SEBUAH HARI

2350 Kata
Bagaimana kalau aku jatuh cinta dengan sikap pedulimu?  - Kiara Anandita Bahagianya Kiara siang ini jelas tidak ada yang bisa mengerti. Pelajaran Olahraga tidak ada, sama saja seperti memberi Kiara ribuan gelas es krim. Rasanya bahagia sekali. Meskipun masih diharuskan untuk berganti baju dan menuju lapangan, Kiara tetap senang. Tidak akan ada yang melarangnya hari ini untuk berteduh. Sebenaranya, Kiara itu heran. Sekolah Angkasa itu punya lapangan di dalam ruangan, tetapi entah kenapa guru Olahraganya itu senang sekali membawanya ke lapangan di luar ruangan seperti ini. Sekalinya tidak ada, gantian teman-temannya yang senang sekali memakai lapangan tanpa atap itu. "Kiara ayo basket!" Asya dengan ceria mengayunkan lengannya untuk mengajak Kiara. Kiara menggeleng. Ia kemudian mengatupkan kedua tangannya di depan mulut. "Males!" teriaknya, supaya suaranya terdengar sampai tengah lapangan. "Wah, Ra! Gak asik lo! Masa dari awal masuk ke sini, belum sekali pun lo main basket!" Charles, teman sekelasnya itu berteriak menyoraki dirinya. "Tau, Ra! Ayo!" Asya kembali berteriak semangat. Baiklah, Kiara mengalah untuk hari ini. "Pemanasan, Ra." Sami berujar dari tempatnya yang tidak jauh dari Kiara. "Gak usah, nanti kelamaan! Udah pengen liat lo main!" Charles kembali berujar. Kiara mengambil posisinya, barulah permainan dimulai. Kalau kalian berharap Kiara akan lari-lari mengejar bola, maka maaf harapan kalian tidak bisa terkabul. Karena Kiara memilih untuk berjalan saja, bahkan ia tidak mau meninggalkan areanya. Ia terlalu malas. "Main dong, Ra!" Kiara mendengus. Charles itu cowok, tetapi kenapa bawel sekali sih? "Ra, tangkep!" Kiara langsung mendongakkan kepalanya, mengambil bola yang baru saja di lempar Madeline menuju dirinya. Kiara mengalah, biarkan hari ini dia menunjukkan bakatnya. Ia membawa bola itu dengan lincahnya, melewati lawan-lawannya dengan mudah, dan pada akhirnya, ia meninggalkan areanya. Suara teriakan yang mulai mendominasi lapangan membuat Kiara tersenyum simpul. Hal-hal seperti ini yang membuatnya selalu teringat dengan sekolah-sekolahnya yang dulu. Teman-temannya yang selalu menyoraki dirinya karena berhasil membawa bola dengan baik dan berakhir dengan poin banyak yang dibawa olehnya. Tetapi entah kenapa, semenjak Kiara masuk ke Angkasa, rasanya setiap pelajaran Olahraga, Kiara mau izin pulang. "WAH! MANTAP RA!" Asya berteriak heboh, ketika Kiara berhasil mencetak poin dengan cara three-point. Tidak pernah mau diajak main, tetapi sekalinya main langsung memberikan tiga poin, siapa yang tidak senang se-tim dengan Kiara? Lagi, dengan sengaja Madeline kembali memberikan bola pada Kiara. Cewek blasteran itu tertawa kecil, ketika melihat Kiara membawa bola dengan semangat. Dari langkah dan cara membawa bolanya saja, Madeline sudah dapat menyimpulkan kalau Kiara memang anak basket, bahkan ia bisa melewati rintangan lawan dengan mudah. "GILA! KEREN LO, RA!" Charles berteriak heboh, ketika lagi-lagi Kiara mencetak poin. "Aduh, duh!" Suara keluhan yang berasal dari bibir Kiara membuat beberapa orang di sana menghentikan pergerakannya. "Ahh!! Kram!" Kiara panik sendiri, ketika merasakan sakit yang tiba-tiba menjalar pada bagian betis kanannya. "Eh?" Asya ikutan panik. "Duduk! Lurusin-lurusin kakinya!" Kiara menurut. Ia langsung menduduki tubuhnya di tengah lapangan dan meluruskan kakinya. Asya langsung mengambil alih kaki Kiara yang sedang dalam kondisi tegang itu dan mulai memijatnya pelan. "Jangan gitu, Sya." "Sini gue aja." Sami  menawarkan dirinya untuk menggantikan