Bagian 6

2264 Kata
Dipta tidak menyangka jika hari ini akan dihadapkan pada masalah baru. Dia baru saja kembali dari bertemu dengan klien yang cukup membuang energinya. Memang permasalahan dalam perusahaan selalu ada, tapi dia tidak menduga jika dia akan berhadapan dengan seorang wanita cantik yang dengan beraninya memberikan pandangan sinis ke arahnya. Seperti merendahkan dan meremehkan. Dipta sudah berada di ruangannya yang didominasi dengan warna cream setelah makan siang bersama pihak Hotel Kejora yang mengajukan komplain karena pembatalan kontrak kerja sama yang tiba-tiba. Saat ini Dipta duduk dengan membelakangi pintu masuk ruangannya. Memandang jalanan Surabaya yang cukup padat merayap di bawah sana melalui kaca besar yang didesain khusus sebagai jendela. Dipta menyukai cahaya alami dari sinar matahari sebagai sumber penerangan ruangannya dari pada harus menyalakan lampu di siang hari. Dia baru akan menyalakan lampu jika langit mulai gelap atau mendung mulai datang merayap. Prinsip Dipta adalah selagi dia bisa berhemat energi, dia akan melakukan itu. Dia bisa mengalokasikan dana listrik untuk upah pegawainya dari pada harus dibuang sia-sia untuk sesuatu yang masih bisa dialihkan pada sumber energi lain. Dipta memijit kedua pelipisnya dengan pelan. Jujur saja dia merasa pusing akan peristiwa hari ini. Tim IT masih mencari siapa dalang dibalik pembatalan kontrak kerja sama terhadap pengiriman brown dan white sugar dari PT. Sugar Sweet kepada Hotel Kejora. Dering handphone-nya mengembalikan kesadaran Dipta dari pikirannya yang melalang buana ke kejadian hari ini yang silih bergulir berganti dan menguras tenaganya serta pikirannya. Nama Ibuku Sayang muncul di layar handphone Dipta yang dilapisi dengan pelindung layar berwarna hitam. Mungkin namanya sedikit berlebihan apalagi bagi seorang Dipta yang terkenal dingin, tetapi bagi Dipta itu adalah cara pengungkapan bahwa dia sangat menyayangi ibunya. Dipta segera menggeser ke kanan panggilan tersebut pada tombol hijau. Bisa mendapatkan kutukan jika dia berani untuk menolak panggilan dari sang ratu. Lebih baik dia tidak menerima panggilan dari ibunya saja jika dia sedang tidak ingin berdebat dengan ibunya dari pada dia mendapatkan semprotan rohani. “Halo, bu,” sapa Dipta. “Ucap salam dulu,” ucap Armi dengan galak. Dipta tersenyum singkat, senang. Ibunya selalu mengingatkan akan kebaikan-kebaikan yang tidak boleh dia tinggalkan. “Assalamu’alaikum ibuku sayang,” ucap Dipta dengan mode dimanja-manjakan. Terdengar menjijikkan di telinga Armi. Setelah menjawab salam dari Dipta, Armi mengejek Dipta karena suara Dipta yang dimirip-miripkan seperti anak kecil. Dipta mendengus mendengarkan ledekan Armi. Selalu saja ibu dan adiknya itu tidak pernah kehabisan bahan ledekan untuknya. Sungguh kreatif sekali mereka berdua. Kreatif dalam menciptakan ledekan baru untuknya. “Ada apa ibuku sayang? Ibu sudah rindu Dipta? Padahal Dipta baru saja kembali ke Surabaya kemarin siang,” ledek Dipta. Berniat membalas ledekan ibunya. Armi membalas ucapan Dipta dengan dengusan karena kepercayaan diri yang dimiliki oleh putranya itu terlalu tinggi. Dipta yang mendengar dengusan ibunya pun tertawa karena dengan begitu PD-nya Dipta bersikap seperti itu pada ibunya. Namun dia memang selalu seperti ini, tampil apa adanya seperti bocah saat di hadapan sang ibu. Ya, seperti kata pepatah bahwa seorang pria akan tetap menjadi bocah atau anak-anak jika di hadapan ibunya. “Gak apa. Ibu hanya merasa bahwa perasaan ibu sedang tidak tenang saja. Apa ada sesuatu yang terjadi?” Ah, seorang ibu akan selalu memahami perasaan anaknya. Sebesar apa pun seorang anak, ibu tidak akan berhenti mendoakan. Dan insting seorang ibu tidak pernah salah terhadap putranya. Dipta selalu menyukai ketika ibunya menelpon dan mengerti benar bahwa sebenarnya perasaannya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Tanpa banyak pembukaan kalimat, Dipta pun menceritakan hal apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun Dipta memang terkenal dingin dan memiliki tatapan tajam di mata para pegawai dan kliennya, dia tetap menjadi seorang bocah yang akan mengadu jika disediakan bahu untuk bersandar, terutama bahu ibunya. “Kamu punya banyak saingan kan, Dip?” Dipta mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibunya yang kemungkinan besar tentu ibunya tidak akan mengetahui hal itu. “Bisa jadi salah satu saingan kamu yang melakukan sabotase terhadap email bagian marketing. Bisa juga si saingan kamu itu adalah orang dalam sendiri. Karyawan kamu. Dan bisa juga saingan kamu memasukkan orang ke dalam perusahaan dan melakukan aksi itu,” jelas Armi panjang lebar dari seberang sana. “Iya bu. Dipta juga menduga seperti itu. Sekarang tim IT sedang mencari dan menelusuri hingga bagian dalam siapa dalang di balik ini semua. Dipta juga meminta bagian personalia untuk mengecek apakah ada pegawai yang memiliki riwayat pernah bekerja di perusahaan lawan.” “Semoga segala permasalahannya segera selesai ya, Dip. Ibu jadi ingat saat ayah masih hidup, beliau akan selalu bercerita apa saja yang terjadi di perusahaan, terutama jika itu hal berat. Berbagi itu meringankan segala permasalahan, Dip,” ucap Armi, sedikit memberikan nasihat. Dipta menyetujui ucapan ibunya. “Dan beruntungnya kamu karena memiliki ibu yang selalu paham jika ada permasalahan yang terjadi.” Terdengar nada sombong dari ibunya dan diiringi dengan tawa bahagia. Dipta merasa bahagia karena memiliki seorang ibu yang selalu menjadi tempatnya bersandar hingga di usia Dipta yang sudah lebih dari seperempat abad ini. “Ibu tentu tidak mungkin selalu ada buat kamu, Dip. Makanya jangan lupa selain mengurusi perusahaan, kamu juga harus berusaha untuk mengurus dan mencari pasangan hidup, Dip.” Ucapan Armi cukup tegas. Bukan ledekan lagi. Dia serius akan ucapannya. Sebenarnya dia ingin sekali menjodohkan Dipta, tetapi dia bukan ibu yang setega itu kepada Dipta. Dia memberikan kesempatan kepada Dipta untuk mencari sosok perempuan yang tepat untuk putranya tanpa campur tangannya. Dipta kembali mengeluarkan dengusannya, tapi ini lebih pelan dari yang tadi. Ujung-ujungnya akan tetap meledek kejombloannya. Dia tahu ibunya serius membicarakan hal ini, tapi dia merasa belum saatnya saja untuk memikirkan hal itu. Dia masih ingin mengembangkan usaha peninggalan ayahnya dan usaha sangkar burung di rumahnya yang sedang berkembang pesat. Jika kedua usahanya sudah stabil dia baru akan memikirkan tentang pernikahan. Dia ingin memberikan kenyaman finansial kepada istri dan anaknya nanti. Ibu dan adiknya sepertinya tidak akan berhenti meledek kejombloannya sebelum dia menikah atau menemukan seorang wanita untuk dijadikan pacar. Tapi diusianya yang seperti ini rasa-rasanya sudah bukan saatnya lagi jika dia berpacaran. Lagi pula dia juga sudah mengatakan pada Kanya bahwa lebih baik langsung melamar dari pada harus melalui fase berpacaran lagi. Jika masalah biaya pernikahan tentu saja Dipta sudah mempunyai itu, bahkan lebih. Pemasukan dari kedua usahanya tidak sedikit, cukup banyak bahkan melimpah tapi mau bagaimana lagi jika dalam diri Dipta belum ada kemauan untuk menikah. Bahkan rencana menikah dalam waktu dekat ini saja belum ada. “Ujung-ujungnya meledek ya, bu,” sinis Dipta. Armi di seberang hanya terkekeh mendengar ucapan sinis Dipta. “Ibu tidak meledek. Ibu berharap kamu segera memiliki seseorang yang akan selalu kamu jadikan sandaran hidup selain ibu, nak,” ujar Armi halus dan pelan. “Ibu juga bantu doakan Dipta dong biar Dipta segera bertemu dengan seorang wanita yang pas dan cocok untuk dijadikan pasangan hidup.” “Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu dan Kanya. Tapi kalau hanya bermodalkan doa tapi kamu juga gak mau berusaha untuk mencari seorang wanita ya sama saja,” dumal Armi. Dipta kembali membenarkan ucapan ibunya. Dia memang terlalu keras memikirkan perkembangan perusahaannya ataupun permasalahan yang sedang terjadi di perusahaannya sehingga membuatnya tidak memiliki waktu untuk berkencan atau mencoba mencari pasangan hidup. Sebenarnya banyak wanita yang mendekatinya, kliennya yang memiliki seorang anak perempuan seusianya atau di bawahnya atau klien itu sendiri yang seusia dengannya. Namun Dipta hanya akan menunjukkan raut wajah dinginnya atau menanggapi dengan senyuman kaku setiap ada tawaran untuk berkencan sehingga membuat para wanita menjauh secara pelan-pelan. “Dipta masih ingin mengembangkan kedua usaha ini, bu. Jika keduanya sudah stabil Dipta akan segera mencari pasangan,” jelas Dipta dengan pelan. Dia berharap ibunya memahami keinginannya ini. Terdengar helaan napas dari seberang sana. Armi hanya bisa pasrah mendengar jawaban Dipta. Mau dipaksa bagaimanapun jika memang Dipta tidak menginginkan hal itu maka akan susah membujuk Dipta. Dipta terlalu keras kepala, sama seperti almarhum ayahnya. “Ya sudah terserah kamu saja. Ibu hanya berharap kamu jangan terlalu lelah memikirkan segala permasalahan dalam perusahaan. Tetap berpikir waras,” peringat Armi. “Iya, bu. Ibu juga jaga kesehatan di sana. Ibu jangan di rumah sendiri, cari teman atau asisten untuk menemani ibu di rumah. Kanyakan tidak selalu di rumah, dia hanya akan ke rumah jika Bakti sedang bertugas jauh.” “Ibu sudah biasa hidup sendiri. Nanti jika ibu mulai bosan sendirian ibu akan cari asisten sesuai saran kamu.” Dipta dan Kanya sudah berulang kali mengingatkan ibunya untuk mencari asisten. Selain untuk membantu pekerjaan rumah, Armi tidak akan kesepian karena di rumah sendirian. Kanya memang tinggal tidak jauh dari rumah ibunya, tetapi Kanya hanya akan berkunjung ketika Bakti harus bertugas dan menginap di luar kota. Sedangkan dirinya tentu saja tidak bisa pulang setiap hari. Tubuhnya bisa ambruk jika dia pulang pergi ke rumah ibunya. Jarak yang jauh dan akses jalan yang cukup sulit membuat Dipta lebih memilih ke rumah ibunya satu bulan sekali. “Ya sudah. Ngomong-ngomong kok ini sambungan teleponnya lancar sekali bu? Biasanya jika Dipta di rumah sinyal akan susah sekali?” heran Dipta. “Oh, ini ibu sedang ke kota. Tadi diajak Kanya main ke Sunrise Mall. Kanya sedang jalan-jalan sama Dipta cari perlengkapan bayi, ibu hanya duduk menunggu mereka selesai berbelanja.” Dipta menganggukkan kepalanya paham. “Jelas saja kalau begitu. Suara ibu jernih dan tidak terputus-putus,” jawab Dipta. “Ibu jangan selalu mau jika diajak Kanya jalan-jalan, nanti kaki ibu capek.” “Iya ibu tahu. Sudah ah, Kanya mau ngajak beli makan. Ibu tutup dulu ya. Jangan lupa makan juga kamu.” “Ini sudah jam berapa dan Kanya baru mau ngajak ibu makan? Tega sekali anak itu.” “Hus… Udah deh. Ibu tutup ya. Assalamu’alaikum.” Dipta belum menjawab salam dari ibunya tetapi ibunya sudah mengakhiri panggilan darinya. Ibunya pasti akan membela Kanya dengan jawaban bahwa Kanya sedang menggebu-gebu ingin belanja kelengkapan bayi dulu baru makan. Ibu hamil harus didahulukan. Dipta mendengus membayangkan jawaban itu yang akan diucapkan ibunya. Dipta segera mencari nama Kanya dalam daftar kontaknya. Menekan tombol memanggil. “Kamu tega ya baru ngajak ibu makan jam segini? Ini sudah mau sore, Nya!” semprot Dipta saat panggilannya sudah diterima oleh Kanya. “Apa sih, bang? Berisik tahu gak sih. Telepon itu ucap salam dulu. Lagian ibu tadi nolak waktu Kanya ajak makan dulu,” dumal Kanya sebal. “Ya soalnya kamu pasti menunjukkan raut muka menjijikkan kamu itu agar ibu menuruti kemauanmu itu,” jawab Dipta sambil mengeluarkan dengusan khas dirinya. Tidak ada jawaban dari seberang. Hanya suara berisik dan seperti berebutan untuk berbicara dengannya. “Ya ampun Dipta! Ibukan sudah bilang jangan bicara sembarangan ke adikmu itu. Dia itu sedang sensitif-sensitifnya. Berulang kali ibu bilang dan memperingatkan kamu lho. Dengar gak itu suara tangisan adik kamu!” hardik Armi gemas. Bahkan terkesan menahan amarah. “Ini juga kita sedang di tempat umum, Dip. Ininih yang ibu tidak suka dari kamu. Selalu menyemprot adik kamu lebih dulu tanpa memikirkan perasaan adikmu.” Jawaban Armi membuat Dipta merasa bersalah. Apalagi didukung dengan suara isakan tangis Kanya dan suara Bakti yang berusaha menenangkan adiknya. Ah, dia kembali rese seperti dulu. Mengganggu adiknya. “Dipta minta maaf, bu,” ucap Dipta pelan. Bahkan sangat pelan. “Sudah, ah. Ibu matikan dulu telponnya. Ibu dan Bakti harus membujuk Kanya dulu agar dia tidak mogok makan. Awas saja ya kalau kamu pulang ke rumah, ibu hajar kamu!” ancam Armi. Dipta menghela napas. Dia baru saja membuat masalah baru. Ah, dasar bodoh. Bagaimana dia bisa lupa dan menyakiti hati adiknya yang sedang sensitif karena kehamilannya. Benar ucapan ibunya bahwa dia tidak akan mampu memahami hati seorang wanita yang sedang hamil sebelum dia memiliki seorang istri sendiri dan merasakan rasa sensitif yang dirasakan oleh istrinya. Masalah perusahaan saja belum menemukan titik terang, eh bisa-bisanya dia menciptakan masalah baru dengan adiknya. Jika nanti adik dan ibunya sudah kembali ke rumah pasti susah untuk menghubungi mereka. Apa dia harus pulang untuk meminta maaf secara langsung ke adiknya? Dipta rasanya stress. Dia menarik rambutnya, tidak terlalu kuat. Melampiaskan kebodohannya. Dering telepon di mejanya membuatnya segera tersadar dari pikirannya. Dia mengambil gagang telepon itu. “Suruh masuk saja,” jawab Dipta tegas. Setelah meletakkan gagang telepon kembali pada tempatnya, terdengarlah ketukan pintu ruangannya. Dipta mempersilahkan si pengetuk pintu untuk masuk. “Bagaimana?” tanya Dipta langsung ke intinya setelah seorang pria duduk di hadapannya. Sang pria tersebut menunjukkan layar laptop ke hadapan Dipta. Dipta langsung mengepalkan kedua tangannya kuat. Dia kecolongan. Berkedip sedikit ternyata membuat perusahaannya harus dihadapkan pada permasalahan ini. Beruntungnya dia memiliki tim IT yang bisa diandalkan. Dipta segera mengambil gagang telepon di mejanya dan meminta sekretarisnya untuk memanggil personalia perusahaan. “Bagaimana bisa kamu tidak meneliti orang yang masuk ke dalam perusahaan ini?” tanya Dipta dengan suara menggelegar. Dia marah. Kecewa. Dan kesal tentu saja. Orang yang baru saja dibentaknya menundukkan kepalanya takut. Dia merasa bodoh karena ucapan Dipta benar adanya. Dia tidak pernah kecolongan merekrut orang baru pada perusahaan ini, tetapi kali ini sepertinya takdir sedang menghampirinya. Ya, semua datang karena kecerobohannya. “Cepat pecat orang itu. Dan kamu,” ucap Dipta dengan suara dingin. “Jangan pernah lagi mengulangi kesalahan yang sama jika tidak ingin aku pecat juga!” lanjut Dipta dengan suara yang lebih dingin. Setelahnya Dipta meminta kedua orang yang baru saja masuk ke dalam ruangannya untuk meninggalkannya seorang diri. Dia perlu menenangkan diri sebelum perkataannya semakin menyakiti orang lain. Dia memang terkenal dengan mulut tajamnya, tapi dia tidak ingin melampiaskan kemarahannya pada orang yang salah. Dipta memijat pangkal hidungnya pelan, sebagai langkah untuk menenangkan pikirannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN