Lihat ke atas—ke langit di atas sana—ada banyak kata yang harus kamu ucapkan untuk-Nya.
Pagi hari yang cerah cukup untuk menjadi alasan Sami semangat berangkat pagi ini. Sebenarnya, ia malu juga sih. Setelah kesalahpahaman yang terjadi kemarin, dan sifat gegabahnya kemarin, Sami rasa ia tidak ingin ke sekolah. Karena saat ini, ia merasa malu untuk menatap Kiara.
Bahkan dari kemarin malam, setelah Sami mengetahui Gilang lah yang mematahkan jamnya, ia tidak berhenti berdoa supaya Kiara lupa ingatan akan kejadian kemarin. Permintaan tidak masuk akal, tetapi selalu diharapkan Sami untuk terjadi.
Seharusnya Sami tidak peduli, seperti biasanya. Seharusnya Sami tidak perlu repot-repot meminta pada Tuhan. Hanya saja, karena melihat bagaimana Ben menahannya kemarin, dan melihat Gilang menjelaskan kejadian jamnya yang patah kemarin, sepertinya Sami akan mempunyai masalah dengan kedua kakak kelas itu. Karena, sejak kapan dua kakak kelasnya itu peduli dengan apa yang ia lakukan pada anak angkatannya. Jadi pada intinya, Sami bukan takut Kiara, tetapi takut dengan Ben dan Gilang.
Sebenarnya aneh juga sih. Kenapa kedua kakak kelasnya itu harus peduli pada Kiara? Setahunya, nama Anandita pada nama Kiara tidak ada hubungannya dengan nama Anandita pada nama Gilang atau juga Ben. Lalu kenapa Gilang dan Ben harus bersikap seperti kemarin? Apa karena Kiara adalah perempuan? Ah, tapi biasanya ia melawan perempuan pun tidak ada masalah. Lagipula, tidak ada kontak fisik yang harus membuat Kiara dikhwatirkan. Malah seharusnya Sami yang dikhawatirkan, karena mendapat tinjuan keras yang mendarat mulus di pipinya kemarin. Untung saja Sami kebal, jadi tidak begitu sakit rasanya.
Pemandangan yang pertama ia dapat ketika memasuki kelas adalah Kiara yang sedang sibuk bermain ponselnya dan duduk dengan tenangnya di posisi yang sama seperti hari kemarin.
Oke, Sami merasa bersalah, jadi lebih bagus bila ia memulai awalan yang baik.
Dengan langkahnya yang lancar, ia membawa dirinya untuk menuju tempat dimana Kiara berada. Tetapi sepertinya, Kiara tidak peduli dengan kehadirannya.
"Ki?" Panggilnya.
Tidak ada jawaban. Kiara tetap fokus pada ponselnya.
Mampus, dikacangin gue, batin Sami berseru.
"Cuy!"
Kiara nengok.
Harus dipanggil Cuy dulu berarti. Sami menyimpulkan.
"Lo manggil gue?" Kiara bertanya dengan polosnya. Seolah-olah kejadian kemarin tidak pernah terjadi.
"Iya," balas Sami singkat. "Gue boleh duduk sini?"
Rasanya Sami ingin merutuki dirinya saat ini. Astaga, sejak kapan ia bertanya untuk persetujuan? Biasanya, ia tidak peduli dengan apa yang akan dikatakan orang. Lalu mengapa ia bertanya sekarang?
Kiara menautkan alisnya bingung. "Duduk aja. Gak ada yang ngelarang."
Baiklah. Setidaknya awalan bagus sudah berjalan dengan lancar. Sisanya? Biarkan mengalir sesuai arus yang membawa.
Di saat Sami berpikir Kiara akan kembali memainkan ponselnya, cewek itu malah mengubah posisi untuk tiduran di atas meja. Biasanya di Angkasa, cewek-cewek itu berisik, petakilan, yang pasti gak bisa diam. Lalu kenapa Kiara malah diam banget? Apa sifat cewek itu begitu? Atau Kiara hanya malas berbicara dengannya?
Belum sampai semenit Kiara tiduran, ia kembali mendudukkan tubuhnya dan menatap pada Sami yang masih memperhatikannya juga. Anjir, ini gue mau diomelin ya? Batin Sami lebih dulu menebak, karena melihat tatapan tidak bersahabat yang diberikan Kiara.
"Panggil gue Rara! Gue jarang nengok kalau dipanggil 'ki'."
Ragu, Sami mengangguk.
Aman. Sami pikir, ia harus mendapat cercaan serta omelan dari Kiara. Tetapi sebentar? Kalau tidak mendapat omelan atau apapun itu, apa Kiara lupa dengan kejadian kemarin? Kenapa cewek itu bersikap biasa saja padanya? Entahlah, Sami tidak mau memkirkan itu.
Tepat pukul tujuh lewat lima belas menit, pelajaran Matematika yang dibawa Bu Ajeng dimulai.
Mungkin yang lain mulai mengeluarkan bukunya masing-masing, seperti yang Sami lakukan juga. Berbeda dengan Kiara yang malah mengetuk-ngetukkan pulpennya pada mejanya yang kosong. Bahkan Sami yakin, cewek itu tidak berniat mengambil buku.
"Lo gak bawa buku?"
Akhirnya Sami bertanya, sekalian melepas ketakutannya kalau-kalau Kiara masih dendam padanya.
Mendengarnya, Kiara menengok pada Sami dan tersenyum simpul. "Lo lupa? Kemarin kan lo yang buang buku gue ke got!"
Tidak ada penekanan. Hanya saja sebuah sindirian keras yang tersirat mampu membuat Sami terdiam. Ternyata Kiara dendam padanya.
"Kiara bukunya mana?" Bu Ajeng bersuara dari depan kelas.
"Ga—"
"Saya gak bawa buku, Bu. Ini saya pinjam punya Kiara."
Setidaknya, hal itu mampu membuat seorang Sami tidak merasa begitu bersalah. Biarlah ia yang mendapat hukuman atas kesalahannya kemarin. Jangan sampai Kiara lagi yang menjadi sasaran kesalahpahaman orang. Biarlah kejadian kemarin berakhir di sini, jangan Kiara yang dihukum, hanya karena kesalahannya lagi.
"Keluar Sami!"
Dan Sami berharap, Kiara memaafkannya secara tidak langsung.
...
Lagi-lagi para murid harus dibuat kesenangan oleh guru-guru yang baik hati. Tepat pada pelajaran ke enam, kegiatan belajar mengajar selesai. Katanya para guru mengadakan rapat kembali dan berakibat pasa terjadinya jam pelajaran kosong dan kantin yang ramai diserbu para murid. Meski kegiatan belajar mengajar selesai, murid-murid belum diperkenankan untuk keluar sekolah sebelum jam 2. Masih sekitar 3 jam lagi dari sekarang.
Jajanan di kantin tidak ada yang sepi pengunjungnya. Sepertinya semua siswa kelaparan, dan ingin membeli segala sesuatu yang berada disana.
Begitu pula dengan Kiara. Ia sudah memakan lebih dari lima batang beng-beng yang dibelinya dan belum merasa kenyang juga. Aneh, sepertinya hari ini Kiara lupa bagaimana rasa kenyang.
Di sampingnya, Asya juga sudah memakan tiga bungkus biskuit berwarna cokelat dan masih ada tiga lagi menunggu untuk dimakan.
Sedangkan Madeline, cewek blasteran itu memilih untuk diam di kelas, mengerjakan tugasnya sebagai sekretaris OSIS. Katanya, ada suatu acara tahunan yang harus diurus. Tetepai entahlah, Kiara tidak mengerti apa acara tahunan yang dimaksudkan olehnya.
Sembari memakan beng-bengnya, Kiara mengedarkan kedua matanya. Banyaknya murid Angkasa membuatnya harus pelan-pelan menghafal. Karena Kiara yakin, sudah banyak yang mengenalnya, tetapi tidak dengannya.
Kedua mata Kiara berhenti pada satu titik. Sami. Oke, kenapa Kiara aneh hari ini? Ia sadar, yang dilakukan Sami tadi hanyalah sebagai permintaan maaf sementara. Tetapi apa Sami sadar? Ia membuat Kiara sempat terkejut atas perlakuannya.
Sebanyak apapun orang yang mengatakan Kiara berbeda dari cewek biasanya. Mereka seharusnya sadar, sifat bawa perasaan Kiara masih sama dengan cewek lainnya. Jadi, anggaplah saja Kiata sedikit baper atas apa yang Sami lakukan tadi.
"Ra, Aldo merhatiin lo lagi."
Suara Asya yang terdengr begitu pelan, membuat Kiara mengalihkan tatapannya dari Sami. "Di mana?" tanya Kiara sembari memperhatikan sekitar.
Posisi duduknya yang sama dengan Asya, seharusnya lebih memudahkan ia untuk melihat dimana lelaki bernama Aldo itu. Heran, kenapa lelaki itu sering sekali memperhatikannya.
"Bagian kanan."
Kiara langsung mengikuti ucapan Asya, dan benar saja. Aldo memang sedang memperhatikannya secara terang-terangan. Bahkan lelaki itu tidak merasa terusik sedikit pun, ketika Kiara melempar tatapan sinisnya pada Aldo.
Kiara mendengus. Sepertinya Aldo memang tidak berniat untuk melihat ke arah lain selain dirinya. Lebih baik ia pindah posisi. Membelakangi Aldo, tetapi tepat di hadapan Asya. Jauh lebih baik.
"Aldo siapa di sini?" Kiara bertanya setelah ia duduk tenang di posisinya.
Kedua mata Asya masih tidak terlepas untuk menatap ke arah di mana Aldo berada. Tetapi untungnya, telinganya masih bisa mendengar ucapan Kiara.
"Temen deket Gilang. Jadi dia merasa paling berkuasa di sini, karena ketua angkatan tahun senior sahabatnya sendiri," jelas Asya yang langsung dibalas anggukan mengerti Kiara.
Sepertinya Kiara harus banyak bersyukur, karena Tuhan memberikan Asya untuk menemaninya disini. Selain tahu banyak tentang Angkasa, Asya adalah seorang pengamat yang baik. Bukan kepo, tetapi Asya jauh lebih terlihat perhatian akan sesuatu yang mengganggu dirinya maupun temannya.
"Gak usah dilihatin terus," ujar Kiara, kemudian menguyah makanannya.
Mendengar itu, Asya mengikuti ucapan Kiara. Ia memandang pada bungkus biskuit miliknya dan terdiam sebentar. "Kayaknya Aldo dendam sama lo."
"Hah? Dendam apaan!?" Kiara tidak terima.
Asya mendongakkan kepalanya, dan kembali menatap pada arah dimana Aldo berada. "Kalau dia suka sama lo, tatapannya gak akan tajam. Kalau dia gak ada masalah sama lo, dia gak akan terus natap lo. Tapi kalau dia merhatiin lo dan natap lo tajam, jawabannya satu," gantung Asya.
"Dia gak suka sama lo."