SEBUAH RAHASIA

1009 Kata
Sia-sia atau tidak, yang namanya usaha tidak akan mengkhianati hasil bukan? Ben meneguk air yang keluar dari botol minumnya itu. Syukurlah Alyssa lebih banyak bertindak dari pada berbicara kali ini. Karena di saat yang lain disibukkan dengan Kiara, cewek itu memilih untuk membeli makanan dan minuman yang banyak untuk persediaan di rumah sakit. Setelah kejadian barusan, Ben dan Gilang memutuskan untuk tinggal di rumah sakit lebih lama. Gilang juga meminta Dokter rumah sakit untuk memeriksa keadaan Kiara seperti biasanya ketika Kiara kumat dulunya. Sami, Rayn, dan Aldo juga masih ada di sini. Yang pasti, semua ketua angkatan meninggalkan acara hanya untuk Kiara. Perhatian Ben teralih, ketika Rayn baru saja keluar dari ruangan Kiara. "Gue balik duluan ya, Bang?" Ben mengangguk. Satu-satunya yang bisa diandalkan kali ini adalah Rayn. Ia tidak mau acara kali ini benar-benar hancur berantakan, hanya karena semua ketua angkatan disibukkan oleh Kiara. "Yuk!" Rayn mengulurkan tangannya, mengajak Alyssa yang masih duduk diam dengan matanya yang masih penasaran. Alyssa mengangguk, kemudian beralih pada Ben yang sudah sibuk dengan pikirannya lagi dan terlihat tidak peduli dengan kepergiannya. Ia m******t bibirnya dan mengeluarkan tatapan tidak enaknya pada Rayn. Rayn menggeleng, seolah mengerti arti siratan mata Alyssa. Ia yakin, cewek itu ingin meminta izin pada Ben untuk pulang juga. Mungkin bagi Alyssa, pamit adalah suatu hal yang penting. Tetapi bagi Rayn, hal itu sedang tidak penting saat ini. Tepat setelah kedua orang itu pergi, Ben kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi tunggu itu. Ia menghela napasnya, kemudian memejamkan matanya sejenak. Ia yakin, sepanik apapun dirinya tadi, Gilang jauh lebih panik darinya. "Ben?" Suara yang kembali memasuki telinganya itu membuat Ben kembali membuka matanya, dan mendapati Sami sudah duduk manis di sebelahnya. "Kenapa sih?" Sami bersuara tenang, tetapi penuh dengan rasa penasarannya. Ben berdeham. "Cerita masa lalu," balasnya pelan. "Ya, apa?" Mendengar nada paksaan dari Sami, Ben mengubah fokusnya pada pintu ruangan Kiara. Ia tidak tahu jelas apa hubungan Sami dan Kiara, dua orang itu juga tidak pernah menceritakan apa-apa padanya. Tetapi, melihat beberapa kejadian yang terjadi pada Kiara dan Sami selalu ikut di dalamnya membuat Ben jadi berpikir sejenak. Apa tidak masalah Sami mengetahuinya? "Ada sangkut pautnya sama masalah Angkasa dan Panca?" tebak Sami. Ben m******t bibirnya, kemudian mengangguk. "Sabian bukan satu-satunya orang yang tewas tiga tahun lalu." Seakan sadar apa yang mulai dibicarakan, Sami menelan salivanya. "Hari ini 'kan?" ucapnya. Ben lagi mengangguk. Meski tiga tahun yang lalu Sami dan Ben sama-sama duduk di bangku SMP, kejadian itu jelas sudah diketahui  bagi anggota khusus Angkasa, apalagi Sami dan Ben sama-sama orang penting di Angkasa. "Sabian punya adik, Rey namanya..." Ben menggantung ucapannya. "Orang kesayangan Rara, sahabat Rara, pokoknya yang paling deket dengan Rara di masa SMP. Dia meninggal hari ini juga, karena serangan dadakan itu." Sami diam, tetapi matanya jelas menunjukkan sedikit keterkejutan atas cerita Ben. "Lo tahu 'kan Sabian sama Abas, udah kayak Aldo sama Gilang?" Sami mengangguk. Sepertinya kalau yang itu, satu Angkasa tahu. Kedekatan Sabian dan Abas memang bisa dibilang cukup melebih batas, bahkan dua orang itu sering sekali dikatain homo, dan tidak pernah membantah juga. "Setiap ada acara keluarga di rumah Eyang gue, dua orang itu juga pasti selalu ada. Pokoknya gara-gara Rara dan Abas, Sabian dan Rey udah kayak anggota baru di keluarga kita." "Lo tahu Abas stress abis sampai pindah ke Jerman 'kan?" Ben bertanya untuk memastikan. Sami mengangguk. "Sama halnya kayak Abas. Rara juga gitu. Dia jauh lebih stress dari Abas. Emosinya gak stabil, sakit-sakitan, dan kerjaannya selama setahun penuh bolak-balik rumah sakit." "Lo tahu masalah-masalah yang muncul antara Angkasa sama Panca 'kan?" Ben kembali bertanya. "Masalah Aldo yang hampir aja punya nasib sama kayak Sabian, dan Gilang hampir punya nasib sama kayak Abas," lanjutnya. Sami lagi mengangguk. Ia sudah pernah diceritakan Aldy. Meski ia masih duduk di bangku SMP saat itu juga, tetapi percayalah, Sami tidak akan ketinggalan berita jika itu menyangkut Angkasa. Dan ketika Sami mengangguk, mengartikan bahwa Ben tidak perlu menceritakan bagian itu lagi pada cowok itu. "Yang ngebuat Kiara dan Abas kayak gitu, Dirga." "Dirga siapa? Bukannya dikeroyok?" Sami lebih dulu bertanya. Ben mengangguk. "Sabian udah sekarat, dan Dirga yang ngebuat dia benar-benar pergi dari dunia ini," balasnya. "Dan yang ngebuat Rey gak ada..." Ben menelan salivanya. "Daffa, sepupunya Dirga." Sami menahan napasnya. Meski banyak alasan untuk membuat cowok itu menjadi orang yang paling jahat, bagi Sami, ini adalah alasan terparah. "Rara tahu?" Ben menggeleng pasti. "Gilang gak mau ngasih tahu," jawabnya. "Gilang takut, kalau Rara tahu, dia dendam dan bisa ngelakuin yang lebih parah." Sami mengangguk setuju. Melihat kebiasaan Kiara yang tidak pernah takut itu jelas membuat Sami setuju dengan hal ini. Di saat orang lain mundur untuk berurusan dengan senior, Kiara adalah satu-satunya yang maju dan berani melawan senior. Itu saja sudah cukup menjelaskan sifat Kiara. "Tapi di sisi lain, Gilang gak mau Kiara deket sama Daffa. Karena itu sama aja ngelukain perasaan Kiara." "Rara tahu udah berapa banyak cewek Angkasa yang digituin sama Panca?" Sami bertanya. Ben menggeleng. "Gak ada yang tahu selain Anggota Khusus, Sam. Kita udah sepakat buat jaga, bukan buat malu-maluin korban kan?" "Gilang juga takut, Daffa ngedeketin Rara cuma buat nerusin kelakuan b***t Panca." Ben kembali bersuara. "Rara satu-satunya cucu cewek Eyang gue. Keluarga gue gak mau dia kenapa-napa gara-gara anak Panca." Sami mengangguk. "Lo bisa bantu Rara jauh dari Daffa 'kan?" Ben tiba-tiba kembali bersuara. Mengeluarkan kalimat yang entah kenapa terasa aneh bagi Sami. Sami mengangguk ragu. "Tanpa ngasih tau siapa Daffa." Ben melanjutkan. Pandangan dua cowok itu teralih, ketika mendapati Gilang keluar dari ruangan Kiara. Waktu masih sore, tetapi cowok itu sudah terlihat lelah sekali. "Daffa ngehubungin lo lagi?" Gilang bersuara sembari menatap pada Ben. Cowok itu memilih untuk berdiri dan menunggu jawaban dari Ben, seolah-olah jawaban dari Ben sangatlah penting saat ini. Ben menggeleng. "Gak akan berani juga," balasnya tanpa ragu. "Jagain bentar ya, gue mau ke depan." "Supirnya udah dateng?" Sami bertanya. Gilang mengangguk. "Bantuin gue urus administrasi deh, Ben!" Ben mengangguk mengiyakan. "Titip, Sam. Jangan diapa-apain!" Sami berdecak, membuat Ben terkekeh. Setelahnya, Sami kembali memasuki ruangan Kiara. Melihat pada cewek itu yang tertidur dengan tenangnya, tidak seperti siang tadi yang seperti kesetanan. Melihat Kiara, Sami jadi berpikir, apa ia akan berhasil membuat Kiara jauh dari Daffa tanpa memberi tahu siapa cowok itu sebenarnya. Melihat bagaimana Kiara selalu membanggakan seorang Daffa, apa cewek itu akan sanggup mendengar kenyataan dari sisi lain seorang Daffa. Sami tidak yakin, cewek itu bisa menjauh dari Daffa kecuali dengan mengetahui kenyataan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN