Pemandangan laut lepas membentang di hadapan gadis cantik itu. Ia seperti orang kebingungan karena mencari keberadaan Fatih yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Sudah beberapa menit berlalu, sejauh hamparan pasir di depan mata Rani, Fatih nihil tak ditemukan.
"Fatih, jangan mulai membuatku repot dan kehilangan waktuku!" gumam Rani seraya pasrah dan duduk menyandar pohon kelapa dan menatap laut biru yang menggulung ombak, menerpa karang.
Di belakang sana, tepatnya di kursi kayu dengan kaki bertopang, Fatih menyeringai puas. Satu sudut bibirnya terangkat bersorak dalam hati. Ia mulai berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, lalu mendekati gadis muda yang telah menunggunya sejak tadi.
Rani masih mencari sosok yang membuatnya bimbang, awan mulai bergumul membentuk kepalan hitam. Ia khawatir jika badai akan datang. Angin pun seakan tak mau tenang, menerbangkan jilbabnya ke sana ke mari.
"Heh!" Fatih membuat Rani terkejut. Gadis itu mengguncangkan bahu yang menjiplak kurus. Dalam hati Fatih, ia tertawa puas berhasil membuat Rani kesal.
"Ada apa, cepat bilang! Aku tidak punya banyak waktu. Jangan membuat ulah lagi, sekali ini saja." Rani kembali beralih pandang pada hamparan air yang bergelombang.
Benar saja apa yang dikhawatirkan, rintik-rintik kecil dari langit mulai turun berjatuhan tanpa jeda. Kepala gadis itu mendongak, menatap warna abu nan gelap. Di samping itu, Fatih masih terus tak menjawab atau mengatakan sesuatu.
"Fatih, aku tidak bisa terlalu lama di sini. Sepertinya sebentar lagi akan hujan." Dengan menggosok lengannya yang terasa dingin, Rani terlihat panik.
"Kau sama saja dengan Ibumu. Suka sekali menggoda lelaki kaya." Lelaki muda dengan kemeja lengan pendek khas Bali itu mengulas senyum penuh ejekan.
"Jaga ucapan kamu, Fatih! Kau hanya melihat sebagaimana kebencianmu pada keluargaku! Asal kamu tahu, aku tidak akan memaafkan ucapanmu tadi!" Sebutir demi sebutir runtuh melewati pipi semu kemerahan. Wajah yang mendadak sendu itu hengkang segera dari hadapan Fatih.
Seakan tak puas, Fatih mengejar gadis yang sebagian tubuhnya telah basah dengan rintik hujan yang semakin deras. Lelaki berambut ikal dengan cat warna coklat itu mencekal lengan Rani. Seketika tubuh ramping berbalut gamis ringan itu membentur d**a bidang Fatih.
"Lepaskan aku!" Bising yang diciptakan oleh derasnya hujan, membuat Fatih tak mau tahu segala ucapan Rani. Meskipun dengan segala daya telah dikerahkan, Rani tetap tak mampu melepas cengkeraman tangan berotot milik Fatih.
"Kau tidak akan pernah lepas dariku!" Kalimat yang lolos dari bibir Fatih berhasil membuat bungkam lawan bicaranya. Sesaat bumi seakan berhenti berputar, membuat dua raga saling menatap lekat.
"Lepaskan aku!" Setelah sadar, dengan kemarahan memuncak, Rani menghempaskan tangan Fatih yang masih menyentuh lengannya. Rani berlari menghampiri Arfan yang menatap mereka di kejauhan. Arfan tak bisa berbuat apa-apa, hanya bergelut dengan pikirannya sendiri. Apakah Fatih memiliki rasa pada Rani.
"Kamu enggak apa-apa?" Setelah sampai hingga tersisa dua jengkal saja menuju penginapan, Arfan menilik setiap inci diri Rani yang menggigil.
Rani lantas menggeleng. Sekilas menoleh pada sosok yang masih menatapnya di ujung lurus ke depan. "Kita kembali ke hotel saja." Rani mendahului Arfan melangkah.
Kini, gadis itu sudah berganti dengan pakaian kering. Jaket Hoodie milik Arfan yang dititipkan lewat Fita, melapisi kulitnya. Arfan memutuskan tidak menemui Rani malam ini. Ia hanya ingin esok melihat Rani dalam keadaan sehat tanpa beban. Memberikan waktu untuk sang gadis menenangkan diri.
Benda persegi panjang dengan layar menyala menampilkan gambar-gambar design milik Rani. Tercatat ratusan design yang telah mendapat persetujuan perusahaan. Design-design itu rencananya akan dibuat bahan meeting dan pengajuan kerja sama. Rani segera menyimpan semua file pada flashdisk yang telah disiapkan sejak dari Jakarta.
"Mbak, enggak tidur?" Fita yang sudah merebahkan diri sejak tadi, kini membuka mata lagi karena merasakan tenggorokan yang kering. Gadis itu pun segera bangkit dan berjalan sempoyongan bak orang mabuk menuju tempat air minum.
"Aku enggak bisa tidur, Fit." Masih dengan tatapan pada laptop, Rani menjawab. Tangannya masih menari di atas keyboard, lalu Fita ikut duduk di sebelahnya. Memahami setiap perkataan Rani agar ia tidak kagok besok.
*
Semburat mentari pagi membuat dua raga melangkah cepat. Mondar-mandir mencari pakaian dan menata berkas, mereka terlihat kalang kabut meski semalam sudah disiapkan, tetapi mereka tak ingin ada satu pun yang tertinggal. Mereka harus siap sebelum jam tujuh pagi, karena konon klien mereka adalah orang yang tak bisa menunggu.
Siap dengan segala penampilan dan bahan meeting, Rani dan Fita bergiliran keluar dari kamar hotel. Blazer hitam dan jilbab senada membuat Rani terlihat cantik. Ia mengetuk pintu kamar Arfan dan tak lama setelah itu pria berwajah manis dengan lesung di pipi itu keluar. Senyum menawan pun tersaji bak seorang pangeran.
Disusul di belakang mereka, Fatih dengan sorot mata tajam siap menyambar mengikuti dari belakang. Bibirnya yang semu kemerahan membuat sedikit perhatian Rani tertuju padanya. Namun, begitu Fatih menyadari bahwa gadis itu menatapnya ia semakin bangga diri.
"Tidak usah heran, aku memang terlahir tampan. Buruan jalan!" Fatih melukis seringai tipis.
Sontak ucapannya tadi membuat Rani mendengkus kesal. Sikap Fatih memang berlebihan. Tabiat yang memang melekat padanya adalah kesombongan.
Mereka memasuki ruang meeting yang disewa dalam hotel tersebut. Dipimpin oleh seorang Fatih yang terlihat gagah tetapi tak main-main jika mengambil keputusan. Fatih berencana mengeluarkan dana besar untuk kerja sama dengan klien di Bali.
Rani dan Arfan selaku penasihat belum memberikan komentar, sebab mereka paham betul jawaban apa yang akan didapat jika berhadapan dengan putra kedua dari Bramantyo Airlangga Nabhan itu.
Setelan semua tanda tangan dan keluar ruangan, Arfan dan Rani sengaja tertinggal. Mereka mendiskusikan keputusan Fatih. Haruskah menghubungi direktur utama mereka atau semua yang Fatih lakukan sudah mendapat persetujuan Bramantyo.
"Menurutmu gimana, Ran?" Arfan menatap dengan senyum mengembang.
"Enggak usah ngeliat aku dengan begitu kali, Mas. Jengah aku!" Rani tertawa, menutup wajahnya segera.
"Ngapain malu? Orang aku cuman ngeliat aja, bukan mau bikin kamu malu." Arfan ikut tertawa.
"Menurut aku, kita ikuti saja permainan Fatih. Jika perusahaan mengalami kerugian, toh, dia yang mengambil keputusan tanpa berunding sama kita." Rani menatap jauh, ia menimbang ucapannya lagi. "Tapi, kasihan juga nanti kalau ada apa-apa. Apa kita bicarakan sama dia lagi?”
"Menurutku jawaban pertama itu lebih tepat. Kalau ada apa-apa, dia sendiri yang akan menanggung. Dia itu tidak bisa dikasih tau."
Rani mengangguk.
Dari balik dinding, sebuah kepalan tangan membentur dengan keras. Namun, tak sampai terdengar oleh dua anak manusia yang tengah membicarakannya di dalam. Mereka telah menertawakannya.
Semua urusan di sana telah mendapat kata sepakat, artinya semua telah finis atau selesai.. Sore itu, Fita pulang lebih dulu karena sebuah urusan keluarga, sementara Rani tertinggal dengan dua lelaki di sana. Sebelum pulang, Arfan mengajak Rani untuk jalan-jalan menikmati alam yang membentang di hadapan mata.
Di sekitar pinggiran pantai, terdapat penjual beraneka buah tangan dan pernak-pernik. Satu sentuhan tangan Arfan memegang sebuah liontin. Pemuda itu tak bertanya harga dan ia segera meminta penjualnya menotal belanjaan.
"Untukmu," kata Arfan. Ia mengalungkan langsung pada leher gadis itu.
Tiba-tiba Fatih datang dan langsung menarik liontin tersebut hingga putus. Bibir mengatup rapat dengan tangan melempar liontin tadi ke sembarang arah. Dua lelaki itu saling beradu pandang dan siap melayangkan amarah meski mereka di depan umum.