posisi Asya. Ia berjongkok, kemudian menggoyangkan pelan kaki kanan Kiara yang masih terlihat tegang, dan memutar pergelangan kakinya sesekali. "Angkat tangan kiri lo sekuat mungkin!" Sami berujar tenang. Kiara mengangguk, kemudian mengikuti lagi apa yang Sami perintah. "Masih sakit?" Sami bertanya memastikan. Ketika Kiara sudah cukup lama melakukan perintahnya. Kiara meringis pelan. "Enggak begitu," balasnya. Sami mengangguk, tetapi tetap menggoyangkan kaki Kiara. "Makanya kalau disuruh pemanasan, ya pemanasan!" Kiara nyengir. "Charles yang nyuruh langsung main!" sahutnya membelas diri. "Dih, jadi gue!" Kiara hanya menjulurkan lidahnya pada Charles. "Udah, Sam. Udah gak sakit." Kiara melapor. "Ya udah." Sami bangkit dari posisi jongkoknya. "Sini gue bantuin." Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya pada Kiara yang langsung disambar oleh Kiara. "Makasih," kata Kiara dengan senyumannya. Sebagai jawaban, Sami hanya mengangguk dengan senyumannya. Sami, kamu harus tahu.... jantung Kiara berdetak lebih cepat karena kamu. ... Pelajaran Bahasa Indonesia kali ini harus banyak diberikan kata terima kasih bagi Kiara. Pelajaran yang baginya tidak pernah membosankan itu membawanya duduk di kantin saat ini. Guru yang mengajar hanya memberikan tugas kelompok dan para siswanya dibebaskan untuk mengerjakan di mana saja asal masih di lingkungan sekolah. Tetapi sangat disayangakan, tidak ada Asya, Madeline, ataupun Sami di kelompoknya. Bukan masalah besar baginya, hanya saja jadi terasa canggung bila berteman dengan yang belum pernah berbicara sebelumnya. "Ra, lo bisa gambar gak?" Kiara langsung menggeleng. "Lo bisanya apa?" Kiara mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Gak bisa apa-apa." Kedua matanya mulai ia edarkan mencari sesuatu di kantin yang sepi siang ini. Raut wajahnya berubah jadi sinis dicampur dengan kesal, ketika matanya menatap pada kehadiran Gilang dan Araya yang sedang jalan bergandengan menuju kantin. Menjijikan! "Mesra banget ya." Suara temannya yang terdengar seperti mengagumi itu malah lagi-lagi membuat Kiara semakin tambah jijik. "Kiara!" Kiara melotot. Belum ada salah apa-apa, kenapa namanya sudah dipanggil lantang oleh nenek sihir itu. Kiara menatap malas pada Araya yang baru saja menyerukan namanya. Padahal yang ia pikir, Araya tidak akan mengganggunya kalau dirinya belum mengganggu cewek itu. Terrnyata salah. "Sini dong!" Araya kembali berseru dengan nadanya yang kesal. Tetapi bukan Kiara namanya kalau mengabuli permintaan Araya dengan mudahnya. Bukannya mengikuti yang diminta Araya, Kiara malah melengos tidak peduli dengan kata-kata Araya. "Ra, itu dipanggil." Lagi, cewek yang berada di sampingnya kembali berujar, sembari mengayunkan lengan Kiara dengan sengaja. Kiara hanya mengangguk, tetapi tidak peduli dengan ucapan temannya itu. "Mana yang mau dikerjain?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Gia, cewek yang berada di sampingnya itu kembali berdecak. "Jangan macem-maceh deh, Ra. Itu dipanggil!" peringatnya dengan tatapan gemasnya. "Biarin aja," balas Kiara santai. "HEH!" Kiara, Gia, dan kedua temannya yang lain itu bersamaan menoleh ke sumber suara. Menatap pada Araya yang sedang melemparkan tatapan tajamnya pada Kiara. "Samperin aja, Ra." Arya, lelaki berkacamata itu berseru tenang. Kiara mendengus. Dibanding ia kembali didorong oleh teman-temannya, lebih baik mengikuti kemauan Araya saja. Ia bangkit dari duduknya, dan berjalan dengan gaya angkuhnya menuju Araya. "Kenapa?" tanyanya tenang. "Lo pacaran sama Daffa?" Kiara mendengus. Sepertinya Angkasa gempar sekali dengan beritanya yang berpacaran dengan Daffa. "Iya." Kiara membalas. "Berani banget lo deket-deket sama dia!" Araya berseru galak. "Emang kenapa harus takut?" "Putusin dia!" Kiara tertawa kecil. Seketika ia mengingat bagaimana Daffa mengatakan, Araya pernah membohongi Daffa dengan mengatakan memang banyak lelaki yang mengaku-ngaku sebagai pacarnya. Sebenarnya, apa mau Araya? "Kenapa? Daffa gak pernah chat lo lagi semenjak pacaran sama gue?" Kiaa bertanya dengan senyum sinisnya. Araya melotot. "Ngomong apa lo!?" Dari gerakannya saja, Kiara dapat melihat jelas kegelisahan Araya karena adanya Gilang di sebelah gadis itu. Kiara hanya menggeleng, dengan senyumannya. "Putusin, Ra!" Kiara beralih menatap pada Gilang yang kemvali bersuara dan menyerukan namanya. "Jangan ngatur!" Kiara membalas tenang, tetapi tegas. Kiara berdecak, ketika lagi-lagi ia mendapati Aldo sedang berjalan ke arahnya. Apa tidak bisa, sekali saja Aldo tidak usah berada di dekat Gilang? "Kenapa?" Aldo bertanya dengan nadanya yang menurut Kiara sangat menyebalkan itu. "Nih, junior bengal! Gak mau dibilangin!" Araya mengadu dengan tatapan tajamnya. Mendengarnya Aldo tersenyum sinis. "Seharusnya lo bersyukur, senior lo masih pada peduli sama lo!" Peduli? Kiara membatin. Bagian mana yang menunjukkan kepedulian para seniornya itu? Apa dengan cara menginjak-injak junior adalah tanda kepedulian senior? "Dari awal ngeliat lo, gue udah sadar, lo cuma bakal jadi masalah doang buat Angkasa!" tegas Aldo dengan tatapannya yang menusuk Kiara. Untung saja Kiara mempunyai hati yang tebal. Karena kalau tidak, dijamin Aldo sudah tidak bisa berdiri saat ini. "Gue gak butuh peduli kalian." Kiara menyahut tenang. "Kalau cuma mau ngomongin ini, ngabisin waktu tau gak?" Dengan tidak sabaran, Kiara berbalik badan, meninggalkan Araya yang kesal karena sifatnya. ... "KIARA! LO NGAPAIN MOBIL GUE!?" Teriakan menggelegar yang mengejutkan gendang telinga Kiara membuat cewek itu melonjak terkejut. Kenapa tiba-tiba ia diteriaki? "Berisik!" Kiara melotot menatap pada cewek yang baru saja meneriaki namanya. Bahkan Kiara yakin, cewek itu tidak menyadari banyak orang yang menatap padanya hanya karena teriakannya itu. "BANNYA KEMPES! NGAKU GAK LO!" Kiara lagi-lagi melotot. Ada apa dengan cewek aneh itu sih? Kenapa suka sekali berteriak? "Apa sih!?" Lagi, Kiara bersuara tidak terima. Araya, cewek yang masih menatap tajam kepadanya itu melangkah cepat menghampirinya. Siapa yang tidak marah, kalau mobilnya berubah dalam sekejap? Araya yakin, tadi pagi semua ban mobilnya dalam keadaan baik-baik saja. Lalu mengapa siang ini, semua bannya kempes. Bahkan Araya yakin, mobilnya tidak bisa berjalan seimbang nantinya. "LO APAIN MOBIL GUE!?" Kiara mengerjapkan matanya beberapa kali, ketika Araya kembali berteriak tepat di hadapannya. Sepertinya Kiara sedang s**l hari ini. Bahkan tahu mobil Araya yang mana saja Kiara tidak tahu. Tetapi kenapa ia yang disalahkan? "Gak jelas!" Kiara berseru tanpa memandang pada Araya, seolah ia tidak peduli dengan apa yang terjadi. Tetapi memang Kiara tidak peduli sih. "Lo berdiri di samping mobil gue! Siapa lagi kalau bukan lo!" Ya ampun, rasanya ingin sekali Kiara memenuhi mulut Araya dengan cabai rawit, supaya cewek itu diam sebentar saja. Kiara itu paling malas jadi pusat perhatian. Tetapi, sepertinya Araya sebaliknya. Karena Araya benar- benar tidak malu saat berteriak di ruang terbuka seperti ini. Mungkin apabila Kiara berada di posisi Araya, ia juga akan melakukan hal yang sama. Tetapi maaf, Kiara kan tidak berada dalam posisi itu. "Tanggung jawab!" seru Araya dengan menunjuk pada mobil berwarna merah muda miliknya. Sebentar. Tadi Gia menyuruh Kiara untuk menunggunya di parkiran. Katanya juga, tunggu saja di samping mobil yang berwarna merah muda, hanya satu di Angkasa. Tetapi ternyata, mobil merah muda itu milik Araya, Kiara salah kira. "Jih, kok gue!?" Kiara tidak terima. Ia memilih untuk melangkahkan kakinya, berusaha untuk keluar dari keramaian yang dibuat oleh Araya. "Jangan kabur!" desis Araya yang menarik rambut panjang Kiara. "Ih!" Kiara berteriak gemas, ketika badannya terhuyung ke belakang karena tarikan tiba-tiba dari Araya. Sepertinya Kiara harus bertekad untuk memotong rambutnya. Araya melepas rambut Kiara, setelah adik kelasnya itu kembali berbalik badan, menatapnya dengan tatapan kesal sekaligus tidak terimanya. Kiara berdesis. "Lo punya otak gak sih? Mana ada maling ngelakuin kejahatan terang-terangan!" Suara Kiara yang keras itu membuat sekelilingnya seketika ramai karena kalimatnya. Kalau dipikir-pikir, yang dikatakan Kiara ada benarnya, tetapi bisa juga salah. Araya tidak mau memutuskan begitu saja. Araya tersenyum meremehkan. "Ada," balasnya tenang. "Lo!" Ia menunjuk Kiara dengan gayanya yang menantang. Menurut Kiara, berdebat dengan Araya tidak akan pernah berakhir dengan mudah. Cewek itu terlalu cerewet untuk menghadapi masalah. Mengingat kebiasaan Araya, Kiara berdecak, kenapa Gilang mau dengan cewek gila seperti Araya? Kiara melipat kedua lengannya di bawah d**a, sembari memperhatikan apa yang akan kembali dilakukan Araya padanya. Sudah, Kiara tidak mau lari lagi. Kepalanya rasanya mau copot, karena kekejaman yang dilakukan Araya terhadap rambutnya. "Tanggung jawab!" tegas Araya lagi. "Lo mau gue niup ban lo satu-satu?" Araya diam. "Kalau lo cuma marah-marah gak jelas sama gue, ban lo gak bisa langsung bener lagi kan?" Kiara berdesis. "Otak dipakai!" "Berani ya lo!" Plak. Kiara melotot. Drama sekali cewek yang berada di hadapannya saat ini. Bahkan hanya karena masalah yang ia tidak tahu sama sekali, Araya berani menamparnya? Kiara rasa, selama ini Araya selalu bolos sekolah. Karena antara otak, hati, mulut dan organ lain yang berada di tubuh Araya, tidak pernah sekali pun ia menampakkan dirinya berpendidikan. Bagi Kiara, tamparan itu tidak begitu terasa. Tetapi malunya jauh lebih terasa. Harus sekali kah, Araya menamparnya dalam keadaan seperti ini? Dalam keramaian yang membuatnya langsung jadi bahan perbincangan. Tetapi tenang, prinsip Kiara selama ini masih sama. Mata ganti mata, mulut ganti mulut, maka tamparan juga akan diganti oleh dirinya. "Eits!" Gilang, cowok yang entah darimana munculnya itu langsung mengambil posisi untuk menutupi Araya dari penglihatan Kiara. "Gak ada sentuh-sentuh cewek gue," tegasnya tenang. Kiara berdesis. Apa ini yang diartikan bucin? Bahkan Gilang tidak memedulikannya! Ini yang ditampar Kiara, Gilang. Kiara. Bukan Araya! Lalu kenapa kamu melindungi cewek gila itu? Rasanya Kiara ingin menenggelamkan hidup-hidup dua orang yang berada di hadapannya. Ah, hampir Kiara lupa. Bila ada Gilang, maka sebentar lagi teman seperjuangan cowok itu akan datang juga. Muak sudah Kiara dengan Araya dan Aldo. "Minggir!" Kiara berseru tenang. Ia menatap tajam kedua mata Gilang, dan meminta secara paksa lelaki itu untuk menyingkir dari hadapannya. Mau mengalah begitu saja? Wah, itu sih bukan Kiara sekali! Masa iya sudah dipermalukan di depan umum atas sesuatu yang bukan kesalahannya, Kiara terima-terima saja. "MINGGIR!" tajamnya sekali lagi. Bahkan Kiara yakin ia sudah mengeraskan suaranya, supaya Gilang mengalah padanya sekali saja. "Gak! Lo kalau mau macem-macem sama cewek gue, lawannya sama gue!" Ya Tuhan, pemandangan macam apa ini? Kiara membatin. Tetapi belum sempat menjawab, tubuh jangkung Aldo sudah kembali muncul di samping Gilang. Sesuai tebakannya. Awalnya Kiara berpikir, Aldo akan memiliki rasa ingin tahu seperti sebelum-sebelumnya. Tetapi entah kenapa, lelaki itu memilih untuk diam, dan malah bersender pada mobil Araya. Kiara mendesah kasar, sebelum akhirnya ia kembali membalikkan badannya. Sudahlah, lebih baik ia malu, dibanding berhadapan dengan Aldo. Bahkan di saat Aldo belum bersuara saja, Kiara sudah mual rasanya. "HEH!" Araya kembali menarik tangan Kiara. Jadi kalau seperti ini, siapa yang menyebalkan? Kiara yakin ia tidak membuat kesalahan, lalu kenapa ia harus terima diperlakukan seperti ini? Kiara tidak berbuat kejahatan, lalu kenapa ia selalu ditahan? "Tanggung jawab!" Araya kembali bersuara dengan nadanya yang setengah berteriak. Kiara tersenyum sinis. Haruskan hari ini ia bolak-balik, hanya karena Araya yang terlalu takut ia akan pergi? Baiklah, Kiara tidak masalah untuk bolak-balik hari ini. Ia menghentakkan cekalan tangan Araya pada tangannya, dan membalikkan badannya dengan cepat. Kedua matanya menatap tajam Araya yang sudah berdiri di samping Gilang dengan gaya angkuhnya. Kiara tersenyum. "Sorry, sis. Gue mainnya one on one." Ia menggantung ucapnnya, kemudian melirik sekilas pada Gilang sebelum kembali menghujam Araya dengan tatapan tajamnya.  "Bukan kayak lo yang cupu, bawa pasukan!" Kiara yakin, pasti Araya tidak akan terima dengan kata-katanya. Tetapi setidaknya, kalimat itu bisa mewakili juga rasa kesalnya terhadap kehadiran Gilang dan Aldo saat ini. Masa iya Kiara harus terus menerima Araya yang selalu membawa Gilang dan Aldo di belakangnya. Sedangkan, ia bersaing seorang diri. Sangat tidak adil. "Bener-bener ya l—" "Araya!" Keempat orang yang berada di dalam kerumunan orang itu bersamaan menoleh pada sumber suara yang baru saja menyerukan nama dari salah satu mereka. Sami, lelaki itu baru saja meneriaki nama Araya dengan keras. Ia berjalan mendekat dengan langkah besarnya, dan berhenti tepat di depan Kiara, menghalangi Kiara untuk berhadapan langsung dengan para Senior di hadapannya itu. "Gue udah sabar ngeliatin kelakuan lo yang semakin seenaknya sama angkatan gue. Tapi, kayaknya lo gak ada habisnya ya?" Sami bersuara tenang, tetapi kata-katanya cukup membuat Araya terkejut. "Sam?" Gilang bersuara sebagai tanda ia bertanya-tanya, kenapa lelaki itu jadi ikutan dalam masalah ini. Sami beralih menatap pada Gilang. "Dari awal gue emang gak niat maju. Cuma karena lo dan Aldo maju, gue juga maju." Kemudian Sami kembali menatap pada Araya. Tatapan dingin yang paling dibenci satu Angkasa. Bila Sami sudah mengeluarkan tatapan itu, se-Angkasa juga tahu, bahwa Sami sudah kelewat sabar atau sedang marah besar. Kiara juga tahu itu. Asya pernah memberi tahunya. "Jangan natap cewek gue kayak gitu!" Gilang memperingati. Tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibir Sami. Bahkan, tatapan tajamnya yang dingin itu masih menetap pada kedua mata Araya. "Seberani apapun lo. Gue yakin, Ray, lo gak bisa ngelawan Kiara. Dia gak sebanding sama lo!" Aldo bangkit. Ia berdiri tegak dengan kedua tangannya yang bersedekap d**a. "Sa—" "Gue cabut." Dan yang terjadi selanjutnya adalah Sami menarik Kiara dari kerumunan orang itu. Untuk kedua kalinya, Sami membantu Kiara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN