bc

Unpredictable

book_age12+
705
IKUTI
3.3K
BACA
love-triangle
drama
sweet
like
intro-logo
Uraian

Dalam hidupmu, ada banyak hal yang tak pernah kau sangka sebelumnya. Takdir tak pernah bisa kau prediksi dengan nalarmu.

Pernahkah hidupmu dihantui oleh mitos? Hidup Arnyn selalu dihantui oleh mitos semenjak adiknya meminta izin untuk melengkahinya dalam urusan pernikahan. Semenjak hari itu, hubungan Arnyn dengan pacarnya yang bernama Aldy mulai memburuk, terlebih disaat Aldy tidak bisa memenuhi permintaan Arnyn untuk menikahinya sebelum saat adiknya menikah.

Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk saling berjalan masing-masing. Arnyn adalah perempuan yang mandiri sebelum ia mengenal Aldy yang membiasakannya untuk selalu bergantung padanya. Hingga ketika ia menjauh dari Aldy, Arnyn lupa bagaimana caranya menjadi mandiri kembali.

Seperti yang kukatakan soal takdir, Andri kembali datang ke hidup Arnyn setelah sekian lama mereka tak bertemu. Andri adalah sosok lelaki yang pernah Arnyn perjuangkan selama kurang lebih 8 tahun dan akhirnya dapat Arnyn lupakan setelah ia bertemu dengan Aldy.

Kedatangan Andri hanya membuat hidup Arnyn semakin memburuk. Arnyn tidak mengerti apa rencana Tuhan selanjutnya atas hidup yang ia jalani. Hari demi hari, banyak konflik yang terjadi di hidup Arnyn, dan ia harus menyesaikannya tanpa ada Aldy di sisinya.

Untuk sebuah mitos yang paling sering terdengar dalam masyarakat. Apa kau akan percaya dan akan terus mengizinkannya menghantui pikiranmu? Apa kau rasa semua tindakan yang Arnyn lakukan adalah kesalahan?

Lalu, bagaimana akhir hidup Arnyn? Akankah hidupnya berakhir sesuai mitos yang ia takuti? Atau malah hidupnya akan jauh lebih baik setelah mengikhlaskan adiknya untuk mendahuluinya? Bagaimana dengan Aldy? Apa ia dan Arnyn akan kembali bersama? Atau justru Arnyn akan kembali kepada Andri, sosok yang pernah ia perjuangkan dengan sebegitu lamanya?

