Bagian 7

2055 Kata
Pria itu tertawa puas saat mendengar laporan anak buahnya yang berhasil menjalankan perintahnya dengan baik. Sangat baik. Setelah ini dia bisa ongkang-ongkang kaki dan tinggal menunggu kedatangan pihak Hotel Kejora yang akan mengajukan kerja sama dengan perusahaannya. Dan bam, dia akan mendapatkan aliran rupiah yang besar. Dia bisa menikmati hidup dengan tenang dan menghamburkan uangnya dengan tenang. Sudah lama dia ingin menghancurkan nama perusahaan itu dan mengambil alih para kliennya untuk menjadi klien perusahaannya. Licik memang. Namun siapa yang tidak mau mendapatkan uang secara cepat tanpa harus bekerja terlalu keras. Dia bersiul senang saat anak buah yang lainnya melaporkan bahwa Hotel Kejora sedang kelabakan dan kebingungan karena ulah anak buahnya. Ah, menyenangkan sekali memang membuat keributan. Dia duduk di atas kursi yang memiliki roda berjumlah tiga. Memutarnya dengan hati yang begitu bahagia. Setelah ini dia bisa mandi uang. Membayangkannya saja sudah membuatnya bersenandung senang. Namun kebahagiaannya tidak bertahan lama. Benar kata pepatah, orang yang berusaha dan orang baik pasti akan menjadi pemenang. Pria itu langsung melemparkan segala barang yang berada di atas mejanya. Menggesernya dalam satu kali geseran membuat barang-barang yang ada di atas meja berjatuhan dan menimbulkan suara prank. Cukup mengganggu pendengaran. Seorang wanita yang selalu setia berada di depan ruangan pria itu hanya bisa menahan napasnya. Dia sudah paham dan tahu pasti jika sedang ada masalah besar yang menerpa pria itu. Pria itu memang sulit sekali mengendalikan emosinya. Dia akan menghancurkan segala barang yang ada di hadapannya sebagai pelampiasan atas kemarahan yang menumpuk pada diri. Dia berteriak kencang dan keras. Menjambak rambutnya dengan kuat. Dia juga menggebrak meja kerjanya yang dilapisi kaca bening sehingga memunculkan retakan. Tak hanya sekali, berulang kali hingga tangan pria itu berdarah. Darah terus mengalir dari tangan kanan pria itu. Tidak merasa kesakitan, dia abai. Wanita yang tadi masih setia berada di depan ruangan pria itu segera masuk ke dalam ruangan yang berantakan, seperti kapal pecah. Dia sudah sering melihat kondisi seperti ini. Sejak bekerja sebagai sekertaris pria itu, wanita itu sudah biasa menghadapi emosi bosnya yang meledak-ledak. Selain mengatur segala urusan perusahaan, dia juga akan mengurus segala luka yang ditimbulkan oleh bosnya itu sendiri. Wanita itu langsung menuju ke ujung ruangan dan mengambil beberapa obat dalam botol yang berada di kotak obat. Tak lupa dia juga mengambil kapas, kasa, dan plester. Wanita itu—Estu membawa semua perlengkapan untuk mengobati luka pada tangan bosnya ke arah bosnya yang sedang menelungkupkan wajahnya di atas meja kaca yang tadi dia pukul. Retakan kaca tak membuat pria itu takut jika wajah putih bersihnya akan ikut terluka terkena goresan pecahan kaca. “Pak,” panggil Estu pelan. Dia tidak ingin mendapatkan semprotan amarah dari bosnya. Pria itu—Rama mengangkat wajahnya pelan. Memandang ke arah Estu dengan tatapan dinginnya. Mematikan dan menakutkan. Namun, Estu sudah kebal. Dia sudah biasa. Dia memandang Rama dengan pandangan tak takutnya. Jika awal-awal bekerja dengan Rama dia masih ketakutan akan pandangan dinginnya, dua tahun ini dia sudah biasa. “Gak perlu kamu obati saya. Keluar!” ujar Rama dengan penuh penekanan. Dia memandang Estu dengan pandangan tajamnya. Seperti elang yang siap menerkam mangsanya. Estu hanya memandang Rama sekilas. Kemudian dia langsung membuka botol alkohol dan meneteskan alkohol pada kapas. Dengan beraninya Estu menarik tangan kanan Rama. Menggenggamnya kuat meskipun tenaga Rama tentu lebih besar dari Estu. Bodoh amat. Dia sudah terbiasa peduli dengan Rama. Dia tahu Rama selama ini tertekan dengan kehidupannya, ayah Rama selalu menekan Rama agar perusahaan yang saat ini sedang dikelola oleh Rama bisa berkembang dengan pesat. Walaupun memang Rama juga menyukai jika dia berhasil mendapatkan uang banyak untuk menikmati indahnya dunia, tetapi tetap saja rasanya dia juga tertekan dengan tuntutan ayahnya. Estu mengetahui hal itu karena setelah ayah Rama berkunjung ke kantor, maka raut muka Rama akan menunjukkan wajah yang dingin. Sedingin salju dan es di Antartika. Rama berusaha menghempaskan tangan Estu yang memegang tangannya. Estu masih berusaha mempertahankan pegangannya pada pergelangan tangan Rama, tapi tenaga Rama memang lebih besar darinya. Botol alkohol plastik yang Estu letakkan di atas meja dengan kondisi terbuka tumpah dan membasahi lutut Estu yang roknya sedikit tersingkap ke atas. Tak hanya itu, tangan Estu juga terbentur pinggiran meja. Tak berdarah memang, tapi rasa nyeri mulai menyerang lengan bawahnya. Dia menahan sakit. Estu pun membereskan semua botol obat yang berjatuhan. Setelahnya dia membersihkan tetesan alkohol pada kulitnya menggunakan kapas bersih lain yang dia bawa, beruntungnya kapas yang dia letakkan di atas meja tidak basah oleh alkohol yang tumpah. Estu berjalan ke arah sofa yang ada di depan meja kerja Rama. Duduk sambil membersihkan alkohol yang terasa dingin pada permukaan kulitnya. Jika dibiarkan saja, maka lututnya bisa kering dan itu tidak baik untuknya. Jika kulit Estu kering maka rasa gatal akan menyerangnya. Estu memang memiliki alergi yang unik. Dia tidak bisa berada pada ruangan yang terlalu dingin dan menyebabkan kulitnya kering, dia selalu mengusahakan temperatur pendingin ruangan mampu diterima oleh kulitnya. Estu fokus pada kegiatannya, tanpa mempedulikan Rama lagi. Biarkan saja bosnya marah, keselamatan dirinya lebih penting. Jika hanya gatal pada area yang kering saja mungkin dia masih akan keukeh untuk mengobati Rama, tapi ini berbeda. Tubuh bagian lain akan ikut merasakan gatal. Estu kemudian beranjak keluar dari ruangannya setelah menunduk ke arah Rama sebagai tanda pamit. Dia harus ke kamar mandi untuk melembabkan kembali lututnya. Bisa saja dia menumpang ke kamar mandi yang ada pada ruangan Rama, tapi dia tidak mau mengambil risiko. Rama yang ditinggalkan sendiri oleh Estu pun hanya memandang punggung sekertarisnya yang mulai berjalan menjauh dan keluar dari ruangannya. Rama bersyukur karena memiliki sekertaris seperti Estu. Wanita itu selalu memahami suasana hatinya. Sekertarisnya yang dulu tidak akan pernah mampu bertahan lama, hanya bekerja satu bulan agar mendapatkan gaji kemudian akan pamit mengundurkan diri. Kebanyakan mereka tidak tahan dengan sikap Rama yang arogan, menakutkan, dan dingin. Rama memandang tangan kanannya. Darah sudah bersih. Estu sudah selesai membersihkannya sebelum dia menghempaskan tangan sang sekertarisnya. Dia tadi mendengar suara benturan yang cukup kuat, benturan antara pinggir meja dan lengan Estu. Dia merasa bersalah karena ikut menimbulkan luka pada orang lain. Namun dia tidak peduli. Perasaan bersalahnya hanya lewat dalam hatinya sekian detik. Dia tidak tahu lagi harus mengeluarkan alasan apa lagi kepada ayahnya. Ayahnya yang dikatator. Ayah yang mengajarkan kepadanya cara bekerja kotor. Layaknya buah apel yang jatuh tidak jauh dari pohonnya, dia mengikuti semua saran dari ayahnya. Tidak peduli banyak pihak yang tersakiti. Meskipun sejujurnya dia juga terkadang sadar bahwa apa yang dia lakukan tidak benar. Namun, mau bagaimana lagi otoritas ayahnya memaksa dirinya menjadi seperti ini. Rama pun beranjak dari kursinya. Berjalan ke luar ruangan. Estu tidak terlihat di mejanya saat Rama melewati meja sang sekertaris. Apa pedulinya? Dia tetap berjalan ke arah lift dan menekan tombol lantai paling bawah. Dia ingin menenangkan pikirannya. Bersenang-senang ke bar di sore hari sepertinya tidak masalah. Dia ingin meringankan beban pikirannya dengan meneguk beberapa gelas alkohol. Estu yang baru saja kembali dari toilet hanya memandang kepergian Rama. Dia melihat ke arah pergelangan tangan kirinya, waktu sudah menunjukkan jam pulang kantor. Akhirnya dia memutuskan untuk membereskan mejanya. *** Rama sudah tiba di bar langganannya setelah mengendari mobilnya dengan kecepatan penuh. Di jam-jam pulang kantor seperti ini dia bodoh amat jika mendapatkan u*****n dari pengendara lain karena kecepatan yang dia pilih terlalu tinggi untuk mengendarai kendaraan. “Pesan seperti biasa,” ucap Rama setelah duduk di salah satu kursi di depan seorang pegawai bar yang sedang meracik minuman. Pria itu menoleh sekilas dan mengangguk paham. Rama adalah salah satu pelanggan yang sudah dia kenal dan dia hapal minuman apa yang selalu dia pesan. Tak ingin berlama-lama, pegawai bar segera membuatkan pesanan Rama sebelum Rama membuat onar karena dia yang terlalu lama mempersiapkan pesanannya. Pernah suatu ketika dia mendahulukan pesanan lain sesuai dengan urutan, tetapi Rama dengan beraninya marah-marah dan menghancurkan beberapa gelas yang sudah berisi minuman pada stool bar. Dia tidak ingin mendapatkan teguran dari bosnya dan mengganti rugi terhadap apa yang sebenarnya tidak dia lakukan maka dia harus mendahulukan si tuan arogan ini. Rama langsung meneguk minuman yang dia pesan dalam satu kali teguk. Rasa segar tapi cukup kuat membuat kerongkongannya merasa tidak puas. Dia ingin lagi dan lagi. Rama juga bukan tipe pria yang mudah mabuk meskipun sudah meminum bergelas-gelas alkohol. Namun kali ini sepertinya berbeda. Peristiwa hari ini yang tidak sesuai dugaan membuat kepalanya berpikir berat. Rama beruntung karena ayahnya tidak menerornya hari ini. Mungkin sedang menikmati uang yang ditransfer Rama weekend kemarin. Tentu hasil dari Rama melakukan kecurangan pada perusahaan lain. Rama sudah mabuk pada tegukan gelas kelima. Rama mulai meracau dan membuat keributan di bar. Sang bar tender yang tadi hanya menjadi pengamat segera melakukan tindakan sebelum kondisi bar semakin kacau dan hancur. Jika hal itu terjadi maka dia harus siap gajinya bulan ini dipotong lagi. Oh, jangan lagi. Sang bar tender segera menarik tubuh Rama yang cukup berat ke salah satu sofa yang disediakan di bar. Mencari ponsel Rama di saku jasnya. Menghubungi orang yang selalu siap datang saat Rama mabuk seperti ini. “Mbak, bos mbak seperti biasa mabuk di bar,” ucap sang bar tender dengan suara yang cukup lantang karena kondisi bar yang mulai ramai menjelang malam. Sang bar tender bersyukur karena dalam satu kali panggilan orang yang dihubunginya segera menerima panggilan darinya. Yah, meskipun menggunakan handphone Rama. Setelah memastikan orang yang dihubunginya akan segera menyusul ke bar dan membawa Rama pergi, bar tender tersebut segera kembali untuk melayani pelanggan lain. Dia masih tetap memantau Rama agar Rama tidak membuat kerusakan yang akan merugikannya. Sedangkan wanita yang tadi dihubungi oleh sang bar tender langsung berdecak kesal. Dia baru saja membeli makan malam di salah satu tenda makan di pinggir jalan untuk mengisi energinya yang cukup terkuras hari ini di kantor. Dia bahkan baru saja membuka bungkus nasi penyetan lauk ayam, belum sempat memasukkan suapan pertamanya dia sudah mendapatkan telepon dari bosnya. Dan ternyata bosnya membuat masalah lagi. Estu segera mengambil kardigan warna milo yang dia letakkan pada gantungan di belakang pintu. Tadi dia membeli makan dengan celana kain sehingga dia bisa segera menjemput bosnya sebelum sang bos membuat masalah dan kerusakan di bar. Dia mengenakan sandal selop warna biru pastel dan segera berjalan ke depan gang kontrakannya. Estu segera memberhentikan taksi yang sedang lewat. Taksi yang tidak membawa penumpang itu segera melaju bersama Estu menuju bar tempat biasa Rama menenangkan pikiran katanya. Jalanan Surabaya yang tidak terlalu padat membuat Estu sudah menginjakkan kakinya di bar dalam kurun waktu 20 menit. Dia bergegas menuju ke dalam bar. Mengabaikan kerumunan para pengunjung bar yang sedang menikmati musik di lantai khusus untuk pengunjung yang ingin melepaskan lelah dengan berjoget. Estu memanfaatkan kemampuan matanya untuk memindai di manakah posisi bosnya saat ini. Dan seperti biasanya, Rama sedang menundukkan kepalanya di salah satu sofa di sudut bar. Estu menerobos kerumunan manusia-manusia yang rela membuang-buang uangnya hanya untuk hal tidak berfaedah. Hampir saja dia tertabrak seorang pria yang terlihat sudah mabuk. “Ck.” Estu berdecak pelan. Hal yang paling tidak dia sukai ketika masuk bar adalah hal seperti ini. Estu langsung menarik bosnya. Berat badan bosnya yang tentu saja tidak ringan menyulitkan dia untuk menopang tubuh bosnya. Didukung dengan nasi yang belum sempat dia makan membuat energinya semakin kecil saja. Namun karena sudah terbiasa melakukan hal ini, otot-ototnya seakan mampu untuk mengangkat beban yang dimiliki oleh bosnya. Dengan perjuangan yang luar biasa, akhirnya Estu berhasil membawa Rama ke dalam mobilnya. Keringat bercucuran pada dahi Estu. Rasanya seperti melakukan olah raga alat berat saja. Estu mengambil kunci mobil Rama yang biasanya pria itu simpan di saku jasnya. Dan benar saja, kunci mobil itu dia ambil dan kemudian membuka pintu tengah untuk meletakkan Rama di sana. Dia tidak mau konsentrasinya terganggu jika Rama dia dudukkan di kursi penumpang. Pria itu akan meracau tidak jelas dan tubuhnya tidak akan bisa diam. Dari pada Estu terkena pukulan ataupun tendangan dari Rama yang tidak sadar, lebih baik dia segera membawa pria ini ke apartemennya. Estu menghembuskan napas besarnya. Dia sebenarnya lelah. Namun mau bagaimana lagi, dia selalu merasa peduli kepada Rama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN