kelinci pintar

1101 Kata
Cila melangkah masuk lebih dalam, setiap hentakan sepatu haknya bergema di ruang rapat yang kini nyaris membeku. Semua mata masih menatapnya, sebagian dengan keterkejutan, sebagian dengan keraguan yang terbungkus rapi di balik wajah serius. “Baiklah,” suaranya terdengar jelas, dingin, dan penuh kendali. “Hari ini aku akan memimpin rapat bersama seluruh dewan Orlando Global Export.” William hanya menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit hitam di ujung meja, senyum samar menggantung di bibirnya. Jemarinya mengetuk pelan pena Montblanc, ritme tenang yang seakan memberi restu diam-diam. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya menjadi saksi, dan penguji, atas langkah pertama Cila. “Pertama-tama, aku ingin laporan keuangan perusahaan.” Cila menatap tajam ke arah CFO yang duduk di sisi kiri, pria berperut buncit dengan dasi longgar. “Semua angka, semua transaksi, baik yang tercatat maupun yang sengaja disembunyikan. Sekarang.” Pria itu tersentak kecil. “S-Sekarang, Nona? Data lengkapnya perlu—” “Kalau begitu, aku beri waktu lima menit,” potong Cila cepat, nada suaranya setajam bilah kaca. “Aku yakin seorang CFO yang digaji semahal itu tidak perlu waktu lebih lama untuk menunjukkan hasil kerjanya.” Beberapa anggota dewan saling pandang, ada yang menahan tawa kecil, ada yang justru pucat mendengar ketegasan itu. Alan sendiri menunduk, keringat dingin di pelipisnya belum kering sejak tadi. ‘Sialan kau jalang, berani sekali membuat keributan di sini. Tunggu saja, aku akan membalasnya.’ batinnya, menahan amarah yang ia sembunyikan rapat-rapat Cila menggeser pandangannya ke sisi kanan. “Dan kau, Gerald. Aku ingin semua laporan ekspor enam bulan lalu. Aku akan memeriksanya satu per satu.” Gerald yang tadi sempat meremehkan langsung terdiam, wajahnya menegang. Tangannya gemetar saat meraih map di depannya, seolah takut jika isi dokumen itu menjadi bukti kesalahannya sendiri. Ruang rapat kini dipenuhi suara kertas dibalik, pena diketuk gugup, dan helaan napas berat yang dipaksa terdengar normal. Sementara itu, William hanya duduk diam. Senyumnya tipis, matanya menyipit penuh minat, seakan tengah menonton pertunjukan yang sudah ia tunggu lama, bagaimana Priscila Orlando menunjukkan bahwa menyelamatkannya dari kematian bukanlah kesalahan. “Nona Priscila… Sepertinya—” Belum sempat CFO menyelesaikan kalimatnya, Cila sudah mengangkat tangan, menghentikan kata-katanya dengan tegas. Tatapannya menusuk, dingin, seolah satu detik keterlambatan sudah cukup membuatnya hilang kesabaran. “Kenapa? Waktunya tidak cukup?” suaranya terdengar ringan, tapi penuh ironi. Pandangannya ia edarkan perlahan ke setiap wajah yang duduk di sekeliling meja rapat. Gerald, pria paruh baya dengan wajah penuh kerut akibat terlalu sering menahan stres, mencoba memberanikan diri. “Bisakah Nona memberi kami sedikit waktu… untuk mempersiapkan laporan itu?” Cila memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana bahan hitamnya. Gerakannya santai, tapi aura yang ia pancarkan justru menekan seluruh ruangan. Ia mengangguk sekali, mantap. “Tepat jam lima sore, semua laporan yang aku minta harus sudah ada di atas meja kerjaku. Jika kalian masih juga tidak bisa menyiapkannya…” bibirnya melengkung tipis, senyum tanpa kehangatan. “Maka malam ini kalian akan lembur. Dan percayalah, aku sendiri yang akan mengawasi kalian satu per satu.” Suasana meja rapat langsung bergemuruh pelan. “Ini gila!” desis sang CFO dengan wajah merah padam. “Bagaimana dia bisa seenaknya meminta kita lembur?” “Parah! Mentang-mentang dapat dukungan dari Tuan William…” Bisik-bisik itu bergaung, tapi Priscila sama sekali tak menggubris. Ia berdiri tegak, aura dingin membungkam satu per satu keluhan yang sempat mengalir. William Cassian yang sejak tadi duduk sebagai pengamat, hanya mengetuk perlahan gagang penanya di atas meja, seolah sedang menikmati pemandangan. Senyum samar menghiasi bibirnya, tatapannya sekilas mengarah pada Priscila. Hari pertama, dan gadis Orlando itu sudah berhasil mengguncang meja rapat yang dulu pernah menjatuhkannya. “Oh iya, Tuan Alan Fernando,” suara Cila terdengar ringan, tapi setiap kata menusuk seperti bilah tipis. “Mulai hari ini aku akan menggunakan ruangan kerjamu. Setelah rapat selesai, pastikan semua barang-barangmu sudah dipindahkan.” Alan terdiam sepersekian detik. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi meja. “Apa tidak ada ruangan lain untukmu?” tanyanya, nada suaranya getir, penuh amarah terpendam. Cila menoleh, menatapnya dengan dingin. Senyum tipisnya bukan sekadar senyum, lebih seperti sebuah vonis. “Aku mau ruangan itu, Alan. Jadi lakukan saja sesuai permintaanku.” Hening menggantung sejenak di udara. Beberapa anggota dewan yang masih membereskan berkas menahan napas, berpura-pura sibuk, padahal sebenarnya semua telinga menajam. Dari ujung meja, William Cassian hanya mengangkat alis tipis, matanya menatap seperti sedang menyaksikan permainan catur di mana satu per satu bidak musuh mulai terguling. “Baiklah!” jawab Alan dengan terpaksa. Rapat akhirnya usai. Satu per satu orang mulai meninggalkan ruangan, meninggalkan Cila dan William di meja rapat yang kini sunyi. William beranjak dari duduknya, matanya menatap Cila yang masih berdiri, seolah bersiap melangkah keluar sambil mengemas beberapa dokumen di tangannya. Tiba-tiba, tangan kokoh itu melingkar di pinggang ramping Cila sebelum ia sempat bergerak. Tubuhnya tertarik ke arah William dalam gerakan secepat kilat. Tatapan mereka bertemu. Tatapan William yang tajam dan penuh d******i seketika menembus mata Cila, yang tak kuasa menahan kaget oleh gerakan mendadak itu. Hening menggantung di udara, seolah detak jantung mereka sendiri bergema keras di antara kedua sosok yang saling menahan aura. Cila menegakkan tubuh, sedikit menahan napas, tapi tidak mundur. William hanya tersenyum tipis, dingin, seperti menikmati kejutan yang ia ciptakan. “Kau sudah menunjukkan nilaimu,” William berbisik di dekat telinga Cila, napasnya hangat menyapu kulitnya. “Ingat… jangan pernah menentangku. Jadilah kelinci yang pintar.” Priscila tersenyum tipis, tatapannya tetap dingin namun penuh tantangan. Ia membalas dengan suara lembut namun tegas, hampir seperti bisikan di kuping William, “Aku bukan kelinci, Tuan William Cassian. Aku manusia… manusia yang sudah mati rasa. Dan jangan khawatir, aku bukan tipe yang mengkhianati tuannya.” “Semenjak kapan kau tahu siapa aku?” tanya William, tangannya masih enggan melepaskan pinggang Cila. “Baru saja, beberapa jam sebelum rapat dimulai, Tuan William Cassian,” jawab Cila, menekankan nama pria itu dengan dingin namun penuh ketegasan. William akhirnya melepaskan tangannya dari pinggang Cila dan melangkah pergi, namun belum sempat tangannya menyentuh tuas pintu, suara Cila terdengar menahan langkahnya. “Apa yang terjadi pada papaku?” tanyanya, matanya menatap William dengan campuran ketegasan dan kecemasan. William menoleh sekilas, matanya menyapu Cila sekali lagi sebelum menekan tuas pintu dan pergi begitu saja, meninggalkan pertanyaan itu menggantung di udara tanpa jawaban. ‘Tenang, Cila… kau baru saja mendapatkan kepercayaannya. Masih ada waktu untuk menyelidiki semuanya,’ batin wanita itu, menekan perasaannya hingga ke dasar, menahan gelombang emosi yang nyaris tumpah. Cila menarik napas panjang, menahan detak jantungnya yang masih bergejolak. Ia menatap meja rapat yang kini kosong, hanya sisa-sisa kertas dan pena yang berserakan. Semuanya tampak tenang di permukaan, tapi ia tahu, badai baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN