Bab 7

1108 Kata
"Fatih!" Suara Rani memekik. "Apa-apaan kamu?" Rani yang hendak mencari kembali liontin yang telah lenyap entah ke mana langsung dicegah oleh Fatih. "Dasar wanita tak tau malu! Kemarin kau menggoda Papaku, sekarang kau menggoda bawahannya? Lantas, setelah ini siapa lagi? Aku?" Seringai mengejek itu selalu mengikuti setiap ucapan Fatih. "Bukan urusan kamu!" Saat Rani terus menjawab, Arfan mencoba melerai. Pemuda yang lebih tua dari Fatih itu tak ingin mereka menjadi bahan perhatian para pengunjung. Rani melepaskan tangan Arfan yang menyentuhnya. Napasnya tersengal hanya dengan satu kalimat saja. Namun, di dalam d**a sana ia menyimpan ribuan kata yang tak mampu terlontar. "Sudahlah, Ran! Kita tidak perlu berlelah-lelah meladeni dia. Apakah kamu lupa, Om Bram sendiri yang mengatakan kalau dia itu ...." Arfan sengaja menyudahi kalimatnya. Ia rela Rani mengalami tekanan terus menerus. Apalagi, semua itu karena ulah Fatih. Bibir mengatup, Fatih seketika melangkah dan menantang dengan d**a membusung. "Apa maumu, hah?" Arfan hanya membalas dengan senyuman miring. Argan sama sekali tak gentar dengan sikap Fatih. Meski Bramantyo adalah sosok yang banyak berjasa padanya, tetapi sikap Fatih memang perlu diberi pelajaran. "Kalian apaan, sih? Malu itu dilihat orang." Beralih pada Fatih, "Fatih, jaga sikapmu! Harusnya kamu bisa bersikap dewasa." Saat Rani hendak pergi bersama Arfan meninggalkannya, dengan cepat Fatih menarik satu tangan kanan Rani. Gadis berjilbab coklat itu diajaknya menjauh dari Arfan. Terus berjalan maju tanpa mengindahkan suara yang terus meronta ingin dilepaskan. Sayang, Arfan pun sudah lelah. Ia tak sanggup mencegah Fatih yang mengotot merebut Rani darinya. Deburan ombak yang menggulung tinggi, membawa angin yang berembus dari arah jauh sana. Sebuah perasaan merah jambu hanya bisa dipendam dalam hati. Bahkan sebuah ungkapan yang hendak terucap lewat sebuah liontin, kini harus hilang bersama sang gadis. "Fatih!" Rani terus memanggil sang pemilik nama. Namun, si empunya malah mengajak melangkah jauh ke tepi pantai hingga kaki mereka menyentuh air laut. "Berhenti, Fatih!" Setelah tangan Rani terhempas, gadis itu menggosok pergelangan tangan yang terlihat merah. Fatih yang juga menatap ke arahnya tiba-tiba terlintas perasaan khawatir. Akan tetapi, pemuda itu tak bisa apa-apa selain bersikap tak acuh. "Dengarkan aku! Jauhi si Arfan atau kau akan mendapat masalah setelah ini." Rani menatap lain arah. Ia tak peduli dengan ucapan Fatih yang dianggapnya berlebihan dan terlalu ikut campur. "Ran, aku bicara padamu!" Kedua bahu ditarik kasar. Menatap sempurna pada pemuda yang kedua matanya menembus hingga ke dalam. Rani pun tak bisa menolak karena percuma saja. "Tolong, dengarkan aku sekali saja!" Tiba-tiba suara itu melirih. Seperti sebuah permohonan yang tulus dari dalam hati sanubari. "Beri aku satu alasan, Fatih! Kenapa aku harus menjauhi Arfan? Dia itu lelaki yang baik. Kami hanya sebatas teman," balas Rani tenang. "Aku tidak bisa mengatakannya, Ran. Tapi, aku mohon padamu. Dia itu tidak pantas untukmu." Masih terus mengucap larangan, Fatih terlihat mengiba. "Lupakan, Fatih! Aku lelah dengan sikapmu. Apakah kau sadar? Kau terlalu mengurus urusanku. Selama ini aku masih sabar kau hina keluargaku. Tapi, untuk saat ini aku tidak bisa mengikuti apa yang kau mau." Tangan berotot itu dilepaskan oleh Rani. Gadis itu terlihat benar-benar lemas, langkahnya pun pelan. Tidak terlihat seperti ingin kabur dari Fatih. Fatih membalik badan. "Ran!" Ia melihat Rani tiba-tiba ambruk dan tak sadarkan diri. Wajah yang menoleh kanan kiri itu memastikan bantuan. Dengan segala daya yang ia miliki, Fatih mengangkat tubuh kurus Rani dan membawanya kembali ke hotel. Arfan sudah tak terlihat lagi di dalam kamar. Fatih lantas meletakkan Rani di atas ranjang. Namun, saat memastikan sekelilingnya, Fatih tak menemukan barang-barang Arfan tak terlihat lagi. Koper sedang yang tadi pagi masih teronggok di sudut ruangan, kini bersih tanpa jejak. Fatih segera menuang air dalam gelas. Ia mencipratkan pada wajah Rani. Rani masih diam tak juga sadar juga, membuat Fatih semakin gelisah, sungguh ini keadaan di luar bayangannya. Ada apa dengan gadis itu? Fatih sudah mencoba menghubungi Papanya, tetapi tidak diangkat. Akhirnya, hanya sebuah kepasrahan yang mampu ia perbuat. Menunggu Rani hingga sadar. Selain itu, pekerjaan kantor yang baru saja disepakati tadi pagi, ia cek kembali di sofa dalam ruangan itu. Keputusan yang telah mantap diambil, kini kembali ia pahami. Hingga pukul sebelas malam, Rani masih saja terpejam. Fatih menoleh pada gadis itu. Lalu, berdiri dan menyentuh kening. Dahi Fatih pun mengerut, ia merasakan suhu tubuh Rani di atas rata-rata. Buru-buru Fatih mengambil air dan handuk kecil dalam kamar mandi dan mengompres kening Rani. Malam itu, ia tak bisa tidur. Menjaga Rani hingga ia bangun. Tak sadar sudah terlelap di samping sang gadis yang menunjukkan gerakan tangan. Rani memiringkan tubuhnya dan menyentuh d**a bidang tanpa disadari. Alarm ponsel berdering nyaring, dua pasang kelopak mata mulai mengerjap berkali-kali. Mereka membuka mata bersamaan. Betapa terkejut, Rani melihat dirinya memeluk Fatih. Bukan hanya Rani, Fatih pun terlihat kaget karena ia bingung sejak kapan bisa tidur satu ranjang dengan gadis itu. "Astaghfirullah," ucap spontan Rani. Ia segera mundur tetapi mendadak kepalanya berdenyut lagi. Meringis, menekan kening yang sakit, Rani lemas lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Fatih kembali panik. Ia meraih air putih di atas nakas dan memberikan pada Rani. Rani pun tak menolak dan segera meneguk. "Kepalaku sakit, Fatih!" Kelopak mata Rani tak kuat untuk dibuka, Rani kembali merebahkan tubuhnya. "Istirahat saja, Ran! Aku akan panggil dokter dan pesan sarapan untukmu." Fatih pun bergegas bangkit. Ia mencuci wajahnya sebelum keluar. * "Mbak Rani mengalami tekanan darah rendah, Mas. Dehidrasi juga sepertinya. Mungkin kelelahan dan banyak pikiran, jadi saya hanya bisa kasih resep saja. Setelah itu silakan ditebus di apotek terdekat." Dokter wanita yang ditelepon Fatih tadi, menyerahkan selembar tulisan selesai memeriksa Rani. Setelah itu, ia pamit dan Fatih mengantarnya hingga di depan pintu. "Ran, kamu makan dulu. Aku akan kembali setelah mendapatkan obatmu," ucap Fatih. Ia meraih jaket dan hendak keluar. "Fatih!" Ucapan Rani itu berhasil membuat kedua kaki Fatih terhenti. Tubuh menoleh sempurna pada sosok yang terkulai lemas. "Aku minta tolong sebentar." "Ada apa, Ran?" Pemuda itu pun mendekat lagi. Jika dalam keadaan begini, mereka lebih tepat persis seperti dua sejoli yang serasi. Namun, jika sedang kesal, bak tikus dan kucing yang selalu bertengkar. "Bantu aku bangun! Aku ingin ke kamar mandi," balas Rani. Ia mencoba bangun tetapi kepalanya terus seperti berputar-putar. Tanpa aba-aba lagi, Fatih meraih satu tangan Rani dan meletakkan pada belakang lehernya. "Pegangan, Ran!" Berjalan sempoyongan, pelan dan penuh kehati-hatian, Rani berpegang tembok kala di dalam kamar mandi. Ia berdecak saat mengetahui suatu hal sedangkan Fatih di luar mewanti-wanti dengan hati tak tenang. "Ran, jangan lama-lama! Kamu kedinginan nanti. Badanmu masih panas sekali, apakah kau masih bisa berdiri?" Tak menghentikan langkah kakinya, Fatih tak sabar menunggu jawaban. Rani akhirnya membuka pintu kamar mandi. Bibirnya masih terlihat kering dan wajahnya pucat pasi, membuat Fatih sangat khawatir. "Fatih, aku titip sesuatu, boleh?" "Apa?" Dengan begitu serius, Fatih menunggu ucapan Fatih selanjutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN