Takutku adalah kehilanganmu.
Sudah hampir lima jam berlalu, belum ada juga tanda-tanda Kiara ditemukan. Rayn yang tadinya memilih menunggu di atas pun, pada akhirnya ikut terjun ke bawah sana. Sedangkan sisanya dari mereka, masih menunggu kepastian dari bawah sana.
Araya dan Ratu sudah tidak berada di sana, Aldo sudah meminta Arya dan Charles untuk mengurus dua cewek itu, mengingat Araya juga sempat terluka tadi.
Suara binatang yang bersaut-sautan jelas semakin membuat malam ini semakin terasa tegang. Tidak ada yang ingin berteriak mencari, karena mereka tidak mau terjadi keributan malam ini. Jadilah, mereka mengerahkan semua senter yang ada, untuk mencari keberadaan Kiara.
Kedua mata Aldo beralih, menatap pada rerimbunan ilalang panjang yang bergerak di bagian tengah jurang itu. Ia langsung mengirim cahaya ke arah sana, membuat Aldy yang berada di sampingnya, ikut menatap ke arah sana. Seharusnya, bila ada angin, semuanya bergerak searah bukan? Tetapi yang Aldo lihat kali ini, jelas bukan karena angin.
Aldo bangkit dari duduknya, ia ingin meyakini apa yang dilihatnya sekarang juga. Untungnya, kakinya yang kuat itu bisa berhenti tepat sesuai tujuannya.
"Ra!" serunya, ketika melihat siapa dalang dibalik geraknya para ilalang itu.
Kiara, cewek itu sudah berada di hadapannya. Senyuman kelegaan jelas bisa Aldo tangkap dari wajah Kiara. Wajah cewek itu benar-benar kotor akan tanah, bahkan tidak jarang Aldo melihat garis luka yang berada di sana.
"WOY! INI ANAKNYA DI SINI!" Aldo berteriak keras, membuat orang-orang yang berada di sana ikut bernapas lega.
Pandangannya kembali fokus pada Kiara yang sudah mengubah posisinya untuk bersender pada tanah, setelah cewek itu mendapat pijakan untuk bertahan dalam posisinya.
"Lo kemana aja sih!?" Aldo bertanya dengan nada tidak sabarannya.
Bila diingat, ini adalah kali pertama Aldo bisa berujar lebih tenang pada Kiara. Bahkan Kiara merasa, ia seperti sudah berteman lama dengan Aldo.
Kiara membalas Aldo dengan tatapan tajamnya. "Ke dasar daratan!" balasnya kesal. "Ini jurang dalemnya kebangetan tau gak!?"
Aldo terkekeh, ia kembali memperhatikan Kiara yang masih diam pada posisinya, tanpa menunjukkan tanda-tanda ia akan bergerak.
"Ra!"
Mendengar namanya kembali dipanggil, Kiara hanya menoleh, tanpa ada niatan berganti posisi. Ia jelas bisa melihat Rayn dan Sami datang dengan wajah panik mereka.
"Lo gapapa?" Sami langsung melempari Kiara pertanyaan, ketika cowok itu berhasil mendekat pada Kiara.
Kiara mengangguk. Kemudian, kedua matanya beralih menatap pada Rayn yang menatapnya tajam.
"Lo diem sekali aja, bisa gak sih!?" Rayn bersuara kesal. "Gue udah takut bakal direpotkan dengan pemakaman lo!"
Kiara mendelik. "Sembarangan lo! Lo pikir gue mau jatoh ke bawah sono!" Kiara membalas.
Kemudian, Sami mengarahkan senter yang berada di tangannya untuk memperhatikan Kiara dari bagian atas sampai bawah. "Udah kayak preman aja lo," ujarnya.
"Aduh, aus gue!" Kiara memprotes. Ia kembali mendongakkan kepalanya, menatap pada jarak yang harus ia tempuh untuk sampai ke atas sana. Tidak terlalu jauh, dibanding dengan dirinya yang sudah menyusuri jurang itu untuk mencari jalan keluar.
"RARA!"
Kiara mendengus. Ia kembali menatap pada suara yang baru saja menyerukan namanya. Siapa lagi kalau bukan Gilang!
"Kemana aja sih, kamu!?" tanyanya galak. Ia menyingkirkan Sami yang awalnya berada di dekat Kiara, dan menggantikan posisi cowok itu. "Udah dibilang masuk tenda, masih aja cari masalah!" tambahnya.
Bayangkan, ini mereka sedang berada di bagian tengah jurang, tetapi masih sempat-sempatnya berdiam diri di sini untuk mengomeli dan melemparkan pertanyaan pada Kiara.
"Ayo naik!" Sami berusul pada akhirnya.
Kiara menggeleng. "Duluan aja deh! Gue capek sumpah!"
Sami melotot, bisa-bisanya Kiara menjawab seperti itu, di saat ia bahkan tidak jadi istirahat hanya karena cewek itu mencari masalah.
"Naik, Ra! Istirahat, capek kita semua!" Ben menambahi dengan nada tenangnya.
Kiara mendesah. Ia kemudian mengangkat celana panjangnya dan menunjukkan luka di kaki kanannya, dan mengangkat celana bagian kirinya yang menunjukkan luka besar pada bagian anklenya. "Kaki saya sudah mati rasa, Abang. Teganya engkau!" Kiara berucap dengan nada formalnya.
Gilang yang jelas bisa melihat itu, langsung memilih berjongkok, ingin memperjelas luka adiknya itu. "Ini kenapa?" tanyanya, kemudian menatap pada Kiara.
"Tadi udah sampai seperempat jurang, jatoh lagi, terus kakinya sempet nyangkut di antara akar pohon, jadi gini."
Sejujurnya, bukan hanya kakinya yang mati rasa, tetapi hampir semua badannya. Kiara hanya ingin tidur nyenyak di kasur empuk kamarnya.
Gilang berdecak. "Aku bisa digoreng Papa kalau gini!"
Mendengarnya Kiara terkekeh. "Makanya punya adik dijagain!" Kemudian ia melempar perhatiannya pada Sami yang masih diam saja. "Lo juga ngomongnya, jangan jauh-jauh! Tapi, lo ninggalin gue mulu!" protes Kiara.
Sami berdecak. "Ya udah, sini gue gendong, biar gak merasa bersalah banget guenya!"
"Gendong pala lo! Lo naik jurang begini mau gendong anak orang? Nyampe enggak, jatoh ke dasar lagi iya!" protes Ben. "Udah kita mau istirahat, jadi jangan buat masalah lagi ya!" ujarnya sembari melirik tajam Kiara.
...
Suasana pagi hari di Kota Bandung memang tidak pernah mengecewakan Gilang. Sebab itulah, cowok delapan belas tahun itu memilih kota ini untuk tempat tujuan touring kemarin. Tidak terlalu jauh dari Jakarta, tetapi tidak terlalu dekat juga, sehingga yang mengikuti acara ini bisa menikmati bagaimana asiknya sebuah touring itu.
Ia kembali merapatkan jaketnya, karena angin dingin khas dataran tinggi itu mulai memasuki kulit-kulitnya. Posisinya yang saat ini sedang duduk di aula, di tempat kemarin Kiara sempat duduk juga. Karena dari posisi ini, ia jelas bisa memantau yang terjadi di depan sana.
"Bang!"
Gilang menoleh. Tidak ada lagi orang di dekatnya, jadi sudah pasti ia yang dipanggil oleh cowok berambut berantakan itu.
"Bantuin dong! Udah mau mulai game!" Rayn berdecak. Sedari tadi ia bersusah payah menyiapkan acara, tetapi Gilang si ketua acara malah duduk santai di sini.
Gilang melengos. "Mager."
"Lo bener-bener ya! Gak lo, gak Ben, demen banget ngerjain gue!" Rayn berseru tidak terima. Ia menaruh tali tambang yang tadi dibawanya. Kemudian, ia ikut memilih untuk duduk di samping Gilang. "Si Rara mana?"
Gilang berdecak. "Sopan dikit kek lo! Masih kakak lo, main manggil nama aja!" tegur Gilang.
"Aneh ah, gak enak!" tolak Rayn seenaknya.
Di antara semua keluarga Anandita, percayalah, yang memiliki sikap bengal itu hanya Rayn dan tentunya Kiara. Selalu saja punya alasan untuk tidak melakukan sesuatu, mau itu salah ataupun tidak. Susah sekali sepertinya bagi mereka, untuk sebatas mengatakan 'iya'. Maka bila kata 'iya' muncul dari dua adiknya yang memiliki sifat sama itu, sudah jelas itu adalah mukjizat.
"Jangan ngerusuhin Rara! Gak bisa tidur dia dari kemarin." Gilang berujar tenang.
Rayn mengangguk mengerti. "Kasian, badannya pegel semua tuh pasti!" pikirnya menebak.
"Kemarin juga ngomel, gak mau tidur karena gelap. Malah nyuruh gue tidur duluan, terus dia mau tidur di aula aja, terang, katanya." Gilang menjelaskan. "Tujuh belas tahun gue jadi kakaknya, baru tau dia gak bisa tidur kalau gelap."
"Gue jadi adiknya enam belas tahun, kalau lo gak kasih tau, juga enggak bakal tau."
Gilang terkekeh. Tetapi memang bila diingat, kamar Kiara di malam hari selalu dalam keadaan terang benderang. Namun ia tidak pernah sadar akan hal itu, karena selama ini juga, setiap ia memasuki kamar Kiara dalam keadaan terang dan adiknya sudah tertidur pulas, ia yang akan mematikan lampu kamarnya.
"Terus, kok mau tidur jadinya?"
Mendengar pertanyaan tersebut, malah membuat Gilang terkekeh. Mengingat kejadian semalam, cowok itu jadi merasa geli sendiri.
"Sama si Sami disuruh tidur, dikasih senter. Terus gue, Sami, sama Ben ngobrol di depan tenda dia, cuma buat nungguin dia tidur."
"Ngapain dikasih senter?" Rayn bingung sendiri.
"Sami nyuruh taro di depan mukanya, biar Rara ngerasa terang." Gilang menjelaskan. "Gue mencium bau-bau aneh antara Rara dan Sami," sambungnya.
Mendengar kecurigaan tersirat dalam kalimat Gilang, membuat Rayn tertawa. "Bagus dong! Berarti yang megang Angkasa, selalu berhubungan sama Anandita!" balasnya semangat.
"Ya elah! Masa adik gue sama Sami! b******k begitu, mana mau dia!"
"Yeh! Lo tau apa sih tentang Rara!?" tanya Rayn sewot. "Kebiasaannya aja gak tau, apa lagi isi hatinya!" lanjutnya.
Gilang mendengus. "Kalau mau juga, gak akan gue ijinin!"
...
Jam sudah menunjuk pada angka sepuluh pagi, beberapa kegiatan juga sudah dilakukan dengan lancar. Tetapi, semuanya tidak sesuai harapan. Karena lebih banyak perempuan, dibanding laki-laki. Padahal, seharusnya selisih antara perempuan dan laki-laki hanyalan empat orang. Tetapi, karena kejadian semalam, banyak yang meminta dispensasi untuk tidur lebih lama lagi, dan untuk hal itu, Gilang tidak menolak. Karena pada kenyataannya, ia pun mau juga.
Sama seperti yang sedang Sami lakukan saat ini. Ia masih setia dalam posisi tidurannya, dengan Aldy yang masih tidur nyenyak di sampingnya. Kalau diingat, ia sudah bangun sejak sepuluh menit lalu, namun sayangnya, tubuhnya terlalu malas untuk bangkit dan keluar dari tenda.
Setelah lama terdiam, akhirnya Sami mengubah posisinya menjadi duduk. Samar-samar, ia jels mendengar berbagai teriakan, serta obrolan yang melayang melalui udara sekitar. Pertanyaannya saat ini adalah, apa Kiara sudah bangun? Suara seramai itu seharusnya mengusik tidur cewek itu bukan?
Sami melirik sebentar pada Aldy yang tetap tertidur pulas. Padahal kemarin, temannya itu tidak berbuat banyak, tetapi kenapa tidurnya jauh lebih pulas dibandingnya.
Kemudian, Sami keluar dari tendanya. Suasana pagi, yang sudah tidak terlalu pagi itu, tidak begitu dingin seperti dugaannya. Ia berjalan, menuju tenda kaum hawa. Maklum, Sami penasaran dengan Kiara.
"Ngapain lo!?"
Bahkan, belum memasuki batas wilayah perempuan saja, Sami sudah ditatap tajam oleh adik kelasnya itu. Seingatnya, kemarin ia bebas memasuki wilayah ini, kenapa sekarang tidak begitu?
"Mau nyari Rara." Sami membalas tenang. Ia memasukkan kedua tangannya pada saku celananya, kemudian membalas tatapan tajam cewek itu dengan malas.
Cewek itu mengangguk-anggukan kepalanya. "Belum bangun. Kebo banget!" Alyssa, cewek itu mendegus.
Sami gantian mengangguk. Mungkin, sampai saat ini belum ada yang memberi tahu kejadian semalam, jadi semuanya masih bisa mengomentari Kiara yang belum bangun juga.
"Mukanya banyak lecet. Kenapa ya? Apa gatel-gatel, terus digaruk?" Alyssa kembali bersuara, kemudian ia melipat kedua tangannya.
Sami mengangkat kedua bahunya acuh tan acuh, tidak mau menjawab. "Gue mau liat," ucapnya.
Baru selangkah Sami berjalan, ia sudah kembali ditutupi oleh Alyssa. "Gak boleh! Anak cewek lagi pada mandi!"
"Kan kamar mandinya gak di sini!"
Alyssa berdecak. "Cewek tuh kerjaannya bukan mandi doang! Udah, balik badan lo! Nanti lo ngeliat yang lain lagi, bukan Rara!" balasnya dengan nada tidak sukanya.
"Mau liat apa!?"
Alyssa mendelik. "Gak harus gue perjelas bukan!?" tanyanya sewot. "Udah, nanti kalau Rara bangun, gue kasih tau dia, lo nyariin. Kata Rayn juga, si Rara jangan ada yang ganggu, biar istirahat. Meskipun gue juga bingung apa alasannya."
Sami berdecak. "Liat bentar elah!"
Alyssa menggeleng pasti. "Berani lo maju selangkah aja, gue teriakin! Biar diomelin Gilang sama Rayn!" ancamnya.
"Gue ketua angkatan 36! Minggir!" Sami mengancam balik.
Tetapi lagi, Alyssa menggeleng. "Rayn ketua angkatan 37! Gilang ketua angkatan 35!"
Sami menautkan kedua alisnya bingung. "Hubungannya?"
Alyssa tersenyum. "Lo mau ngelawan Anandita, karena gak mau dengerin kata-kata gue?"
Mendengarnya, Sami memutar kedua bola matanya malas. Ternyata benar, memang setiap tahun, siapapun yang menjabat jadi pacar ketua angkatan, pasti sombongnya setengah mati. Untungnya, Kiara tidak seperti itu. Padahal cewek itu jauh lebih berkuasa dibanding pacar siapapun.
"Iya, bilang Rayn aja suruh ketemu gue." Sami membalas tenang. Dan setelahnya, cowok itu melewati Alyssa tanpa ragu.
"SAMI!" Alyssa berdecak. Ia tidak mau menyerah begitu saja untuk menghalangi jalan Sami. "JANGAN DIGANGGU!" tegasnya, sekali lagi.
Sami melirik malas Alyssa. "Udah dibilang, cuma mau ngeliat!" tegasnya balik.
"IH!" Alyssa kesal. "Temen-temen gue lagi ganti baju di tenda!"
Sami tidak peduli. Ia kembali mendekat pada tenda Kiara, dan membukanya tanpa ragu.
"ASTAGA!"
"Ya Tuhan! Kaget!"
"Aduh! Alyssa! Udah dibilang jaga depan!"
"Tau! Orang lagi ganti baju!"
Alyssa menahan tawanya. Setidaknya, ia sudah berusaha menahan Sami bukan? Cowok itu saja yang tidak mau percaya padanya. Alhasil, Sami merasa malu pada para adik kelasnya itu. Parahnya, tidak ada Kiara di sana. Sungguh memalukan.
"TUTUP KAK!"
Sami tidak membalas, tetapi ia langsung keluar dari tenda itu. Sejujurnya, ia malu. Tetapi, wibawanya tetap harus keluar dalam keadaan apapun.
"Mana Rara?" tanya Sami.
Alyssa menggeleng. "Kalau enggak ada. Berarti udah bangun."
Sami mendesah. Sepertinya, ia tidak mempunyai bakat berdebat dengan cewek.