Imperium Global
William Cassian duduk di kursi kulit hitamnya, kaki bersilang dengan anggun, jemari panjangnya mengetuk perlahan sandaran tangan kursi. Dari balik kaca jendela besar yang menjulang tinggi, pemandangan kota terbentang, gedung-gedung menjulang, jalanan sibuk, dan cahaya mentari sore yang memantul di permukaan kaca-kaca modern.
Namun sorot mata William tidak sekadar menatap keluar. Ada sesuatu yang lebih dalam, tajam, penuh perhitungan, seakan setiap bangunan di luar sana hanyalah pion dalam papan catur miliknya. Bibirnya melengkung samar, senyum yang tak bisa dibaca apakah itu kepuasan… atau ancaman yang sedang dipendam.
“Tuan, apakah Anda tidak berniat menceritakan kebenaran itu pada Nona Cila?” suara Axis memecah kesunyian, nadanya hati-hati.
William tidak beranjak dari kursinya, pandangannya tetap menembus jendela kaca. Hanya tangan kanannya yang terangkat, memberi isyarat singkat.
“Belum saatnya,” jawabnya datar, dingin.
Axis menelan ludah tipis, lalu kembali bersuara. “Kalau begitu, apa rencana Tuan selanjutnya?”
“Pantau dia.” Nada William tak berubah, tenang namun penuh wibawa. “Laporkan padaku setiap langkahnya, setiap orang yang berani mendekatinya. Jangan ada yang terlewat.”
Axis masih tegak berdiri di tempatnya, membuat William akhirnya menoleh, alisnya terangkat tipis.
“Ada apa lagi?”
“Tuan… laporan DNA sudah keluar.” Axis maju selangkah, mengulurkan map cokelat. William meraihnya tanpa ragu.
Hening sesaat, hanya suara kertas yang dibuka. Lalu sudut bibir William melengkung, seringai tipis yang membuat bulu kuduk meremang. “Simpan ini di brankas. Belum saatnya dia tahu.”
Axis mengangguk, tapi kembali memberanikan diri. “Bagaimana dengan pencarian kita sebelumnya? Apakah masih dilanjutkan?”
“Tidak perlu.” William menutup map itu perlahan, matanya berkilat tajam. “Aku sudah tahu di mana dia berada. Jangan sentuh dulu. Fokus pada barang kita yang dicuri. Cari tikusnya…” ia berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis. Seringai yang lebih mirip ancaman. “dan pastikan pembalasan kita jadi pelajaran yang tidak akan terlupakan.”
"Siap, Tuan," ucap Axis penuh hormat. Ia menundukkan kepala sedikit sebelum mundur dengan sikap teratur.
Setelah kepergian asistennya, William memutar kursi kebesarannya dengan tenang. Punggungnya menyandar santai, namun aura otoritas tetap menguar. Pandangannya kini beralih ke meja kerja, jemari panjangnya mulai menari di atas papan ketik.
Layar monitor menyala, menampilkan peta dunia digital beresolusi tinggi. Garis-garis jalur kargo melintang dari satu benua ke benua lain, titik-titik cahaya kecil berkedip seakan mewakili setiap kontainer yang bergerak di bawah bendera Orlando Global Export.
Sistem itu bukan sekadar peta, melainkan jantung dari kerajaan logistiknya. Dengan teknologi terbaru, William bisa melacak tiap pergerakan barang, mendeteksi penyimpangan sekecil apa pun, bahkan menandai jika ada “tikus” yang mencoba bermain curang di jalannya.
Seringai tipis tersungging di wajahnya. Bagi William, dunia bukanlah sekadar bola bulat biru di layar, melainkan papan catur raksasa. Dan setiap kargonya adalah bidak yang siap digerakkan sesuai kehendaknya
“Tuan, ada pergerakan mencurigakan di kargo tujuan Teluk Napoli. Kapal OGE Fortuna dilaporkan disergap di Laut Mediterania,” suara salah seorang teknisi terdengar tegang melalui interkom.
William tidak terlihat panik sedikit pun. Justru sudut bibirnya terangkat, membentuk seringai dingin. “Jadi… musuh akhirnya masuk ke dalam jebakan.” gumamnya rendah, nyaris seperti bisikan maut.
Tanpa buang waktu, ia menekan tombol komunikasi di meja kerjanya. Layar besar di hadapannya menyala, menampilkan wajah Priscila hanya beberapa detik kemudian.
“OGE Fortuna sedang dirampok sebelum tiba di pelabuhan Napoli. Aku ingin tahu,” suara William berat, penuh tekanan, “apakah mereka sama sekali tidak menyiapkan penjagaan untuk pengiriman sebesar itu?”
Priscila langsung menegakkan tubuh, jemarinya lincah menari di atas keyboard, sementara matanya menajam ke layar tambahan di sisinya. “Elara, aktifkan radar sistem. Fokus pada jalur OGE Fortuna dan tampilkan semua anomali pergerakan di sekitarnya, sekarang.”
“Baik, Nona!” suara Elara, sekretarisnya, terdengar cepat dan cekatan.
Di layar William, Priscila tampak serius, wajahnya diterangi cahaya monitor, sorot matanya dingin penuh konsentrasi. “Aku akan memberikan jawaban yang memuaskan, Tuan Cassian. Beri aku satu menit… dan mari kita lihat siapa b******n yang cukup nekat menyentuh kargo anda.”
Satu menit berlalu. Priscila kembali menatap layar dengan wajah mengeras. Jemarinya berhenti mengetik, lalu ia menghela napas pendek.
“Sepertinya benar.” Nada Priscila terdengar dingin, tapi ada ketegangan halus di ujung suaranya. Matanya terpaku pada layar, sorotnya tajam menahan amarah. “Tidak ada pengawalan resmi di jalur kargo itu. Bahkan unit security force pun tidak disertakan.”
Jemarinya mengetuk meja konsol lebih keras dari biasanya, seakan menyalurkan rasa geram yang tak boleh ia tunjukkan di depan William. Rahangnya menegang, tapi ia menarik napas cepat, memaksa dirinya tetap fokus.
“Dan ada satu hal lain yang mengganjal…”
William menyipitkan mata. “Bicara.”
Priscila menoleh sekilas ke layar samping, sorot matanya tajam, lalu kembali fokus pada William di monitor. “Seharusnya OGE Fortuna otomatis terdaftar penuh di dalam sistem pengawasan. Tapi—” ia mengetuk beberapa kali papan ketik, menampilkan grafik jalur, “kapal itu tidak terdeteksi sama sekali di radar internal. Hanya sinyal sekunder yang samar… seperti seseorang dengan sengaja menonaktifkan transponder utamanya.”
William terdiam sejenak, jemarinya mengetuk pelan meja kayu gelapnya. “Jadi, ada yang bermain dari dalam.”
“Bukan hanya itu,” lanjut Priscila, nadanya menegang. “Aku mendeteksi pola sinyal elektronik asing. Mereka menggunakan jammer frekuensi tinggi. Itu sebabnya radar kita hanya menangkap pantulan samar.”
William menyeringai tipis, matanya menyala dengan dingin. “Bagus… berarti tikus itu sudah menunjukkan ekornya.”
Priscila mencondongkan tubuh, suara dinginnya menembus layar. “Aku akan menangkap tikus-tikus itu” ucapnya
Layar monitor perlahan meredup, meninggalkan pantulan samar wajah William di permukaan hitam itu. Ruangan kembali sunyi, hanya terdengar dengung halus dari sistem pendingin udara dan detakan jarum jam antik yang tergantung di dinding.
William bersandar di kursinya, jemari panjangnya mengetuk meja kayu gelap dengan ritme pelan, seakan sedang menghitung waktu.
Dengan satu tekanan pada tombol interkom, suaranya terdengar dingin dan singkat.
“Axis. Masuk.”
Tak butuh waktu lama, pintu kayu ganda itu terbuka dengan bunyi ‘klik’ yang lembut. Axis melangkah masuk, langkahnya tenang, namun sorot matanya penuh kewaspadaan. Ia menunduk hormat, menunggu instruksi.
William tidak segera bicara. Ia hanya menggeser pandangan ke arah peta digital di layar besar yang kini kembali menampilkan jalur kargo global. Sebuah titik merah berkedip di kawasan Laut Mediterania, tanda peringatan yang memecah pola garis jalur biru yang biasanya tenang.
“Jika dia dia bisa menyelesaikan masalah ini, maka aku akan memberinya sebuah hadiah kecil sebagai penghargaan. Atas usahanya. Siapkan video itu dan kirim pada waktu yang tepat.” perintah William.
Axis menunduk dalam, suaranya mantap “Siap, Tuan. Perintah akan segera dijalankan.”
…
Sementara itu, di salah satu ruangan mewah di gedung Orlando Global Export, dua pria tengah bersulang, gelas kristal beradu pelan.
“Sesuai kesepakatan kita, lima persen sahamku di OGE jadi milikmu. Anggap saja sebagai tanda ikatan baru.”
Senyum tipis mengembang di wajah pria itu.
“Kerjasama ini baru permulaan. Selama sama-sama untung, aku tak akan ragu memperluasnya.”
“Tapi satu hal…” Ia memutar gelasnya, menatap cairan merah pekat di dalamnya. “Bagaimana kau akan menghadapi wanita itu?”
“Wanita itu?” pria satunya terkekeh ringan. “Kau maksudkan Priscila? Percayalah, bangkit dari kematian tak membuatnya lebih cerdas. Dia hanya pion kecil yang tak tahu kapan permainan sudah usai.”
Ia mencondongkan tubuh, bisikannya tajam bagai pisau.
“Kalaupun dia berhasil mencium jejak ini, semuanya sudah terlambat. Dan pada saat itu, aku hanya perlu satu langkah sederhana. Menuding seluruh kesalahan kepada bajak laut.
“Maka dia dan William Cassian terpaksa menelan kebohongan itu tanpa ragu.”
Benturan gelas kristal terdengar seperti nada pembuka tragedi. Senyum di bibir mereka bukanlah tanda kemenangan, melainkan janji akan malapetaka yang segera lahir.
“Aku mendapat laporan dari Gilbert. Dia menuntut semua berkas dari tiap divisi.”
Alan tersenyum tipis, nyaris sinis. “Sudah kuduga. Santai saja, semuanya sudah kusiapkan. Separuh petinggi OGE berdiri bersama kita. Bagi orang lain mungkin ancaman… bagiku hanya sekadar gangguan kecil.”