*Cr cover from Pinterest*

chap-preview
Pratinjau gratis
Mitos
Cuaca hari ini sangat mendung, aku baru saja melangkahkan kaki keluar dari Toko Buku yang hampir setiap akhir pekan selalu kudatangi. Handphone di genggaman langsung aku masukan ke dalam tote bag hitam kesayanganku. Aku lebih memilih untuk memperhatikan langit yang begitu teduh dan juga sejuk. Mungkin di antara kalian lebih banyak yang menyukai langit yang cerah. Tapi untukku, langit mendung mempunyai pesonanya sendiri. Tetes demi tetes air turun dari langit sebelum akhirnya lebat, aku menyukai hujan, tapi aku tak suka becek, aneh memang. Derasnya hujan memaksaku berlari sekencang mungkin sambil mencari tempat untuk berteduh. Kini aku berada di depan Kedai kopi perempatan jalan yang letaknya tak jauh dari Toko Buku langgananku. Sambil menunggu hujan reda, aku memutuskan untuk masuk ke dalam dan memesan segelas cokelat panas yang kebetulan juga dijual di Kedai kopi ini. Sambil menunggu cokelat panasku jadi, aku duduk di meja yang telah disediakan di sana. Tidak lama kemudian, handphoneku berdering.   “By, kamu di mana?” ucap suara laki-laki itu khawatir.   “Di kedai kopi dekat perempatan toko buku langgananku.”   “Jangan ke mana-mana, aku ke sana sekarang.” jawabnya terburu-buru sampai langsung menutup telponnya tanpa basa-basi lagi. Ya, dia adalah Aldy, pacarku. Begitulah Aldy, dia tidak pernah membiarkanku menjadi perempuan yang mandiri, aku harus selalu bergantung padanya. Berangkat ke Toko Buku tadi dengan menggunakan ojek online pun terpaksa ia “iya” kan karena saat itu ia masih sibuk dengan deadline-nya. Di kamusnya, apapun yang terjadi aku harus melibatkan dirinya. Termasuk ke mana pun. Karena dirinya pasti bersedia mengantar jemputku ke mana pun dan kapan pun.   “Atas nama Kak Arnyn.” ucap salah satu barista perempuan itu saat pesananku telah siap untuk di nikmati. Aku berdiri dari tempat duduk dan mengambilnya, lalu membawanya menuju keluar kedai sambil menunggu Aldy di sana. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil berwarna hitam dengan goresan kecil di pintu belakang sebelah kiri tiba di hadapanku. Ya, itu dia mobil Aldy. Aldy keluar dari mobilnya sambil membawa payung yang ukurannya tidak terlalu besar. Ia menghampiri dan memayungiku hingga aku masuk ke dalam mobil yang kemudian diiringi oleh langkah kakinya yang juga ikut masuk.   “Kuyup gak? Kepala kamu kehujanan gak? Jaket kamu basah? Sepatu kamu basah? Aku bawa jaket, ganti pakai jaketku, ya? AC nya udah aku kecilin, masih dingin gak? Atau mau gak usah pakai AC aja?” ucapnya sekhawatir itu sampai aku tidak diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan pertamanya.   “Al, aku gak kenapa-kenapa. Cuma basah sedikit, hujan belum sederas itu waktu aku lari cari tempat buat neduh.” kataku sambil mengusap rambutnya.   “Maafin aku ya, kamu jadi kehujanan.” Hanya karena itu tapi aku melihat permintaan maafnya sangat sungguh-sungguh, padahal aku cuma kehujanan. Dasar Aldy.   “Ih jangan gitu, aku gak apa-apa kok, Sayang. Nih aku beli minuman cokelat enak deh, mau coba? Aku lupa beli dua.” ujarku sambil menyodorkan minuman cokelat kearahnya. Aldy menatapku kemudian tersenyum, lalu meraih tanganku yang memegangi cokelat panas sambil ia arahkan ke bibirnya. Seperti pasangan pada umumnya, kami bercanda dan bercerita di sepanjang perjalanan, ditemani dengan segelas cokelat hangat yang dinikmati berdua sambil mendengarkan lagu di Radio Tape mobil hingga tak terasa akhirnya telah sampai di depan gerbang rumahku. Hujan pun telah berhenti saat itu.   “Kamu mampir gak?” tanyaku sebelum keluar dari mobil.   “Kayaknya enggak, By. Aku langsung balik gak apa-apa? Masih ada yang harus aku kerjain soalnya.”   “Gak apa-apa kok. Ya udah, hati-hati ya nyetirnya.”   “Salam buat Mama dan Papa ya?” Aldy mencium keningku sebelum aku beranjak keluar dari mobilnya. Setelah mobilnya kembali melaju, aku masuk ke dalam rumah dan bergegas untuk mengganti pakaian yang sudah tidak begitu basah karena terkena hujan tadi. Waktu menunjukan pukul 18:50, Mama sudah teriak dari bawah untuk mengajak makan malam bersama. Aku pun keluar dari kamar dan turun ke bawah menuju meja makan. Di sana sudah ada Papa, dan kedua Adikku. Di sela-sela suapan, Mama mulai membuka percakapan.   “Nyn, Bella dilamar Irgi.” Aku berhenti mengunyah makanan yang ada di mulut sambil menatapnya sebelum beberapa detik kemudian kembali mengunyahnya. Irgi adalah pacar Adikku, Bella. Umur mereka berbeda 5 tahun. Irgi lahir di tahun 1994 sementara Adikku Bella di tahun 1999.   “Terus?” jawabku dengan singkat. Kali ini, Papa yang angkat bicara. “Mereka mau menikah di tahun ini, Bella mau minta izin buat melangkahi kamu.”   “Gak, Arnyn gak mau. Arnyn gak kasih restu.” balasku sambil menghentikan makan malam lalu bergegas naik ke kamar. Tak lama kemudian, pintu kamarku diketuk, dan perlahan terbuka sebelum aku mengizinkannya. Aku menoleh dan ternyata Bella yang datang.   “Kak, gue tau ini gak adil buat lo. Tapi gue harus gimana kalau jalannya memang kayak gini? Umur Irgi udah semakin tua Kak, udah waktunya buat nikah.” ujarnya memelas sambil mencoba duduk di ujung kasurku.   “Lo udah gila? Gue ini Kakak, di mana-mana gue dulu baru lo! Lo tau gak sih dampak di langkah tuh apa? Selain gak mikirin perasaan gue, lo juga gak mikirin nasib gue?” Aku meninggikan nada untuk menjawab pertanyaannya. Di daerah ku, sudah terkenal sekali mitos yang mengatakan apabila seorang kakak didahulukan menikah oleh adiknya, maka Sang Kakak akan kesulitan mendapat jodoh. Aku tidak sepenuhnya percaya, tetapi aku hanya khawatir. Karena, faktanya, banyak sekali kejadiannya. Ia terdiam kemudian menunduk, aku melihat ekspresi takut dan sedihnya. Tak lama dari itu, ia berdiri dari kasurku dan melangkah pergi sambil mengucapkan kata maaf. *** Keesokan harinya, seperti biasa setiap weekend, aku dan Aldy pasti selalu keluar untuk Quality Time bersama. Karena kemarin aku pergi keluar seorang diri, jadi hari minggu ini jam 9 pagi Aldy sudah ada di depan rumahku. Tanpa berlama-lama, kami langsung pamit dan pergi ke salah satu tempat makan yang tidak letaknya jauh dari rumahku.   “Al?” Aku mencoba memulai percakapan di tengah-tengah suapannya.   “Ada apa, Sayang?”   “Bella mau nikah.” Aldy menatapku sejenak lalu mengambil segelas air yang ada di hadapannya dan menengguknya secara perlahan. “Bagus dong.” balasnya kemudian.   “Bagus apanya? Itu tandanya Bella sama Irgi mau ngelangkahin aku, Al.” ujarku kesal.   “Memangnya kenapa?” Ia kembali menatapku, kali ini sambil menyantap udang saus Padang kesukaannya.   “Kamu tau gak sih mitos yang bilang kalo dilangkahi itu bakalan susah jodohnya?” Aku mulai memasang wajah serius. Ia menyelesaikan kunyahannya, menaruh sendok dan garpu di piring lalu melipat kedua tanggannya di atas meja. “Itukan cuma mitos, By.”   “Aku gak mau tahu, nikahin aku sebelum Bella nikah!” Aku meninggalkan Aldy yang masih terduduk di meja makan menuju mobil. Ia pun berlari menyusul.   “By, kamu apa-apaan sih? Kita kan belum selesai makan.” Aldy menarik tanganku yang masih berusaha untuk ke mobil.   “Aku mau pulang! Kalo kamu gak mau anter dan masih mau makan, aku pulang sendiri!” tegasku sambil menarik paksa pergelangan tangan dari genggamannya. Aldy menatapku sambil menghela napas panjang.   “Ya udah, yuk pulang.” Di sepanjang perjalanan aku hanya terdiam, benar-benar diam. Aldy pun tidak berusaha mengajakku berbicara, karena ia sudah tahu betul sifatku, aku paling tidak suka diajak bicara di saat sedang marah-marahnya. Ketika sampai di depan gerbang rumah, Aldy menarik tanganku yang bergegas keluar dari mobilnya tanpa pamit.   “By, jangan kayak gini. Kamu kan tahu, aku baru lulus kuliah, aku kerja juga belum lama. Kamu sendiri yang bilang misal kita nikah, kita akan pakai uang sendiri tanpa minta bantuan kedua orang tua kita.” Raut wajahnya kali ini memelas, wajahnya benar-benar menggambarkan jika ia ingin dipahami pada saat itu.   “Besok lagi aja bahasnya, aku lagi gak mood .” jawabku ketus sambil membuka pintu mobil dan berjalan keluar. Sudah seminggu ini aku jarang membalas chatnya, berangkat kerja pun aku mengendarai motorku sendiri tanpa ia jemput. Aku juga harus mempercepat keberangkatan karena Aldy sangat hapal jam berangkatku. Aldy selalu tiba di depan rumah pada pukul 06.30, sementara sudah hampir seminggu ini aku berangkat di pukul 06.25 agar tidak bertemu dengannya. Dan benar saja, Mama selalu bercerita kalau hampir tiap pagi Aldy datang menjemput ke rumah saat aku selalu sudah berangkat terlebih dahulu. Di hari sabtu sore seperti biasa aku berada di Toko Buku langganan. Mencoba menenangkan pikiran sambil membaca buku-buku yang belum sempat k****a. Di tengah-tengah keseriusanku membaca, tiba-tiba seorang laki-laki datang lalu duduk di kursi yang berada di depanku. Siapa lagi kalau bukan Aldy.   “By? Kenapa kamu ngejauhin aku? Jangan kayak gini, By. Tolong.”   “Aku udah minta kamu buat nikahin aku. Mana bukti nyata kamu, Al? Mana?” Tatapku tajam.   “Aku sayang sama kamu, sayang banget. Aku janji bakalan nikahin kamu, tapi gak bisa secepat ini By. Gak bisa. Tabunganku belum cukup. Gak apa-apa, Bella nikah lebih dulu. Tahun depannya aku usahain kita nyusul, ya?” Aku tak pernah melihat Aldy berkata seserius itu. Demi Tuhan, aku tidak tega menekannya secara terus menerus, tapi kenapa ia tega membiarkan Bella mendahuluiku?   “Semisal aku bertahan buat kamu, aku ikhlasin Bella untuk nikah lebih dulu. Di tengah jalan, takdir berkata lain. Kita putus dan Tuhan bilang kalo bukan kamu orangnya, aku harus apa Al kalo itu terjadi?” Aku melihat Aldy benar-benar kacau pada saat itu, matanya menatapku dengan penuh harap.   “Kamu gak bisa seegois itu, desak aku cuma karena kamu gak mau Bella menikah lebih dulu. Aku bakal berusaha, By. Aku janji. Janji.” Kali ini ia meraih tanganku, menatap jauh kedalam mataku, empat tahun bersama, entah kenapa tatapan matanya masih seteduh saat pertama kali aku menemukannya.   “Maaf, Al. Aku rasa untuk saat ini kita sendiri-sendiri dulu. Dan kamu bebas ngelakuin apapun yang kamu suka, aku pun begitu. Kalau di tengah perjalanan kita yang masing-masing ini aku atau kamu nemuin seseorang yang satu tujuan, yang sesuai dengan apa yang kita mau, kamu berhak pilih dia dibanding aku. Dan aku juga berhak pilih laki-laki lain dibanding kamu.” Aku melangkah pergi meninggalkan ia yang masih terduduk menatapku yang berjalan menjauh. Pada saat itu, sebenarnya aku takut mengucapkannya. Tapi, aku hanya ingin Aldy tahu bahwa aku benar-benar menginginkannya. Dan perkataan itu sebagai cambukan agar ia takut kehilanganku dan merubah pikirannya untuk segera menikahiku. Namun ternyata aku salah, Aldy tetap pada pilihannya, dan aku tetap pada egoku. Hampir satu bulan kami berjalan masing-masing, Aldy masih sering menghubungiku meski hanya sesekali aku menggubrisnya. Semakin hari, aku semakin ikhlas atas kebahagiaan Adikku, Bella. Dan pada akhirnya aku mengizinkan Bella dan Irgi untuk menikah. Bukankah kebahagiaan Bella adalah kebahagiaanku juga? Aku rindu Aldy, sangat rindu Aldy. Tetapi aku terlalu naif untuk mengakuinya, terlebih pada saat itu akulah yang pergi dari hidupnya. Aldy mengajarkanku untuk selalu bergantung padanya dalam hal apapun. Sekarang, saat ia tak ada, aku benar-benar merasa kehilangan arah. Al, kini aku harus bergantung pada siapa saat kamu tak ada? Al, itukah caramu agar aku tidak akan pernah berani pergi dari hidupmu?

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Om Bule Suamiku

read
8.9M
bc

LAUT DALAM 21+

read
299.6K
bc

Aksara untuk Elea (21+)

read
843.2K
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K
bc

Sak Wijining Dino

read
161.9K
bc

HYPER!

read
623.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook