es krimnya berhenti di depan mulut hanya untuk memperhatikan Sami yang menatapnya serius.
Kiara berdeham. Kemudian ia menaruh sendok dan gelas es krimnya di meja. Ia menegakkan posisi duduknya, seperti salah tingkah. Aneh. Kenapa ia harus salah tingkah juga?
"Emang kenapa?" sahutnya dengan nada ragunya.
Sami mengangkat kedua bahunya. "Gue gak mau ada anak angkatan gue yang ngelanggar aturan, Ra." Sami menjawab. Entah itu kenyataan atau hanya sebuah tameng untuk menutupi perasaan yang sebenarnya, tetapi setidaknya Sami akan berusaha untuk melarang Kiara.
"Gue gak ngelakuin hal yang aneh-aneh, Sam," papar Kiara dengan suaranya yang memelan, seolah takut Sami memberikan tatapan dingin padanya secara tiba-tiba.
Setelah hampir tiga bulan mengenal Sami, Kiara jelas jadi was-was akan emosi cowok itu. Menurut Kiara, Sami itu seperti bunglon, tetapi lebih parah. Karena kalau bunglon berubah sesuai tempat, sedangkan Sami berubah sesuai keinginannya.
"Gue tau." Sami ikut merendahkan suaranya. Ia juga jelas mengingat kebiasaan Kiara yang tidak akan mundur jika kemauannya tidak terwujud. Tetapi, mengingat ini sebuah keharusan, maka Sami harus berunding, dan harus dalam jalur damai. Ia tidak mau Kiara jadi marah atau malah merasa terpaksa atau lebih parahnya, beradu mulut dengannya.
"Cuma gue pengen, semua angkatan gue ngelakuin hal yang sama, yaitu gak boleh beruhubungan dengan anak Panca," lanjutnya.
Kiara menggigit bibirnya. Ingin sekali rasanya menyanggah ucapan Sami, dan meyakinkan cowok itu memang Kiara tidak melakukan hal aneh apapun bersama Daffa. Tetapi, apa bisa?
"Kenapa?"
Sami mengerutkan dahinya bingung. "Maksudnya?"
"Kenapa gak boleh beruhubungan dengan anak Panca?" sambung Kiara.
Melihat kilat tidak terima dan penasaran seorang Kiara, Sami jadi mendesah sendiri. Ia menyenderkan punggungnya pada kursi yang ia duduki dan melipat kedua tangannya. "Lo gak harus ta—"
"Harus," potong Kiara cepat. "Kalau gak harus, kenapa gue harus nurutin lo?"
Lagi, Sami berdeham. Kiara tidak salah. Pertanyaan itu wajar keluar dari bibir Kiara.
"Gue gak bilang lo harus nurutin," timpal Sami. "Gue cuma nanya, lo mau nurutin atau engg—"
"Enggak." Kiara kembali memotong. "Lo gak kasih penjelasan, dan gue gak mau melakukan. Seimbang bukan?"
Sami mendesah. Sudahlah, ia lebih baik mengalah. Tidak akan ada habisnya jika berdebat dengan Kiara.
"Enak gak es krimnya?" Sami bersuara, berusaha untuk keluar dari topik sebelumnya.
Kiara mendelik sebal. "Lo udah nanya tadi!" sahutnya kesal.
Sami terkekeh, ia melupakan satu hal itu. Hanya karena takut Kiara marah, Sami jadi salah mengambil langkah untuk keluar dari masalah, dan malah berakhir dengan malu.
"Oh iya!" Sami tiba-tiba kembali bersuara, membuat Kiara kembali fokus pada cowok itu. "Lo gak mau cerita siapa Rey?"
Penuturan aneh yang tiba-tiba keluar dari bibir Sami jelas lagi-lagi mendapatkan reaksi heran sekaligus terkejut dari Kiara. Cewek itu kembali menghentikan aktivitasnya memakan es krim dan memilih untuk menatap pada Sami.
"Kalau gak mau juga ga—"
"Kenapa tiba-tiba jadi Rey?" Kiara memotong.
"Ya, pengen tau aja!" balas Sami berusaha menyamarkan rasa penasarannya.
Kiara mengangguk pelan, kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya memakan es krim.
"Gue jadi mau marah sama lo deh, Sam," celetuk Kiara.
"Marah kenapa?"
Kiara berdecak. "Kacamata Rey ancur gara-gara lo!" lanjutnya dengan nada kesalnya.
"Hah? Kenapa gue!?" Sami tidak terima.
Melihat Sami yang menolak kenyataan membuat Kiara lagi-lagi mendelik sebal. "Lo injek-injek di lapangan!"
Kalau yang kali ini, Sami terima. Terbukti dengan dirinya yang menutup rapat bibirnya. Tidak mau mengeluarkan penolakan atau sanggahan lain untuk penuturan Kiara.
"Tapi gue juga gak marah-marah banget sih! Kesel doang!" aku Kiara kemudian. "Jadi lo gak usah merasa bersala—"
"Maaf."
Satu kata, namun mampu membuat Kiara tiba-tiba merasa kehilangan oksigen. Tidak ada yang salah dari ucapan Sami. Tetapi entah kenapa, Kiara merasa ada sedikit rasa penyesalan karena telah mengatakan hal tersebut pada Sami. Ia tidak bermaksud membuat cowok itu jadi merasa bersalah.
Bodohnya, Rara! makinya di dalam hati.
"Maaf, gue salah sangka pas itu." Sami kembali melanjutkan ucapannya.
Ucapan yang mampu membuat keadaan terbalik seketika. Karena sekarang, Kiara yang menutup bibirnya rapat-rapat, dan tidak berhenti merutuk di dalam batinnya.
"Gue gak maksud buat ngancurin kacamata Rey."
Sumpah, kalau kayak begini akhirnya, Kiara benar-benar menyesal karena membawa topik ini.
"Udahlah, udah lewat juga!" potongnya.
"Tapi lo yang mulai!" tukas Sami.
"Lo serius gak sih minta maafnya?" geram Kiara yang langsung dibalas kekehan Sami. Baru saja meminta maaf, tapi sudah ngajak berantem lagi, dasar Sami!