SISI LAIN

2064 Kata
Ada ataupun tidak, kehadiranmu selalu tetap terasa. "Lo gak ada niatan terjun lagi 'kan?" Sami mendekat pada Kiara yang sedang duduk di atas tanah dan memperhatikan pemandangan di bawah sana. Sebenarnya, tidak bisa dikatakan pemandangan juga. Karena hanya ada pepohonan juga tanaman liar di bawah sana. Hanya saja Sami rasa, Kiara sedang menjadikan objek itu sebagai pemandangan baginya. Kiara yang sadar akan suara Sami tersenyum. Ia memperhatikan cowok itu yang ikut duduk di sebelahnya. Tidak lama, karena kemudian ia menggelengkan kepalanya pelan, seolah berusaha menyadarkan pikiran-pikiran aneh yang mulai muncul setiap Sami berada di sekitarnya. "Ini gak mau di plester aja?" Sami kembali bersuara, sembari menyentuh kening Kiara. Bagi Sami, mungkin itu hanya sentuhan biasa. Tetapi bagi Kiara, ia seperti tersengat listrik secara tiba-tiba. Bahkan, cewek itu sampai menelan salivanya untuk mengurangi salah tingkahnya. "E—enggak usah," balas Kiara dengan senyum kikuknya. Sami mengangguk. Kemudian kedua matanya beralih menatap pada kaki Kiara yang tergantung ke bawah. Ia jelas bisa melihat luka membiru di bagian ankle kiri Kiara. "Itu belum diobatin ya?" Dengan tiba-tiba, Sami menjatuhkan dirinya sedikit ke sisi jurang itu. Menaruh hidupnya dalam ancaman hanya untuk melihat apa yang terjadi dengan kaki Kiara. "Aw!" Kiara meringis tiba-tiba. Ia melotot pada Sami. "Jangan dipegang dong!" omelnya galak. Sami menatap pada Kiara, tepat pada kedua manik mata cewek itu. "Lo bisa jalan?" Ragu, Kiara mengangguk. Ia kemudian menarik paksa Sami untuk kembali ke posisi semula. "Udah ih! Gak kenapa-napa!" "Kok lo gak ngeluh apa-apa tadi malem?" Sami kembali mengintrogasi dirinya. Kiara lagi-lagi meringis. "Gak kenapa-napa, Sami! Gak sakit!" "SAMI!" Kiara kembali meringis kencang ketika cowok di hadapannya itu dengan sengaja menekan lukanya lagi. Melihat Kiara yang melotot, malah membuat Sami mengeluarkan tatapan dinginnya. Tatapan yang masih jadi pembunuh nomor satu bagi anak Angkasa, dan tentu bagi Kiara juga. "Kalau gak sakit kenapa harus marah?" tanyanya dengan nada dinginnya. Perubahan jelas seorang Sami membuat Kiara menelan salivanya kembali. "Kita ke klinik aja!" "Ga u—" "Bisa ikutin aja gak? Gak usah nolak?" Kiara menutup rapat bibirnya. Sami menakutkan kalau sudah marah. Jadi lebih baik Kiara diam saja. ... Jauh dari tempat tinggal, jauh dari kenyamanan, jauh dari ketenangan, ditambah lagi dengan berbagai kesialan, setidaknya itulah yang bisa mendeskripsikan keadaan Kiara saat ini. Sore nanti, perjalanan pulang dari Bandung akan kembali dimulai. Dan sangat disayangkan, karena Kiara tidak bisa ikut. Yang lebih disayangkan lagi, ia harus menunggu mobil yang dikirim Simon untuk menjemputnya, karena alasan larangan Dokter yang membuatnya terjebak di tempat ini untuk beberapa saat. "Gue aja yang nunggu, lo pimpin jalan." "Gak! Lo aja!" "Gue ketua angkatan dia!" "Gue Abangnya! Tolong di garis bawahi!" Kiara mendengus. Bukannya membantu untuk menenangkan dirinya yang sedang kesal, dua cowok itu malah beradu mulut di hadapannya. "Udah lo aja yang pulang duluan! Gue jagain pasti!" Sami belum menyerah juga. Sembari memegang kotak susunya, Gilang menggeleng. "Kemarin lo juga janji mau jagain Rara, tapi liat akhirnya!" Sami memutar bola matanya malas. "Ya anggep ini permintaan maaf gue!" Tidak hanya Kiara yang muak. Ben dan Aldo yang sama-sama berada di ruangan itu juga muak dengan keadaan ini. Sudah sepuluh menit lamanya kedua cowok itu beradu mulut, tetapi belum ada kesapakatan juga yang didapat. Menyebalkan sekali. "Motor lo siapa yang bawa, kalau lo nungguin Rara?" Gilang bertanya dengan nada tidak mau kalahnya. Sami melipat kedua tangannya, kemudian menaikkan alisnya sebelah. "Motor lo siapa yang bawa, kalau lo yang nungguin Rara?" Ben mendesah. Ini sepertinya sampai 5 jam lagi juga belum ditemukan kesepakatannya. Ckrek. Perhatian kelima orang itu teralih ketika pintu ruangan terbuka. Bagi empat cowok itu, tidak ada yang aneh atau menganggu dengan apa yang muncul di balik pintu itu. Tetapi bagi Kiara, itu menganggu sekali. Belum melakukan apapun saja sudah menganggu. Apa lagi, jika nanti orang di balik pintu itu mengeluarkan suar— "RARA!" Rayn s****n! Kiara memaki dalam batin. Sumpah, Kiara tidak tahu apa yang sebenarnya Alyssa mau. Tetapi jujur dengan sangat jujur, Kiara benar-benar terganggu dengan cewek itu. Tidak bisakah ia pergi untuk beberapa hari saja?  Seakan baru melihat fenomena meteor mendarat di darat, Alyssa mengitari tubuh Kiara. "Ini kenapa ya ampun! Ini juga! Astaga ini juga! Ya am—" "Aduh, Al! Jangan dipegang!" Kiara meringis, ketika cewek itu dengan sengaja menyentuh anklenya tanpa beban. Bahkan yang melihat kejadian barusan pun bisa ikut merasakan sakitnya. Sami bergerak, ia menjauhkan Alyssa dari Kiara dan menggeleng pasti. "Jangan di sentuh, lagi galak!" Kiara melotot. Apa-apaan? Sejak kapan ia galak? Perasaan seingatnya tadi, yang ada juga Sami yang galak. Kenapa jadi dirinya? "Aduh kalau kayak gini, lo gimana pulangnya!?" Gilang yang mengetahui adiknya itu merasa risih hanya bisa melempar tatapan tajamnya pada Rayn. Bisa-bisanya adik sepupunya itu hanya duduk manis di sofa, setelah menambah beban pikiran bagi Kiara. Kiara tersenyum kikuk. "Ada yang jemput dari Jakar—" "Gue temenin lo!" Kiara melotot. Ia kemudian beralih menatap pada Rayn yang sudah sibuk dengan gawainya. Bahkan, pacarnya pun tidak peduli. Kiara meringis. Kenapa semua pacar Anandita itu tidak memiliki sedikit saja sifat normal? Tidak Araya, tidak Alyssa, ada saja sifat minusnya. "Gak usah, Ca." Rayn akhirnya bersuara dengan nada tenangnya. Ia tidak mengalihkan fokusnya. Hanya saja, ia jelas sadar akan keheningan yang tiba-tiba terjadi setelah pacaranya bersuara itu. "Ih, aku mau nemenin! Masa dia balik sendirian!" Cerewet, nada tinggi, dan manja. Tiga hal yang membuat Kiara membulatkan tekadnya untuk tidak mau berteman dengan Alyssa. Silahkan anggap Kiara egois. Karena ia memang begitu. Berkata tidak suka, saat memang tidak. "Ada gue! Lo balik aja sama Rayn!" Gilang bersuara dengan nada acuh tak acuhnya. Bahkan, cowok itu tidak mau menatap pada Alyssa, seakan rasa kesal Kiara sudah terbagi padanya. "Tapi—" "Lo ngapain di sini, sih!?" Suara sarkastik Ben yang cukup mengejutkan membuat Kiara membulatkan matanya. Kenapa sepertinya satu ruangan ini jadi memojokkan Alyssa? "Jangan galak-galak sama cewek gue!" Rayn kembali bersuara. Lagi, tanpa mengalihkan fokusnya. Bahkan, Rayn pun terlihat tidak begitu peduli. Hanya mengeluarkan suara, tanpa ada tatapan. Dan seakan sadar dengan apa yang terjadi, Alyssa hanya mengigit bibirnya. Sepertinya ia baru saja melakukan kesalahan. Atau sebenarnya, ia tidak salah, hanya saja disalahkan. Kiara beralih menatap pada ponselnya yang sudah lama menganggur di atas nakas itu. Ia sudah tidak peduli dengan siapa ia akan kembali nanti ke Jakarta. Daffa : Gue abis dari makam Rey. Lo masih inget hari ini 'kan? Kedua mata Kiara membulat sempurna. s**l. Bagaimana ia bisa melupakan hari sepenting itu. Tanpa peduli dengan keadaan, cewek itu tanpa ragu menekan tombol untuk memanggil Daffa. "Nelfon siapa?" Gilang penasaran. Wajah panik dan tatapan tidak tenang Kiara membuatnya jelas penasaran dengan apa yang terjadi. "Daffa!" Satu nama. Tetapi mampu mengalihkan semua pasang mata di sana untuk menatap pada Kiara. Tidak terkecuali seorang Rayn yang sedari tadi fokus pada gawainya. Tanpa aba-aba Gilang dengan mudahnya mengambil ponsel adiknya itu. Sepertinya Kiara benar-benar melupakan siapa Daffa di mata Angkasa. Entah apapun yang Kiara bicarakan ataupun apa yang akan Kiara bicarakan, Gilang tidak akan peduli itu. Karena baginya, Kiara sudah melewati batas kali ini. "Ah, Abang!" Kiara bersuara panik. Seperti ada gemuruh besar yang siap menghantam dirinya, dan kali ini, Gilang tidak membantunya, tetapi malah mempersulitnya. "Jangan berani telfon dia di depan gue!" Kiara menggigit bibirnya. Gilang marah. Ia sama sekali tidak bermaksud membuat Gilang marah. Ada hal penting yang benar-benar harus ia lakukan, dan hanya Daffa yang bisa ia percaya untuk melakukan itu. "Lang!" Ben berdiri, ketika menyadari kilat marah di mata Gilang. Seakan cepat sadar dengan keadaan, Aldo langsung memberi kode pada Rayn untuk membawa Alyssa keluar. Ia tidak mau nantinya, Alyssa jadi ancaman baru bagi Angkasa. Kiara menahan tangisnya. Ia berusaha untuk berdiri dengan keadaan kakinya. "Abang please balikin!" pintanya memohon. Sami yang tidak mengerti, hanya menahan Kiara, berusaha supaya cewek itu tidak menggunakan kakinya terlebih dahulu dalam keadaan ini. "Kenapa?" Sami menangkup wajah Kiara. Ia jelas merasakan getaran pada tubuh Kiara. Ia tidak mengenal Kiara saat ini. Ia sama sekali tidak pernah melihat Kiara seperti ini sebelumnya. Kedua mata cewek itu terus bergerak gelisah, membuatnya ikut panik sendiri. Ke mana Kiara yang galak? Kemana Kiara yang selalu sok tangguh itu? Sami sama sekali tidak melihatnya kali ini. Bugh. Kiara kembali membulatkan kedua matanya sempurna. Gilang baru saja membanting gawainya. Membanting satu-satunya harapannya saat itu. Sami yang masih berusaha menyadarkan Kiara yang seperti kehilangan kesadarannya itu semakin dibuat panik. "Minggir!" Kiara berujar pelan namun tajam. Ia tidak menatap pada Sami, tetapi suara tajamnya mampu membuat Sami benar-benar kebingungan. "MINGGIR!" Kiara berteriak dengan suara bergetarnya itu. Air matanya turun bersama teriakannya. Tidak ada yang bisa membantunya saat ini. Semuanya hanya membuatnya semakin sulit. "Ra!" Sami berseru ketika cewek itu tiba-tiba melangkah dengan cepat di saat keadaan kakinya jauh dari keadaan baik. "Ra, mau kemana!?" Rayn yang sudah memlih untuk berjalan menuju kantin rumah sakit, spontan terkejut dengan kehadiran Kiara yang tiba-tiba kembali berada di hadapannya. "Rey!" Satu nama kembali tersebut, bersama dengan air mata yang kembali turun dari kedua mata Kiara. Air mata yang perlahan berubah jadi tangisan. "Telfon Daffa, Rayn! Telfon!" Kiara berucap panik. Rayn m******t bibirnya. Ia melepaskan pegangan tangannya pada Alyssa dan meminta cewek itu memberi ruang terlebih dahulu untuknya dan Kiara. Kalau seperti ini, apa gunanya membawa Alyssa keluar dari ruangan? Kepala Kiara benar-benar dipenuhi dengan berbagai kejadian seketika. Kejadian yang ia pikir sudah tidak bersemayam di otaknya. Tetapi kenyataannya, kejadian itu kembali melintas di pikirannya. "Kita sahabat Kiara!" "Gue jagain lo selalu di sini!" "Kiara!" Kiara menutup kedua telinganya. Suara itu lagi-lagi terdengar setelah hilang selama dua tahun ini. "Rayn! Telfon Daffa!" Rayn melirik pada jam tangannya cepat. Tanggal 11. Rey pergi di tanggal ini. Kiara menjatuhkan dirinya, ketika ia benar-benar merasa dunianya penuh dengan suara-suara dari masa lalunya. "Ra!" Gilang kembali muncul. Cowok itu melihat naas pada adiknya yang kehilangan dirinya, lagi. Gilang memeluk Kiara. Erat. Seakan tidak akan melepaskan adiknya itu. "Ada aku! Lihat aku!" Gilang mulai membisikkan kalimat itu berulang kali di telinga Kiara. Berusaha menenangkan adiknya yang ia yakini sudah disibukkan dengan dunianya. Suara Gilang dan suara yang muncul dari otak Kiara seakan beradu. Membuat Kiara semakin dibuat kebingungan dengan dirinya sendiri. Ia menggelengkn kepalanya berkali-kali, berusaha menyingkirkan suara aneh yang entah dari mana memasuki telinganya terus-menerus. "Lang, gak bisa." Suara Ben yang memberat membuat Gilang menggelengkan kepalanya. "Telfon Daffa, okay?" tanyanya meminta persetujuan. Gilang menggeleng cepat. "Enggak usah!" tajamnya. "Dia bisa lepas dari itu semua Ben!" "Telfon Daffa, Abang!" Kiara kembali bersuara dengan nada paniknya. Ben m******t bibirnya. Kenapa hal ini terjadi lagi ketika Kiara jauh dari Tiara? Kenapa di saat tidak ada yang bisa menenangkan Kiara hal ini harus terjadi? Ben menggeleng. Ia kemudian mencari nomor Daffa di gawainya, dan berusah menghubungi cowok itu. "Jangan telfon dia, Ben!" tajam Gilang ketika menyadari apa yang dilakukan cowok itu. Lagi, Ben menggeleng. Ia tidak mungkin membiarkan Kiara menjadi kebingungan sendiri. Ia yakin, hanya itu satu-satunya cara saat ini. "Daf!" Mendengar nama Daffa kembali disebut, Kiara secara tiba-tiba bangkit dari posisinya, melawan Gilang yang masih berusaha untuk tidak melepaskan pelukannya. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi Sami yakin, hal itu jauh lebih penting dari keadaan kaki Kiara saat ini. Karena sedari tadi, cewek itu benar-benar melupakan kenyataan kakinya yang sedang penuh luka itu. "Mana!? Kasih aku!" Kiara berujar tidak sabar. Ben menjauhkan lebih dahulu gawainya dari jangkauan Kiara. "Tenang, okay?" Ben bersuara sembari mengelus pelan kepala Kiara. Kiara mengangguk. Ia kemudian mengambil gawai yang diberikan oleh Ben kepadanya. "Daffa, beliin dulu mawar kuning! Gue ganti nanti! Bilang Rey, maaf telat! Tolong, Daffa! Tolong!" Kiara berujar dengan nadanya yang menahan tangisnya untuk keluar. "Ra.." Daffa membalas dengan suara kebingungannya. "Beli Daffa!" "Okay! Lo tenang okay? Gue beliin, tapi lo tenang!" Kiara mengangguk, seakan Daffa bisa melihat anggukan cewek itu. "Cepet Daffa! Nanti Rey marah!" "Iya okey gue tutup! Janji lo baik-baik aja ya!?" "Iya!" Dan setelahnya, yang terjadi adalah Ben memeluk erat Kiara, karena saat sambungan terputus yang terjadi adalah Kiara kembali menangis. Sisi lain Kiara yang baru pernah terlihat oleh Sami dan Aldo. Dua orang yang jelas kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dan di saat Kiara benar-benar larut dalam pelukan Ben, Gilang malah terlihat menahan tangisnya juga. Sebenarnya, apa yang tidak diketahui Sami dan Aldo? "Udah tenang, ya? Udah dijalanin sama Daffa." Ben kembali bersuara. Meski ia yakin suaranya tidak akan didengar oleh Kiara, setidaknya itu bisa membantu cewek itu untuk berhenti mendengar sesuatu yang fana. "Harusnya aku gak pergi!" Kiara mengeratkan pelukannya. "Harusnya aku di sana! Aku ninggalin dia lagi!" Ben tidak berucap lagi. Suara Kiara sudah memelan dari sebelumnya, maka ia yakin emosi Kiara sudah teredam perlahan. "Rey marah sama aku pasti ya?" Kiara kembali bersuara dalam pelukannya. Tangisannya terdengar menyaru dengan suara bicaranya. Ben menggeleng. "Gak ada yang marah sama kamu. Rey gak marah sama kamu," balasnya lembut. Kedua mata Ben beralih, menatap pada Gilang yang menyender pada tembok ruangan itu. Gilang tidak jahat. Apapun yang Gilang lakukan barusan adalah hal yang tepat. Hanya saja, tadi tidak ada Tiara yang terbiasa untuk menenangkan Kiara seperti biasa. Lagi pula Ben yakin, Gilang pun sebenarnya tidak tega melihat Kiara seperti tadi. Tetapi antara emosinya dengan Daffa dan masa lalu Kiara membuatnya lupa untuk mengontrol diri, dan malah berakhir dengan mengekspresikan emosinya. Padahal seharusnya ia hanya memeluk erat Kiara, seperti apa yang Ben lakukan sekarang. "She's fine," bisik Aldo. Cowok itu menepuk pelan bahu Gilang berusaha menenangkannya. Meski tidak tahu yang terjadi, tetapi ia yakin hal sekecil itu pun bisa membantu temannya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN