8

636 Kata
Keesokan hari, kondisiku membaik, ajaibnya sejak kedatangan anak anak, aku jadi membaik dan bersemangat. Sakit yang kemarin melilit lilit perut seakan lenyap begitu saja tanpa sisa. Dokter saja sampai tidak percaya mendapati kondisiku yang kini baik baik saja. "Kalau begitu ibu pulang saja," ucap dokter. "Benarkah dok, wah terima kasih," ucapku berbinar. "Syukurlah, jadi, ibu kami tak akan makan hati," ujar Yuna sambil melirik ayah mereka yang sibuk menyisir rambut sang istri. Ah, semanja itu wanita berambut panjang dan cerewet itu pada suaminya yang sekarang. "Baiklah, sebentar lagi petugas akan datang mencabut selang infus, adik adik tolong tanda tangani surat kepulangan pasien ya, ikut saya." "Iya, dok, siap." Kedua anakku mengikuti dokter sementara tinggallah aku sendiri di sini, memandang mantan suami dari balik tirai yang tersibak. Dulu, dia juga menyisir rambutku, dia membelai dan memeluk sebelum kami berangkat tidur, dia menyisir rambut dengan hati hati sambil menciumi aromanya dengan sikap romantis bak lelaki sejati yang amat mencintai istrinya. Ah, kenapa nasib kami begini, kenapa juga aku harus teringat, memandang mereka membuat batinku tersiksa, jujur saja, buka tak rela, hanya tak enak saja, canggung karena hal itu terjadi padaku. "Ah, mengapa semua keromantisan yang ia lakukan padaku, harus ia pamerkan sekarang pada wanita lain, aku tak nyaman sekali." Aku menggumam sendiri. "Apa yang kau perhatikan, kenapa kau menatap suamiku?" Tanya Si ketus dengan sengitnya. "Astagfirullah ...." Aku yang tak punya energi hanya bisa menggumam dan mengalihkan pandangan dan menggeleng geleng. Tak percaya dengan kecemasan wanita itu pada suaminya. Lagipula bukan tak melawan karena takut, meminimalisir drama lebih baik untuk kesehatanku. "Kenapa tak jawab?!" "Sudah diam, dia melihat karena punya mata, sesekali memandang, tak masalah, mungkin tak sengaja," ucap Mas Fendi mencegah istrinya. "Tak sengaja apanya, dia memandang begitu lama, sudah jelas ia rindu padamu, ia mendambakan kamu!" Puk! Wanita itu memukul d**a Mas Fendi, dia melampiaskan emosi hingga mantan suamiku terkejut. Mas Fendi pegangi bagian dadanya dengan tatapan kaget, mungkin sangat sakit karena begitu keras suara yang terdengar. Rupanya ... Wanita itu kasar dan posesif sekali. "Astagfirullah Santi ..." "Kenapa? Jangan coba coba menipuku atau membelanya. Aku menikahi kamu bukan tanpa alasan, aku itu cinta dan tak mau kau memanfaatkan perasaaanku untuk menipuku!" "Apa maksudmu?" "Kalau aku mati, kau pasti ingin balikan dengan si jalang Fatimah itu!" Astaga, aku terkejut dengan ucapan kasar yulisa, picik sekali pemikirannya tentangku dan suaminya sendiri. "Cukup! Anak anakku di sini dan kalau mereka mendengarmu, mereka akan segera lupa bahwa aku ayahnya, karena mereka akan memukulmu dengan bengis." "Aku tidak takut, akan ku penjarakan mereka semua termasuk ibunya!" "Menatap seseorang bukanlah kejahatan! Ada apa denganmu, apa kau menyadari mantan suamiku masih cinta hingga kau takut sekali melihat itu?" tanyaku dengan ucapan menohok. "Kurang ajar!" Desisnya dengan mata memicing. "Aku sama sekali tak tertarik dengan orang yang sudah kuceraikan. Bagiku ia hanya masa lalu, barang yang telah kulepaskan. Buat apa akan kuambil lagi!" "Hai jangan begitu, nanti kau jilat lidahmu sendiri," jawabnya. "Jika begitu kenyataannya, maka kau akan sangat tersiksa Yulisa, jadi, karena ucapan adalah doa, doakan saja hal hal yang baik. Jaga apa yang jadi milikmu dan hiduplah dengan tentram tanpa kecurigaan, itu lebih baik." "Nasihatmu berguna, tapi aku tak membutuhkannya, sebab aku tahu dalam hatimu tersimpan cinta," jawabnya melenguh kesal. Memang benar hatiku masih cinta, tapi aku tak akan mengakuinya karena itu akan mempemalukan diriku. Biar kukatakan kebalikannya saja. "Kalau aku masih cinta, tentu aku masih dengannya, pria itu tak akan jadi milikmu, Sayangku." "Kalian terpisah karena kau memang wanita yang tidak baik." "Baik atau tidaknya aku, bukan kau yang pantas menghakimi. Tapi terima kasih, aku akan memaafkanmu." Usai mengatakan itu, secara kebetulan anakku kembali bersama dua orang perawat yang akan melepas infus dan memulangkan aku. Aku masih melihat sisa kemarahan di wajah Yulisa namun kutahu dia tidak akan mengatakan apa-apa karena di sini ada dua bujangku yang akan membela ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN