Bagian 8

2040 Kata
Tika menghembuskan napasnya dengan lega. “Untung saja masalah dengan PT. Sugar Sweet dapat selesai dalam satu hari. Jika tidak, mati saja kita To,” gerutu Tika saat dia dan Anto sedang dalam perjalanan kembali ke Hotel Kejora setelah makan siang dengan CEO pabrik gula itu. CEO yang menurutnya dingin, di satu sisi dia merupakan pria yang tegas walau dia juga tampak seperti orang yang tidak tahu apa yang terjadi tadi, yah meskipun dia tampan. Tika menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mengetuk kepalanya pelan. Bisa-bisanya dia mengatakan pria menyebalkan itu tampan. “Iya, mbak,” jawab Anto dari kursi depan. Dia diminta Tika untuk duduk di depan, menemani sopir kantor dan Tika memilih duduk di kursi tengah. Rasanya tidak nyaman saja jika harus duduk di sebelah pria di mana masih ada pria lain juga, lebih baik dia duduk di kursi tengah sendiri saja. Awalnya Anto menghendaki untuk menemani Tika duduk di kursi tengah, tapi dengan tegas Tika menolak. Tika takut jika ada seorang pria yang duduk di sampingnya walaupun Tika cukup disegani di kantor. Jika dikaitkan dengan sikap penggoda dan pengganggu hubungan orang, Tika sangat berbeda jauh dalam kehidupan kesehariannya. Dia takut jika hanya berduaan dengan seorang pria apalagi di dalam ruangan yang sempit. Takut ada setan pengganggu sebagai orang ketiga, walaupun sebenarnya Tika sendiri yang suka menjadi setan atau orang ketiga di antara hubungan orang lain. Rumit memang. “Semoga saja pabrik gula itu tidak ingkar janji. Kita lihat saja nanti di hari Senin apakah mereka menyepakati perjanjian baru kita hari ini?” gumam Tika dengan geram. Anto dan sopir kantor yang duduk di kursi depan hanya memandang Tika sekilas. Mengangguk, menyetujui ucapan Tika. Mereka takut jika Tika tiba-tiba melampiaskan amarahnya, rasanya Tika akan berubah menjadi seperti seorang nenek lampir yang berbahaya. Dalam perjalanan menuju Hotel Kejora yang hanya dalam lima kilometer lagi akan sampai, nama Pak Yanuar muncul pada layar handphone Tika, pertanda beliau melakukan panggilan. Tika pun segera menerima panggilan dari kepala divisinya itu. “Ya, pak,” ucap Tika. “Kamu di mana? Saya dengar ada permasalahan dengan PT. Sugar Sweet? Dari tadi saya sudah menghubungi kamu tapi kamu abaikan,” tanya Pak Yanuar to the point dengan suara tajamnya yang beruntun panjang layaknya gerbong kereta api. Tika memikirkan siapa orang yang berani-beraninya melaporkan permasalahan ini. Dia memandang ke arah Anto dan Anto yang dipandang seperti itu menaikkan alisnya, bermaksud bertanya hal apa kepada Tika. Namun sepertinya bukan Anto yang melaporkan hal ini. Padahal Tika sudah berencana untuk tidak memberitahu Pak Yanuar, dia berharap Pak Yanuar tidak tahu. Dia hanya ingin Pak Yanuar sudah terima beres semua urusan, tanpa cela. “Iya, pak. Tapi saya dan Anto sudah menyelesaikannya. Sebentar lagi kami sampai hotel,” jawab Tika akhirnya. “Oke, saya tunggu!” Pak Yanuar mematikan sambungan telepon. Dia merasa lega tapi juga jengkel dalam waktu bersamaan. Bertanya-tanya siapa orang yang dengan beraninya melaporkan permasalahan yang sedang terjadi. Awas saja jika nanti dia tahu dalang di balik ini semua, dia akan menghancurkan orang itu saat itu juga. Tika dan Anto segera berjalan menuju ruangan mereka di lantai lima setelah sopir kantor memberhentikan mobil di pintu lobi. Pak Yanuar sudah menghubunginya berulang kali, layaknya seorang rentenir yang mencari nasabahnya untuk segera membayar cicilan. Tika dan Anto berharap di siang menuju sore ini tidak mendapatkan semprotan amarah dari Pak Yanuar layaknya air yang melaju lancar dari selang air. Mereka sudah lelah. Tidak ingin ditambahi beban dengan ocehan Pak Yanuar yang akan membuat diri semakin lelah. “Masuk,” ucap suara dari dalam ruangan Pak Yanuar. Tentu saja itu adalah suara Pak Yanuar sendiri setelah Tika mengetuk pintu kaca yang dibuat bening dan gelap secara berurutan. Tampak seperti garis pada badan zebra walau dengan warna yang berbeda. Tika pun berjalan masuk ke dalam ruangan Pak Yanuar diikuti oleh Anto di belakangnya. “Saya dengar ada masalah dengan PT. Sugar Sweet? Dan sesuai penjelasan kamu di telepon tadi katanya sudah beres. Bener kan itu?” tanya Pak Yanuar tajam. Tika dan Anto bahkan belum dipersilahkan untuk duduk. Kejam sekali. “Dasar kepala divisi menyebalkan,” desis Tika sangat pelan. Mirip seperti angin. Hanya dirinya sendiri yang dapat mendengar. Tika dan Anto saling bertukar tatap. Anto meminta ijin kepada Tika untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi. Tika hanya menambahkan di akhir penjelasan Anto dan memperkuat argumen yang disampaikan oleh Anto. Tika juga memberikan map yang berisi surat perjanjian kerja sama baru yang disertai dengan tanda tangan di atas materai sebagai janji bahwa PT. Sugar Sweet tidak akan membatalkan pengiriman produk dan Hotel Kejora tidak akan membatalkan pemesanan. Surat kerja sama sebelumnya juga menggunakan materai, tapi kali ini ada dua materai di mana satu materai untuk tiap-tiap pihak. Hal ini bertujuan untuk menghindari kejadian seperti tadi. Pak Yanuar mengangguk-anggukkan kepala. Dia tersenyum kecil, pertanda puas. Dia bahkan masih belum mempersilahkan Tika dan Anto untuk duduk. “Oke. Jangan sampai hal seperti ini terjadi lagi,” ujar Pak Yanuar dengan tegas dan memandang kedua pegawainya dengan tajam. Tika dan Anto mengiyakan. Setelahnya Tika dan Anto pamit undur diri. Tika ingin segera duduk di kursinya, kakinya sudah lelah berdiri di hadapan Pak Yanuar apalagi dia mengenakan high heels yang cukup menyiksa kakinya. “Dasar kepala divisi gak punya hati nurani,” rutuk Tika sebal setelah dia duduk di kursinya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa dia betah dan bertahan mempunyai seorang kepala divisi yang luar biasa menyebalkan itu. Namun tanpa beliau dia juga tidak bisa menjadi seperti ini. Mungkin dia akan tetap menjadi seorang staff seperti yang lain. Seharusnya dia bersyukur. Tika kembali berkutat pada beberapa pekerjaan yang harus segera dia periksa dan selesaikan. Banyak laporan menumpuk dan harus dengan cepat dia rampungkan sebelum laporan-laporan lain berdatangan yang membuat dirinya harus lembur. Tika sudah ingin sekali pulang ke kontrakannya. Namun sebuah ide tiba-tiba melintas dalam benaknya. Beli chocholate milk dari kedai tea break sepertinya bisa menurunkan kadar kelelahannya. Tika pun segera menyelesaikan semua pekerjaannya dengan semangat. Membayangkan segar dan manisnya salah satu menu dari tea break sudah membuat kelenjar ludahnya terproduksi lebih banyak. Namun angan hanyalah sekedar angan. Bayangan minuman warna cokelat itu sudah terpatri kuat dalam otaknya, tapi waktu seakan berjalan sangat lama. Dia mengamati angka pada pojok kanan bawah layar komputernya. Waktu masih menunjukkan pukul 16.24. Masih 36 menit lagi waktunya pulang. Pekerjaan Tika sudah terselesaikan semua. Dia membereskan berkas yang telah selesai dia kerjakan ke bagian pojok kubikelnya. Dia meregangkan tangannya, melunturkan kekakuan pada otot-ototnya. Dia mematikan PC di hadapannya. Mengambil handphone yang masih bertahan pada tas kerjanya. Melihat beberapa pesan yang masuk ke dalam aplikasi perpesanannya. “Mbak Tika ndak pulang?” tanya Anto yang baru saja masuk ke dalam ruangan divisi purchasing. Tika mendongak dari pandangan matanya yang tadi fokus berselancar pada akun instagramnya. Tika mengernyitkan alisnya, “Sudah jam pulang?” tanya Tika pada Anto. “Sudah, mbak. Ini saja saya tadi sudah mau pulang tapi charger handphone saya ketinggalan,” jelas Anto. Tika pun segera mengecek angka pada tengah atas layar handphone-nya. Ternyata benar. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.12. “Saya asyik main HP jadi gak tahu kalau sudah waktunya pulang,” ujar Tika. “Ya sudah saya duluan ya, To.” Berselancar pada akun i********: atau bermain sosial media membuat waktu berjalan lebih cepat. Seperti laju kereta eksekutif yang membawa penumpang dari satu kota ke kota lain antar provinsi. “Iya mbak, hati-hati.” Tika berjalan meninggalkan Anto yang berjalan berlawanan arah. Tika berjalan menuju ke pintu sedangkan Anto berjalan masuk lebih dalam ke kubikelnya. Tika masuk ke dalam mobilnya dan menyetir mobilnya menuju ke Tunjungan Plaza. Memarkirkan mobilnya pada area parkir mobil, kemudian berjalan masuk ke lift yang terdapat pada baseman. Tika berjalan seorang diri. Mengitari beberapa outlet dengan berbagai produk yang dijajakan. Dia masuk ke dalam salah satu outlet yang menjual berbagai perlengkapan kecantikan. Dia ingin membeli parfum yang dijual di outlet itu. Dia juga ingin membeli masker pengangkat komedo. Setelah memilih wangi parfum yang tidak terlalu berlebihan tetapi memberikan wangi yang kalem dan segar, dia segera berpindah pada rak yang terdapat masker pengangkat komedo. Dia memilih ukuran botol yang berukuran besar agar dia tidak perlu beli lagi dalam waktu dekat. Tika membayar semua pesanannya pada kasir. Keluar dari outlet produk kecantikan, Tika kembali berkeliling dan berjalan menuju ke outlet tea break. Harga tea break yang tidak semahal merk-merk lain tidak membuat Tika merasa gengsi. Dia menyukai menu makanan atau pun minuman apa pun asalkan cocok di lidahnya, enak. Dia memesan satu chocolate milk. Memilih membayar menggunakan uang elektronik karena mendapatkan penawaran diskon 20%. Tentu saja Tika tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selain membeli makanan atau minuman yang berdiskon, dia juga sering memanfaatkan diskon yang ditawarkan pada suatu produk. Dia sangat menyukai ketika barang yang dia inginkan menawarkan harga yang lebih rendah dari pada biasanya. Sepertinya tidak hanya Tika, wanita mana pun pasti tidak akan melewatkan diskon yang ditawarkan suatu produk. Hidup merantau dan jauh dari kedua orang tua selalu membuat Tika menjadi wanita yang hemat. Gajinya memang di atas UMR Kota Surabaya, tapi bukan berarti dia menghambur-hamburkan uangnya hanya demi memuaskan nafsu duniawinya. Dia merasa menabung lebih utama dari pada harus uang habis di awal bulan dan di akhir bulan dia merana. Jangan sampai seperti itu. Jika kehidupan saat perkuliahan dulu Tika memang sering seperti itu, apalagi uang saku yang diberikan orang tuanya terkadang tidak cukup hingga akhir bulan. Namun dia mampu melewati masa-masa itu. Dan saat ini dia sangat bersyukur. Tika kembali berjalan mengitari area Tunjungan Plaza. Menengok ke kanan dan ke kiri outlet yang buka. Tika memilih berdiri di samping besi yang mengitari tiap lantai gedung. Tidak terlalu dekat karena petugas keamanan pasti akan langsung menegurnya jika dia bersandar pada besi pembatas. Melihat pengunjung mall yang berjalan dan berkeliling di lantai bawah. Tika berniat melanjutkan perjalanannya mengelilingi mall dan memutuskan akan kembali ke kontrakan. Dia sudah lapar, makan siang yang terlambat tadi bersama pihak PT. Sugar Sweet membuat perutnya sudah meronta ingin diberikan asupan makanan lagi. Menikmati nasi goreng yang dijual di dekat kontrakannya sepertinya nikmat. Ah, keroncongan perutnya semakin menggila. Tika membalikkan tubuhnya. Namun tubuhnya hampir jatuh karena ada orang yang menabrak tubuhnya. Dari aroma parfum yang digunakan sepertinya orang tersebut adalah seorang pria. “Maaf, mbak. Tadi saya tidak lihat jalan. Maaf, mbak,” ucap pria itu yang berada di belakang tubuh Tika. Tika menoleh ke belakang. Dia seperti mengenali suara pria itu. Dan benar saja, dia tahu pria itu. “Makanya kalau jalan itu fokus. Saat jalan itu lihat ke depan, bukan lihat ke handphone,” semprot Tika. Perkembangan teknologi terkadang membuat orang jadi lebih fokus ke gadget dari pada ke sesama manusia. Pria itu pun menoleh ke arah Tika setelah menyimpan handphone-nya pada saku jas hitamnya. “Wanita ini lagi,” batin Dipta. “Maaf, mbak. Saya tidak sengaja,” ucap Dipta. Dia benar-benar tulus meminta maaf karena memang ini tadi ulahnya. Rasa dingin pada lengan Tika membuat Tika mengamati lengan kirinya. Dipta pun ikut menoleh ke arah pandangan Tika. Dipta semakin merasa bersalah karena membuat blazer abu-abu Tika harus ternoda dengan warna cokelat. Dipta tidak memiliki sapu tangan seperti pria-pria dalam romansa orang lain. Dia bukan pria seperti itu. “Lain kali kalau jalan di tempat ramai jangan fokus ke handphone! Kayak gak ada waktu buat lihat handphone nanti saja!” tegur Tika dengan ketus. Tika pun meninggalkan Dipta yang masih diam berdiri di tempat tadi dia ditabrak oleh Tika. “Sesibuk apasih seorang CEO sampai lihat handphone harus sambil berjalan!” dumal Tika sambil berjalan. Rasa lengket pada lengannya membuatnya Tika ingin segera sampai kontrakan dan mandi untuk membersihkan diri. Dia sudah tidak nyaman. Bisa saja dia membersihkan lengannya pada kamar mandi, tapi dia sudah ingin pulang. Tika bergegas menuju ke area parkir mobil. Meletakkan cup chocolate milk-nya pada bagian dalam pintu. Dia segera keluar dari area parkir mall. Jalanan Surabaya malam ini tidak terlalu ramai. Kendaraan melaju dengan lancar. “Ah, bisa segera sampai kontrakan dengan cepat,” gumam Tika sambil tersenyum senang. Melupakan kekesalannya pada Dipta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN