TENTANG RASA

1982 Kata
Sedikit-sedikit, lama-lama jadi bukit. Sama kayak rasa aku ke kamu. "Makasih Sam." Kiara berujar dengan senyumannya. Entah mukjizat apa yang terjadi pada Kiara. Tetapi ia percaya, saat ini dewi keberuntungan sedang memihaknya. Bahkan rasanya, Kiara tidak masalah dengan Araya yang marah-marah tidak jelas padanya di sekolah tadi. Malah kalau hatinya tidak keberatan, Kiara ingin sekali mengucapkan banyak terima kasih pada cewek gila itu. Karena perlakuannya tadi, Sami jadi baik sekali padanya. Bahkan, cowok itu mengantarnya sampai ia berdiri dengan selamat di gerbang rumahnya. Kiara tidak ambil pusing, bila Sami ternyata mengetahui rumah ini adalah rumah Gilang juga. Yang penting kebutuhan hatinya terpenuhi dengan sangat cukup. Maaf Gilang, Kiara memang egois. Sami mengangguk dan tersenyum. "Gue balik langsung ya," pamitnya. "Eh? Gak mau masuk dulu?" Kiara bukan basa-basi. Tetapi Kiara memang niat mengucapkannya. Kali saja, Sami tidak menolak, Kiara jadi lebih bahagia kan. "Enggak ah, takut dikira lo bawa pacar lagi," balasnya diselingi tawa. Ya ampun, manis banget. Kiara membatin kagum ketika kedua matanya menatap wajah Sami yang dihiasi tawanya itu. Kiara ikutan tertawa. "Ya udah. Makasih banyak ya," ujarnya lagi. "Besok-besok kalau mau jemput, tinggal chat aja ya." Kiara melanjuti dengan senyuman lebarnya. Lagi, Sami tertawa. Melihatnya, rasanya jantung Kiara sudah ingin jatuh ke perut. Tidak kuat lagi dengan detak jantungnya. "Jangan ah, entar diomelin Daffa." Sami menggodanya. "Ah, selow! Tinggal atur jadwal aja siapa yang mau nganter gue." Sami mengangguk kemudian lagi-lagi ia tertawa kecil. Sumpah. Kiara ingin mati rasanya karena melihat senyuman dan tawanya Sami. Semanis dan selucu itu. "Ya udah, gue beneran mau cabut nih," pamit Sami sekali lagi. Kiara mengangguk. "Hati-hati." Sami memakai kembali helmnya, kemudian tersenyum singkat, sebelum kembali menarik gas motornya itu. Kalau melihat Sami yang seperti tadi, Kiara jadi bertanya-tanya, kemana Sami yang galak dulu padanya? Kemana Sami yang dingin? Kemana Sami yang.... ah entahlah. Pada intinya, kemana Sami membawa hatinya pergi? "Eh?" Kiara mengerjapkan matanya berkali-kali. "Astaga Rara! Gak boleh suka Sami!" ucapnya memperingati dirinya sendiri. Ia menepuk-nepuk kepalanya yang tidak bersalah itu. Kiara rasa, otaknya baru saja lupa cara untuk bekerja. Ah, tapi kenapa setiap memikirkan kejadian-kejadiannya dengan Sami, kedua pipinya memerah? Ya Tuhan! Tetapi pikirannya itu tidak berlangsung lama. Ponselnya yang bergetar membuatnya kembali sadar akan kenyataan. Ah, kenapa ponselnya itu tidak bisa bekerja sama dengan otaknya? Daffa : Dimana? Kiara melotot. Bagus, ia melupakan Daffa hanya karena Sami. Di rumah. Daffa : Baru pulang? Aneh, itulah yang Kiara rasakan. Ia sedang bertukar pesan dengan Daffa. Tetapi, mengapa otaknya malah kembali berpikir tentang Sami? Iya... Daffa : Oke deh. Kiara kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah membaca pesan terakhir Daffa. Sepertinya otaknya benar-benar rusak hari ini. Tetapi kalau pun tidak.... Apa Kiara benar jatuh cinta pada Sami? "Ya Tuhan! Rara sadar!" Kiara kembali berseru heboh. Otaknya benar rusak sepertinya. ... Kedua tangan Daffa kembali menaruh ponselnya di meja yang berada di hadapannya. Menanyai Kiara dimana setelah pulang sekolah sudah lebih dari cukup baginya. Ia juga sadar, Kiara tidak suka dikirimi pesan yang berlebih. Tubuhnya memang berada di tempat yang sangat tidak nyaman baginya kali ini. Tetapi entahlah, pikirannya sedang hilang kemana. Biasanya, ia menyukai kafe. Tetapi entah kenapa juga, saat ini Daffa tidak suka dirinya berada di kafe. "Daf?" Mendengar namanya dipanggil, mau tidak mau Daffa mendongakkan kepalanya. Cewek berseragam lengkap dengan balutan jaket yang menutupi kemejanya itu menatapnya heran. "Ngomong dong!" Daffa mendesah. "Yang ngajak ketemuan siapa?" "Gue..." "Ya tanggung jawab lah!" Cewek itu mencebik kesal. "Kok lo jadi galak sama gue?" tanyanya heran. "Gue buat salah?" Dengan polosnya, Daffa mengangguk. "Apa?" tanyanya dengan kedua matanya yang tidak terlepas dari Daffa. Daffa menatap malas pada kedua mata cewek itu. "Araya. Udah cukup!" Iya, Araya. Cewek yang berada di hadapannya itu Araya. Entah ada angin apa yang membawa Araya meminta untuk bertemu dengannya. "Kenapa lo jadi jauh, Daf?" Araya bertanya dengan tatapan sendunya. Kalau boleh jujur, Daffa benci sekali dengn tatapan ini. Tidak pada semua orang, hanya pada Araya saja. Seolah-olah, rasa marahnya itu ingin kembali meluap karena tatapan menyebalkan yang diberikan Araya itu. "Lo gak pernah telfo—" "Lo mainin gue, Ray!" Daffa lebih dulu memotong ucapan Araya. Suaranya yang tegas dan penuh kekesalan itu mampu membuat Araya terdiam. Kedua mata Daffa menatap Araya dengan penuh penyesalan. Iya, Daffa menyesal mengenal Araya. Ia juga menyesal, karena pernah memantapkan hati untuk mendekati Araya. Bahkan untuk mendapati Araya saja, Daffa yakin ia tidak akan bisa. Tetapi entah idenya dari mana, Daffa masih sempat ingin berusaha, dan sekarang ia menyesal, kenapa ide gilanya itu pernah muncul di otaknya? Di detik kemudian, Araya tertawa sinis. "Lo juga mainin gue! Lo pikir gue gak sadar!?" "Mak—" "Lo pikir gue gak tau, lo pacaran sama Kiara!?" Araya menatap Daffa dengan tatapannya yang berubah tajam. "Lo mikir Daf! Selama ini berita tentang lo selalu kesebar luas di Angkasa!" Daffa diam. Ia sedang tidak mau berdebat. Tetapi bila di akhir memang diharuskan, maka barulah Daffa akan bersuara. "Kenapa hati lo berubah secepat itu?" Daffa tertawa sinis. Permainan apa lagi yang sedang dilakukan Araya? Kenapa sekarang malah terlihat ia yang jahat disini? "Gue sayang sama lo, Da—" "Gue enggak." Mendengar dua kata itu, Araya kembali terdiam. Kedua matanya menatap tidak percaya pada Daffa yang malah membalas tatapannya dengan polos. Tatapan yang bisa Araya simpulkan, sebagai tatapan orang yang tidak merasa bersalah. "Gue salah milih lo," ucap Araya dengan tawanya yang lagi-lagi terdengar sinis bagi Daffa. "Dan lo pikir, gue gak tau, Ray..." Daffa menggantung ucapannya. "Lo masih pacaran 'kan sama Gilang!?" Araya terkejut. Itulah yang Daffa dapat dari tatapan Araya. "Kita emang sama-sama mainin," lanjut Daffa dengan tenang. "Tetapi gue gak akan mulai, kalau lo gak mulai duluan!" "Jauhin Kiara, Daf!" Daffa menggeleng. "Jangan mengatur gue, kalau lo pun gak mau diatur." "Gue gak suka sama dia!" "Gue juga gak suka sama Gilang!" desis Daffa. "Bahkan gue bertanya-tanya, Ray. Kenapa Gilang?" "Daf. Angkasa gak pernah ngeliat lo baik." Araya bersuara dengan nada paraunya. "Gu—gue takut, gue bakal dimusuhin satu sekolah karena berhubungan dengan lo. Makanya gue pakai Gilang sebagai tameng." Daffa tertawa hambar. "Itu yang membuat gue lebih memilih Kiara dibanding lo, Ray," sahut Daffa dengan senyum sinisnya. "Dia gak peduli dengan reputasinya. Dia baik apa adanya. Dan terakhir, dia gak pernah bohongin gue!" "Daf... gue gak mau kita putus." Lagi, Daffa harus tertawa. "Putus?" tanyanya memastikan. "Kita gak pernah menjalin hubungan spesial, Ray." "Setidaknya, beri gue waktu. Jangan berhenti mencintai gu—" "Gue berhenti untuk itu." ... Hari Minggu, hari dimana seharusnya para murid menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga mereka masing-masing. Tetapi, untuk hari Minggu kali ini, maaf orang tua, untuk sementara kalian ditinggalkan. Di setiap masalah, jelas dibutuhkan solusi. Bila satu pun solusi tidak ditemukan, maka hanya tersisa satu solusi, yaitu menyerah. Tetapi Gilang belum ingin menyerah. Maka hari ini, Gilang mengumpulkan teman-temannya untuk membantunya mencari solusi dari masalah yang dihadapi Kiara dengan alasan Araya lah yang terancam. Markas yang kembali ramai dengan suara tawa serta canda membuat Gilang tersenyum tipis. Ia yakin, seberat apapun masalahnya, teman-temannya akan lebih kuat untuk mengangkatnya bangkit. Karena itulah fungsi dari sebuah pertemanan. Gilang menatap pada cowok dengan balutan jaket hitam yang baru saja menunjukkan dirinya. Akhirnya, yang ditunggu datang juga. "Sorry, telat." Sami, cowok yang baru saja datang itu berucap. Ia mendudukkan tubuhnya pada kursi yang tersisa di sana, dan melepaskan jaket hitamnya, menyisakan kaos oblong berwarna hitam yang membalut tubuhnya itu. "Sam." Gilang memanggil. Sami menoleh, menatap pada Gilang yang memberikan tatapannya ragu. Baru datang, kenapa Sami sudah ditatap seperti itu? Ia jadi bingung. "Masalah Aray—" "Gue yang tanggung jawab atas masalah Rara." Suara dingin namun tenang milik Sami itu membuat Gilang mendesah. Seharusnya Gilang tenang. Cowok bernama Sami itu pasti akan benar-benar melakukan tugasnya, bila ia sudah mengatakannya. Tetapi entah kenapa, rasanya masih berat juga untuk melepas Kiara begitu saja. Tidak, Gilang tidak bermaksud untuk membela Araya secara penuh. Tetapi, ia hanya bingung tentang apa yang harus dilakukannya. "Gue juga denger, Araya maksa Kiara putus." Sami kembali bersuara. Mendengar suara Sami yang mulai mendominasi, perhatian mereka mulai teralih pada lelaki itu. "Gue tahu, Angkasa dan Panca gak boleh terlibat hubungan. Cuma maksud gue, di masalah ini, hanya kita yang tahu apa yang terjadi. Seharusnya lo, Lang, lebih ngebatasin pacar lo untuk bertindak. Dia gak bisa seenaknya maksa Kiara putus dengan Daffa, tanpa tahu permasalahannya." Sami melanjutkan. "Iya sorry, gue salah di bagian itu." Gilang menjawab tenang. "Lo belum ngasih tau masalah kita juga 'kan, Lang?" Sami menatap pada Gilang curiga. Gilang menggeleng. "Gue masih tahu aturan." Sami mengangguk. "Rara angkatan gue, dia tanggung jawab gue. Biar nanti gue yang coba ngomong sama dia untuk menyudahi hubungannya. Tetapi gue mohon dengan sangat, Araya jangan lagi ikut campur dengan masalah ini. Dia gak ada sangkut pautnya." Aldo berdeham, membuat mereka yang di sana menatap pada laki-laki bertubuh jangkung itu. "Tapi Gilang bilang, Araya juga dideketin sama Daffa." "Berarti itu tanggung jawab Gilang untuk melindungi angkatannya. Tapi tetep aja, bukan berarti karena Araya dideketin Daffa, dia boleh ikut campur masalah Rara dan Daffa." Gilang mengangguk. Ia paham sekali dengan maksud Sami. Bagi mereka, memilih Sami menjadi ketua angkatan adalah pilihan yang tepat. Lelaki yang dingin itu jauh lebih bisa berpikir luas dibanding orang lain. Sami yang tidak pernah egois, Sami yang selalu memperhatikan sikap seseorang dalam diamnya, dan Sami yang selalu menomor satukan teman dibanding hal lain. "Masalah mobil kemarin, gue juga gak suka, Lang. Sorry banget." Sami kembali bersuara. Gilang mengangguk. "Gak apa, lanjutin aja, Sam. Gue jadi merasa bersalah kalau lo takut-takut ceritanya." Sami tertawa kecil. Siapa yang takut bercerita pada Gilang? Seniornya itu melebih-lebihkan cerita saja. "Gue kebetulan lagi di parkiran saat kejadian. Rara bukan pelakunya. Itu anak kelas sepuluh. Dan gue rasa lo juga telat datang. Lo ngelewatin dimana Araya nampar Rara." Sami menjelaskan dengan nada tenangnya. "Kembali lagi, Lang. Gue ketua angkatan, bukan sombong," ujarnya sembari tersenyum membanggakan dirinya. "Najis lo!" "Jelek!" "Belagu lo, bambang!" Suara-suara yang tidak terima dengan ucapan Sami merutuki lelaki itu yang kemudian dibalas tawaan satu sama lain. "Lanjut dulu, boy," ucap Sami kembali. "Sebagai ketua angkatan, gue akan ngelindungin angkatan gue. Gue akan ngelindungin Rara, karena gue tau dia gak salah, dan gak ada satu pun hal yang membuat dia harus bertanggung jawab." Gilang diam. Mendengar penjelasan Sami malah membuatnya jadi merasa bersalah sekali pada Kiara. Karena tindakan gegabahnya, Kiara tidak bisa meluapkan emosinya. Ah, pasti kemarin adiknya itu kesal sekali padanya! "Siapa anak kelas sepuluhnya?" Aldo bertanya penasaran. Sami menoleh pada Aldo yang sudah menatapnya menunggu jawaban. Tetapi Sami malah tersenyum. "Rara udah minta ke gue untuk gak usah sebut nama. Katanya dia bukan mau jadi pahlawan. Tetapi kalau adik kelasnya itu ketahuan, apa dia bisa melawan Araya seperti Rara melawan Araya? Itu yang dipikirin Rara. Walaupun gue agak gak setuju juga sih." "Sebenarnya, kalau ngeliat Araya, gue juga merasa dia udah mulai seenaknya." Aldy, lelaki berkacamata dengan rambutnya yang tertata rapi itu ikut bersuara. "Maaf, Lang. Tetapi gue ngeliat, Araya selalu lo bela, jadi dia merasa bebas untuk melakukan segalanya." Gilang tersenyum. Ini kenapa jadi pada tidak enak pada dirinya? Kenapa sedari tadi banyak yang meminta maaf padanya? "Jadi intinya?" Aldo bertanya dengan badannya yang ia tegakkan. Sami tersenyum. "Menurut gue, biarin gue ngejaga Rara untuk beberapa waktu ke depan. Dan kalian gak usah khawatir untuk itu." "Gila! Jatuh cinta bukan lo?" "Tau! Biasanya lo gak peduli sama yang kayak begini!" "Kagak!" Sami menolak argumen teman-temannya itu. "Gue 'kan ketua angkatan, boy!" ucapnya yang kembali membanggakan dirinya dengan nada menyebalkannya. "Yeu, sa ae lo ujang!" Sami tertawa, tadi Bambang, sekarang Ujang, tiap menit Sami ganti nama. Ia menoleh menatap pada Gilang yang masih diam, bahkan di saat orang lain tertawa. "Lo gak mau ngomong, Lang?" Gilang mendongak, menatap pada Sami yang juga sedang menatao padanya. "Gue percaya lo bisa jaga angkatan lo." Gilang berujar. Gue percaya lo bisa jaga adik gue, batinnya melanjuti. "Liat aja ya Sami, berani lo suka sama Kiara, gue potong itu lo!" Sami melotot. Apa salahnya? "Si Sami kalau cinlok, motornya gue gulingin ke jurang!" "Ah, gak mungkin juga sih!" Aldy lebih dulu menyudahi ucapan-ucapan temannya. "Orang dingin kayak begini, hatinya udah ketutup rapat sama es batu!" seru Aldy kemudian. Aldy melempar kacang sukro yang sedang berada di tangannya pada Sami. "Awas aja lo suka sama Rara!" Sami tersenyum. Tidak, sampai saat ini tidak ada perasaan dari hatinya yang perlu diragukan. Sami jelas tahu bagaimana perasaannya. "Awalnya aja nyebelin! Buang-buang isi tas anak orang lagi!" Ben yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. Kalimat yang membuat Sami mendesah, tetapi orang lain tertawa. "Udah lah, masa lalu!" Sami membela diri. "Untung Kiara hatinya besi. Kalau enggak, bisa nangis bawa emaknya ke sekolah gara-gara kelakuan lo, Sam!" Ben kembali menambahi. "Wu!" Aldy menyoraki dan kembali melempar kacang miliknya pada Sami. Sami tahu, itu adalah kesalahan terbesarnya pada Kiara. Untung saja cewek itu tetap mau membuka hatinya untuk menerima Sami menjadi temannya. Kalau tidak, mungkin Sami sudah perang dingin dengan Kiara. Mungkin juga, Sami tidak akan bersedia menjadi penanggung jawab Kiara dalam masalah ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN