William Cassian

1531 Kata
Ruang tunggu itu senyap, hanya berdenting suara jam dinding yang terdengar terlalu keras di telinganya. Cila duduk tegak di kursi berlapis kulit hitam, kaki disilangkan rapi, tapi jemarinya mengetuk pelan lengan kursi, dengan ritme yang tak bisa dikendalikan. Meski tampak tenang, pikirannya berputar: setiap detik membawa ia semakin dekat dengan wajah-wajah dewan yang dulu meremehkannya. Pintu berderit, dan langkah berirama sepatu hak masuk ke dalam. Cila mengangkat kepalanya. Seorang wanita berpenampilan rapi, yang pernah ia lihat berdiri di sisi Axis tempo hari, kini menghampiri dengan senyum tipis yang nyaris terlalu sopan. Rambut hitam wanita itu digelung rapi, bibirnya berlipstik merah darah, elegan tapi tajam. “Selamat pagi, Nona Cila. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu.” Suara itu terdengar tenang, namun begitu terukur hingga membuat Cila refleks menyipitkan mata. “Pagi juga…” balasnya singkat, tatapan awas tak lepas dari sosok di depannya. Wanita itu tersenyum tipis, lalu merapikan lipatan rok pensilnya sebelum duduk. “Oh iya, namaku Elara. Aku sekretaris Tuan William Cassian.” Jemarinya yang ramping mengetuk ringan map hitam yang baru ia letakkan di atas meja marmer. “Dan mulai hari ini, aku resmi menjadi sekretaris, Nona Cila.” Kalimatnya terdengar lembut, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik intonasi itu, seperti seseorang yang tak pernah mengucapkan satu kata pun tanpa maksud tertentu. ‘William Cassian… aku sepertinya pernah mendengar nama itu.’ Cila mengerutkan kening. Ada sesuatu di balik nama itu, samar. Sejenak, obrolannya dengan sang papa kembali bermain di benaknya seperti pita rusak. “Pa, kenapa sih papa menolak usul yang kubentang? tanya Cila waktu itu, begitu saja menerobos ke ruang kerja yang dipenuhi aroma kopi dan asap cerutu. “Cila…” suara papanya berat, nyaris seperti desahan lelah. “Jika papa setuju dengan usul mu, itu sama saja kita mencabar Imperium Global. Kamu tahu siapa pemiliknya?” Cila mengangkat bahu, matanya menyipit seolah tidak peduli namun jelas ada rasa ingin tahu di baliknya. “Siapapun pemiliknya…” “Pemiliknya itu William Cassian, Ia bukan hanya pemilik Imperium Global yang membangun hotel dan gedung-gedung pencakar langit. Di balik jas mahal dan senyum ramahnya, dia adalah pria yang merajai dua dunia pasar gelap dan yang legal." Papanya menatapnya dalam, seolah ingin mengukir kata-kata itu ke dalam benak putrinya. “Dia bisa membeli kesetiaan dengan emas, tapi juga mencabut nyawa dengan jentikan jari. Orang seperti itu tidak pernah kalah, Cila. Dia tidak hidup untuk itu.” Seketika, Cila menegakkan duduknya, jemarinya tanpa sadar meremas ujung blazernya. Kedua bola matanya membulat menatap Elara dengan sorot penuh tekanan. “Jadi… dia William Cassian?” tanyanya pelan, seolah sekadar butuh validasi atas sesuatu yang sudah ia yakini. Elara mengangguk mantap. “Benar, Nona.” Seketika d**a Cila terasa sesak. Ternyata dia… apakah ini sebuah berkah, atau justru petaka yang sedang mendorong aku ke pintu kehancuran? desis batinnya William Cassian adalah pria yang tidak hanya bermain di meja rapat dengan jas mahal, tetapi juga merajai pasar gelap dengan tangan besi. Dari jalur senjata, perdagangan informasi, hingga kendali di jalur logistik bayangan, semua memiliki jejak tangannya. Ia bisa menandatangani kontrak bernilai miliaran di siang hari, lalu memerintahkan penghilangan musuh di malam hari. Baginya, tidak ada batas jelas antara bisnis legal dan ilegal. Semuanya hanya soal kendali, soal siapa yang berani melawan, dan siapa yang akan berlutut. Dan nama itu, ‘William Cassian,’ kini sedang duduk di kursi tertinggi Orlando Global, menunggu Cila untuk masuk ke dunia yang selama ini hanya ia dengar dari cerita papanya …. Ruang rapat di lantai tertinggi Orlando Global Exsport dipenuhi cahaya siang yang menembus dinding kaca raksasa. Pemandangan kota London terbentang, seolah menjadi panggung bagi orang-orang yang duduk melingkar di meja marmer hitam yang panjang. Aroma kopi pekat dan rokok mahal bercampur di udara, menyelubungi suasana dengan kabut yang samar. Di ujung meja, seorang pria berjas abu-abu arang dengan dasi gelap duduk tenang. William Cassian. Jemarinya mengetuk ringan gagang pena Montblanc di atas berkas-berkas dokumen, ritme yang terdengar nyaris seperti metronom, menciptakan ketegangan yang tak seorang pun berani pecahkan. “Lini ekspor material konstruksi berjalan sesuai jadwal, tapi ada tekanan dari regulator. Mereka menuntut laporan pajak tambahan,” ujar seorang pria berperut buncit, suaranya serak karena cerutu yang tak pernah padam. William hanya menoleh sekilas, sorot matanya dingin. “Regulator selalu lapar. Kita beri mereka apa yang mereka mau… tapi hanya secukupnya. Jangan pernah biarkan mereka kenyang.” Seorang wanita berambut pirang, CEO cabang investasi, mencondongkan tubuhnya. “Kalau begitu, kita bisa alihkan sebagian dana melalui jalur foundation. Secara publik terlihat bersih, tapi tetap mengalir ke proyek inti.” “Foundation sudah dipakai tiga kali tahun ini.” Suara lain menyela, kali ini pria muda berwajah licik dengan setelan biru gelap. “Kalau terlalu sering, mereka akan curiga.” William mengangkat tangannya, menutup perdebatan seketika. Hening. Semua tatapan kembali padanya. “Kecurigaan itu normal. Tapi yang perlu kalian ingat, selama mereka mendapat bagian, tidak ada yang benar-benar berani menggali terlalu dalam.” Ia meneguk pelan espresso di depannya, lalu meletakkan cangkir itu tanpa suara. “Masalah sebenarnya bukan di regulator. Masalahnya ada di Palermo. Pengiriman terakhir kita hilang. Dan aku ingin tahu siapa yang bermain-main dengan barangku.” Ketegangan di meja meningkat. Beberapa orang saling melirik, ada yang pura-pura sibuk dengan dokumen, ada yang menggertakkan gigi. William bersandar, kedua tangannya terlipat. Senyumnya tipis, tapi dingin. “Kalian semua pintar di meja rapat. Tapi aku tidak butuh orang pintar saja. Aku butuh orang yang bisa memastikan, satu peluru yang keluar malam ini tidak pernah sampai ke halaman depan surat kabar besok pagi. Apakah itu terlalu sulit dimengerti?” Suara jam dinding di ruangan itu terasa lebih keras. Tak ada yang berani menjawab terburu-buru. “Alan Fernando, bagaimana caramu menangani ini semua, hmm?” suara William datar, namun tatapannya setajam bilah pisau. Alan sontak menelan ludah, suaranya yang barusan lantang kini lenyap. Ia bangkit terburu, wajah liciknya seketika sirna. “Tuan… sebenarnya—” William hanya mengangkat alis tipis, matanya tetap menatap dokumen di depannya, seolah Alan bukan apa-apa selain gangguan kecil. “Sebenarnya apa, Alan?” nada bariton itu dingin, menekan tanpa harus meninggikan suara. Beberapa anggota dewan lain mulai gelisah, kursi bergeser, pena diputar di antara jari, batuk kecil terdengar untuk memecah keheningan yang menyesakkan. Tapi tak ada yang berani benar-benar menyela. Alan membuka mulut lagi, namun suaranya tercekat. Keringat tipis mulai membasahi pelipisnya. “Saya… saya akan mencari solusi, Tuan. Hanya perlu sedikit waktu—” “Waktu?” William akhirnya mengangkat pandangan. Tatapan matanya menancap langsung ke Alan, membuat pria itu kaku di tempat. “Apakah aku harus menarik kembali investasiku dari perusahaan ini… agar kau punya cukup waktu merenung di jalanan?” “Jangan, Tuan! Saya… saya akan segera mencari jalan keluar—” Alan terbata, hampir tersedak oleh suaranya sendiri. William menyandarkan tubuh ke kursi kulit hitam, jemarinya mengetuk meja rapat yang panjang dan licin. Dentuman ringan itu membuat ruangan seakan membeku. “Jika begitu, mulai detik ini, aku akan mengirimkan perwakilanku untuk memantau langsung operasi perusahaan ini.” Beberapa wajah di meja rapat saling berpandangan, sebagian menahan napas, sebagian lainnya meremas pena di tangan. Ketegangan memuncak. “Apakah para ahli dewan punya bantahan?” William menoleh sekilas, pandangannya menusuk satu per satu. Tak ada yang berani membuka suara. Hanya desis pendingin ruangan dan detik jam dinding yang terdengar. Pintu ruang rapat berderit terbuka, langkah sepatu hak terdengar berirama. Semua kepala menoleh serentak. Alan yang baru saja tergagap di hadapan William sontak menoleh, dan darah seolah surut dari wajahnya. Wajahnya pucat pasi, matanya melotot tak percaya. “Pr–Priscila Orlando!” jeritnya setengah mati, suara tercekat seperti orang baru melihat hantu. Suasana ruang rapat seketika berguncang. Kursi-kursi berderak, para anggota dewan saling pandang dengan ekspresi terperangah. Beberapa bahkan menutup mulut, seolah tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Nama Priscila Orlando masih terlalu besar untuk bisa dihapus begitu saja dari ingatan mereka. “Mustahil… bukankah dia sudah—” bisik salah satu dewan paruh baya, kalimatnya menggantung karena tak berani melanjutkan. William hanya bersandar tenang di kursinya, jemarinya mengetuk pelan meja kayu panjang itu. Senyum tipis, lebih menyerupai seringai, muncul di sudut bibirnya, seolah menikmati keterkejutan semua orang. Sementara Cila berdiri tegak di ambang pintu, blazer hitam membalut tubuh rampingnya, tatapan matanya dingin menelusuri satu per satu wajah yang dulu meremehkannya. Aura keanggunan sekaligus ancaman menyelimuti ruangan, membuat bisik-bisik kecil dari dewan mendadak sirna. “Perkenalkan, Priscila Orlando,” suara William dalam, tenang tapi penuh tekanan. “Mulai saat ini, ia adalah perwakilan sah dari investor utama, dan akan memantau seluruh kinerja kalian.” Ruangan seketika membeku. Kursi-kursi berderak kecil, para dewan saling pandang dengan wajah tegang. Beberapa mencoba menyembunyikan kegelisahan dengan merapikan dasi, ada pula yang mengetuk-ngetuk pena tanpa sadar. “Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik,” sela Cila, suaranya terdengar halus tapi mengandung racun. Senyumnya, atau lebih tepat seringai, menggantung di bibirnya saat ia menatap satu per satu wajah yang dulu pernah memandangnya rendah. Hingga akhirnya, tatapan itu berhenti. Mengunci tepat pada Alan Fernando. Darah Alan seolah berhenti mengalir. Wajahnya pucat pasi, matanya bergetar seperti baru saja melihat arwah bangkit dari kubur. Bibir Cila melengkung sedikit lebih lebar, senyumnya dingin, nyaris seperti belati yang baru saja ditarik keluar dari sarungnya. ‘Alan Fernando… kali ini, siapa yang akan terkubur lebih dulu?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN