BAB 2

3697 Kata
Adrian memasuki mobilnya, pertemuan singkatnya dengan Viki merubah mood pahitnya. Adrian bahkan tersenyum saat memasuki mobilnya, mengabaikan panggilan-panggilan remaja-remaja wanita yang menggilainya. “Victoria masih sama seperti dulu.” katanya pelan. Adrian menarik napas dan menutup matanya, mencoba mereka ulang kejadian tadi, tubuh hangat Victoria yang menempel erat ditubuhnya. Wajahnya yang polos dan sangat cantik mengenakan kacamata bacanya. Victoria tumbuh menjadi gadis remaja yang menawan. Tubuhnya yang berisi di tempat tertentu dan tinggi di atas rata-rata dari remaja seusianya. Bibirnya yang merah dan matanya yang bulat membuat Adrian sudah merindukannya. WHAT? Adrian terbangun dari khayalannya. Rindu? Ini tidak mungkin. Apalagi jika Adrian kembali mengingat wajah mengesalkan Grace. Dilajukannya mobilnya menuju sekolahnya kembali. Waktu berputar sangat cepat setelah kejadian itu. Adrian pun tidak ingin melakukan sesuatu terhadap puteri kembar keluarga Vinc. Adrian menyadari, dia tidak bisa bermain-main dengan mereka. Ayahnya pasti akan sangat murka. Sementara prinsip Adrian adalah hanya sebatas teman ranjang. Mengingat wajah polos Viki, dia wanita yang tak pantas untuk itu. Adrian melanjutkan kuliahnya di MIT (Massachusetts Institute of Technology) University, jauh dari orangtuanya dan memiliki segala fasilitas membuatnya bebas melakukan apapun. Tentu saja dia tetap melakukan yang terbaik dalam proses perkuliahannya. Sedikit demi sedikit dia sudah menghandle bisnis penerbangan nasional dan internasional milik ayahnya dan beberapa bisnis properti milik ibunya. Diusia 21 tahun dia menyelesaikan bachelor-nya dan melanjutkan study S2 di universitas yang sama dan lulus di usia 23 tahun. Sejak saat itu Adrian membangun raksasa bisnis keluarganya dan memilih menetap di Amerika untuk memperluas rintisan bisnisnya. Di sisi lain Viki memilih melanjutkan perkuliahan di Harvard University di bidang arsitek. Viki bahkan mendapat gelar kehormatan dengan lulus sebagai mahasiswa terbaik di usia 16 tahun. Viki memilih kembali melanjutkan study S2 nya di MIT (Massachusetts Institute of Technology) University dan lulus di usia 18 tahun. Sementara saudari kembarnya Grace masih melanjutkan kuliah S1 di Columbia University dan sedang mengurus kelulusannya. Selama di Amerika, Grace dan Viki tinggal bersama dan sesekali orangtua mereka menjenguk dengan berkala. Grace memilih dunia modeling dan Viki membantu bisnis ayahnya di bidang properti yang kini semakin merambah dunia international. Design-design Viki membuatnya banyak mendapat tawaran dan kemampuannya dalam mengelola bisnis membuat ayah dan ibunya tak lagi kuatir. Hanya menunggu waktu hingga Aiden, adik bungsunya yang kini berusia 12 tahun untuk melanjutkan setengah dari bisnis keluarga. Satu tahun kemudian, Victoria mendapatkan undangan reuni dari kampusnya MIT. Grace yang sedang mendapat day off dari jadwal modelingnya memilih menghabiskan waktu menonton TV. Viki duduk di sampingnya berkutat dengan laptop. Grace membuka surat itu. “Kamu enggak mau join?” “Untuk?” tanya Viki, tatapannya masih menghadap laptop. “Reuni. One Invitation bisa buat dua orang.” “Oh ya?” Viki menjawab masih tidak tertarik. “Join yuk. Mana tahu aku bisa dapat mangsa di sana.” Grace menjilat bibirnya. Viki memukul pahanya keras. “Ouch!” “Ini yang bikin Papi Mami kuatir sama kamu. Enggak pernah bertahan sama satu pria, selalu gonta ganti.” “Yeah… I know… I know… tapi bukan aku yang menggoda mereka. Mereka yang datang kepadaku.” “Iya tetapi kamu tahukan mereka hanya iseng terhadapmu. Mereka enggak benar-benar serius.” Viki menceramahi kakaknya. “Toh memang aku enggak berniat untuk mencari yang serius. Stuck pada satu pria itu enggak menyenangkan.” Grace bersiul dan mendapat pukulan yang sama lagi dari Viki. “Oke… oke… stop. Sakit tahu.” Grace merubah mimiknya menjadi sedih dan memeluk Viki erat. “Setidaknya aku enggak perawan sampai sekarang dan mengenakan kacamata tebal.” Wajah Viki memerah dan menggelengkan kepala maklum akan sikap kakaknya itu. Sampe usia itu Viki belum pernah berpacaran. Baginya, dia hanya tidak tertarik. Pekerjaan adalah surga baginya. Belum saatnya. Cuaca dingin membangunkan Adrian dari tidurnya yang singkat. Adrian baru memasuki penthouse pukul 3 pagi setelah seks singkatnya di salah satu hotel berbintang 5 di area New York dengan salah satu model Vict*ria S*cret, Gennie. Jam 5 dia sudah bangun dan beranjak berolahraga. 30 menit dihabiskannya dalam gym, dia beranjak mengambil handuk dan melangkah masuk menuju kamar mandi. Guyuran air hangat membuat tubuhnya rileks seketika. Adrian keluar hanya mengenakan handuk yang melilit rendah di pinggulnya. Adrian melangkah menuju dapur dan meneguk satu botol air mineral hingga tandas. “Bro.” satu suara mengangetkannya. Adrian menoleh malas. “Aku nginep yah di sini sebentar malam.” “No.” jawab Adrian singkat. “Pleaseee…. Eifelin sedang memburuku sekarang.” “Heh… stupid decision! Lagian kenapa kamu harus menjalani hubungan pacaran itu.” ejek Adrian. “She is my fiancé actuall, Bro.” Lewis membuka kulkas dan mengambil air mineral. “That is why.” Adrian duduk sambil menyantap sandwhich di hadapannya, pukul 6 chef pribadinya sudah menyiapkan sarapan. “Aku enggak mau pulang ke Indo yah karena itu. Papi rewel soal jodoh. I am still young, right? Come on, 25 years.” Lewis duduk di hadapannya, “Itu memang bener. Kamu alergi terhadap segala bentuk ‘hubungan’. One night stand is enough for you. Kamu punya bentuk tubuh itu…” Lewis bersiul, “Semua wanita tergila-gila. Putera Hades. Tapi kasusnya berbeda dengan aku. Kamu tahu bokapku sudah enggak sesehat dulu dan satu-satunya cara membuat dia bahagia adalah dengan melihatku memiliki pasangan yang serius.” Adrian tertawa sinis, wanita dan pria mengangumi tubuhnya dan dia bangga untuk itu. Tidak ada satupun wanita yang berani menolaknya. Semua terpesona dengan kehadirannya. Tubuh yang bagus dan kekayaan yang dimilikinya membuat Adrian menjadi salah satu Bachelor yang di gilai saat ini. Dia bisa menunjuk apapun yang diinginkannya. Tentu saja mendengar penjelasan Lewis tidak akan membuat pandangannya berubah akan suatu hubungan. Ayahnya, Paul masih sehat dan meskipun jika ayahnya sedang sakit nantinya, dia tidak akan mengorbankannya perasaannya hanya untuk terkungkung dalam suatu ‘status’ dari apa yang dia sukai yaitu bertualang dengan banyak wanita. Adrian sudah mengenakan kemeja dan jas kantornya ketika dia menghubungi supirnya untuk menjemput. Handphonenya tak berhenti berdering dari bermacam-macam nomor yang tidak dikenal. Tetapi nomor ini dari tadi menghubunginya. “Hallo.” Ditekannya earphonenya. “Hey, Baby.” sapa suara girang di sana. “Siapa?” “Adele. Kamu lupa? Kita bertemu di party Met Gala.” “Oke.” Adrian hanya menjawab singkat sambil kembali membetulkan jasnya. Adrian tidak ingin repot-repot mengingat seluruh nama wanita yang akan dan sudah ditidurinya. Toh tidak akan ada yang berubah. Wanita-wanita ini yang mengejarnya bagaikan daging segar dan Adrian tidak akan egois untuk mempersilahkan mereka mencicipi tubuhnya walau hanya sekali. “Kamu lulusan MIT kan?” tanya Adele semangat. “Kenapa?” “Aku ingin mengajakmu.” “Entahlah.” Jawab Adrian cuek. “Aku harus pergi sekarang. Bye.” Belum sempat Adele menjawab, handphone itu sudah dimatikan. Adrian baru mengingat jika dia memiliki undangan reuni itu. Adrian ingin pergi sendirian, setidaknya dia akan mendapat banyak mangsa di sana. Sehingga dia tidak hanya stuck pada satu wanita malam itu jika dia harus membawa pasangan. Adrian memasuki mobilnya dengan cepat dan melaju menuju kantornya. Di dalam kantornya Adrian sudah di sibukkan oleh pekerjaannya. Lewis memasuki ruangan dengan terburu-buru. “Makan siang di mana?” Adrian masih terpaku pada papers di hadapannya dan melirik jam, tak terasa sudah menunjukkan pukul 12. Waktu berlalu sangat cepat jika dia sedang bekerja dengan fokus. Adrian adalah tipikal workaholic. “Aku sibuk sekarang.” “Order food yah.” Lewis meraih intercom dan menghubungi sekretaris Lewis untuk membawakan makan siang bagi mereka. Lewis bekerja sebagai salah satu direktur perusahaan Adrian dan dibanding semua sepupunya, Lewislah yang mampu bertahan dengan sikap mengesalkannya. Mereka menikmati makan siang ketika Lewis membuka topik percakapan. “MIT akan mengadakan reuni besar.” Adrian mendengarkan sambil menyantap makanannya. “Papimu yang membiayainya.” “WHAT?” Adrian menatap tak percaya. “Kenapa Papi enggak bilang?” Adrian segera meminum air mineralnya dengan cepat sebelum dia tersedak makanan yang dikunyahnya. “Aku pikir kamu tahu.” “Sh*t! Pria tua itu.” dengus Adrian jengkel. “Apa lagi yang direncanakannya kali ini.” “Aku sudah bilang sebelumnya bukan…. Usiamu sudah 25 tahun dan belum ada tanda-tanda kamu akan serius.” Terang lewis. Adrian menyisir rambutnya frustasi, “Papi selalu seperti itu. Semenjak dulu karena Mami tidak ingin memiliki anak lagi, sekarang akulah yang selalu menjadi sasaran kebosanannya.” “Om Paul memang seperti itu.” cengir Lewis. “Ambil sisi positive-nya, Bro. Mereka sayang kamu.” Satu minggu kemudian, Grace bersiap mengikuti reuni MIT. Meski dia bukan lulusan dari sana tetapi Viki memiliki tiketnya. Grace juga mendengar bahwa reuni ini di sponsori oleh ayah Adrian. Grace beberapa kali bertemu dengan Adrian di pergelaran fashion show VS dikarenakan hampir sebagian wanita-wanita Adrian adalah koleganya. Namun mereka masih sama seperti dulu, tidak pernah akur. “Come on Viki, are you ready?” Grace berteriak dari ruang tamu. Grace mengenakan dress satin rancangan C*shnie. Viki menuruni tangga dengan rok spannya layak pekerja kantoran. Wajah Grace syok seketika. “ARE YOU CRAZY???” Teriak Grace tanpa sadar. “Apa–apaan ini! Kita mau ke party sayang, bukan ke pemakaman.” Kesal Grace dan menarik Viki kembali ke kamar. “Tapi pakaian ini nyaman.” Kilah Viki memperbaiki kacamatanya. “Reuni ini mengundang seluruh bachelor-bachelor HOT seluruh dunia, My Twin Sisterrrrr. Change your life! Nikmati hidup walau sedikit. Usia kita sudah 19 tahun. Tidak ada yang salah jika kamu merubah penampilan.” Ceramah Grace. Viki sudah akan protes. “Papi Adrian yang menyelenggarakan reuni ini.” Tambah Grace. Mendengar nama Adrian, hati Viki menjadi hangat. Sudah 8 tahun mereka tidak pernah bertemu namun dia masih menyimpan rasa itu. Ada sedikit keberanian untuk berpenampilan cantik demi Adrian. Selama ini Viki banyak melihat sepak terjang Adrian dengan berbagai macam wanita setiap harinya, namun fakta itu tidak menyurutkan rasa kagumnya. Viki melihat pantulannya di cermin kamar mereka. Kacamata tebal, rambut dikuncir, no make up, baju kemeja yang terlihat kebesaran, rok span yang melewati lutut dan sepatu pentofel. Memang harus diakui dia terlihat seperti neneknya waktu jaman penjajahan. Viki menghela napas sedih, Grace memperhatikannya. “Kamu benar.” Lirih Viki. “Aku pikir ini reuni dan kita harus berpenampilan sopan.” Grace memeluknya, “I love you, Sister.  Aku di sini untuk membantumu. Untuk apa kamu memiliki saudara yang adalah super model terkenal?” Grace berpose lucu membuat Viki tersenyum. “Thanks.” Viki tersipu. “Oke. Kita tak punya banyak waktu. Yuk!” Grace mulai membongkar seluruh kamar gantinya dan menjatuhkan pilihan ke dress rancangan Ros*rio. Grace mengurai rambut gelombang cokelat milik Viki. Berbeda dengan Grace, Viki memiliki rambut cokelat alami. Grace mulai melepaskan kacamata Viki dan menggantinya dengan kontak lensa. Grace mengaplikasikan make up tipis karena pada dasarnya wajah Viki sudah terlihat sangat sensual dan cantik. Grace mengambil heels dari Y*L untuk digunakan Viki. Sejak dahulu Viki sudah terbiasa menggunakan heels saat dia bekerja jadi bukan masalah besar. “Look.” Grace menuntun Viki melihat dirinya di cermin. Viki membuka matanya secara perlahan dan terkejut melihat pantulannya. Tanpa sadar dia menutup mulutnya yang mengaga takjub. Di sana berdiri wanita yang berbeda 180 derajat dari dirinya yang sebelumnya. Terlihat sangat sensual dan berkelas. “I… a…” Viki tak mampu berkata. “Kamu tahu selama ini kamu menyianyiakan tubuh ini?” Grace terharu melihat pantulan adiknya di sana. “Kamu sangat cantik Victoria. Aku masih mengingat mereka sering menghina dirimu karena kamu mengenakan kacamata tebal padahal sosokmu yang sebenarnya hanya tertidur. Lihat wanita ini, begitu cantik dan sangat berkelas.” Grace berkaca-kaca. Tanpa sadar mereka berdua menangis dan saling berpelukan. “Thanks, Grace.” “Ssshhhh.” Grace tertawa di sela tangisnya. “Make up kita bisa hancur.” Viki pun ikut tertawa. Mereka segera menghapus air mata dan kembali memperbaiki make up. Mereka berjalan beriringan menuju Ferr*ri dan Lamb*rgini yang sudah terparkir di pintu mansion mereka. Viki berjalan menuju Lamb*rgini dan Grace menuju Ferr*rinya. “Nona…” pengawal mereka berdiri di hadapan mereka dengan wajah panik. “No problem. Kalian bisa beristirahat hari ini.” Kata Viki ramah. “Tapi… Tuan…” “Shhhhh….” Grace berdiri di hadapan 8 pengawalnya dan Viki, “Tuan kalian bilang kalian bisa beristirahat, oke?” Grace tersenyum manis. “Baiklah, tetapi hubungi kami segera jika terjadi sesuatu.” Grace mengangguk dan memasuki mobilnya. “Lets start the party!!!” teriak Grace girang dan menyalakan mobilnya. Di pentahouse, Adrian baru saja sampai dan melepaskan dasinya ketika telepon dari ayahnya tercetak di layar handphonenya. “Ya, Pi?” jawabnya lelah. “Kamu harus datang yah.” suara Paul mendominasi. “Pi….” Adrian sudah akan protes. “NO! Papi sudah menyediakan pesta itu untukmu.” “Ngapain sih, Pi?” “Kamu sudah 25 dan Papi Mami sudah enggak muda lagi.” “Oh come on, Pi.” Adrian lelah atas topik ini. “Papi serius. Lulusan-lulusan terbaik MIT akan berada di sana. Carilah yang berdedikasi. Papi kasih kamu waktu satu tahun ini atau Papi yang akan mencarikannya untukmu.” Adrian sudah akan protes tetapi Lewis menepuk punggungnya menenangkan. “Oke.” balasnya lirih. “Good. Papi tunggu kabar baiknya.” Jawab Paul girang dan menutup hubungan telepon mereka. Adrian berjalan menuju kamarnya dengan mood pahit, Lewis hanya mengeleng-geleng maklum. Sepupunya sedang dalam mood yang buruk, lebih baik menjaga jarak. Selesai bersiap, Adrian melarikan mobilnya menuju hall yang di tentukan untuk reuni MIT. Jam menunjukkan pukul 10 malam dan tamu mulai semakin ramai. Melihat mobil Adrian memasuki parkir, 4 pengawal pribadinya mendampinginya. “Berjaga di luar dan tetap waspada.” Instruksi Adrian dengan wajah masam, dia benar-benar butuh pelampiasan malam ini. Adrian segera menuju ruang VVIP dan matanya lapar menjelajah seluruh ruangan. Gennie membawakannya vodka yang segera di ambilnya tanpa melihat wajah Gennie. “Hey, Baby… malam ini yah.” Gennie mengelus paha Adrian lembut dan menggoda. Adrian tidak terpengaruh, dia butuh seseorang yang baru, sejujurnya dia mulai bosan dengan tingkah Gennie. Mereka hanya pernah tidur sekali dan Gennie merasa dia spesial dan mulai bersikap lebih. Mata laparnya masih mencari mangsa. Music keras tidak membuyarkan konsentrasinya. 30 menit mencari, Adrian mulai frustasi. Hampir seluruh wanita dalam ruangan itu sudah pernah ditidurinya. Mereka adalah model-model dan bussines woman yang hampir selalu menghiasi majalah. Adrian bangkit dan mengangguk kesalah satu sekuritinya untuk menarik paksa Gennie keluar dari ruangannya, dia butuh ketenangan. Adrian kembali mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan. Diteguknya vodka ditangannya hingga tetes terakhir. Cairan keras itu mengalir ditenggorokannya dengan cepat membuat Adrian mengeryit karena rasa dan aromanya yang kuat. Adrian masih menunggu. Dari ruang VVIP itu, tamu yang hadir tidak akan melihatnya namun hanya Adrianlah yang melihat mereka. Ini adalah kaca satu sisi. 20 menit berlalu mendekati jam 11, matanya terpaku pada satu wanita. Wanita itu baru saja masuk dan kelihatan kikuk. Adrian tersenyum, wanita itu terlihat sangat cantik dari atas ruangannya tetapi bagaimana sosoknya jika dari dekat? Adrian memperbaiki jasnya dan menuju tempat wanita itu berada. Wanita-wanita disepanjang jalannya berusaha membuatnya stop tetapi dengan kasar di tepisnya kuat. Adrian tidak ingin kehilangan wanita yang baru dilihatnya itu, dia baru melihatnya sekarang. Adrian menoleh kiri dan kanan berusaha mendapati sosok yang membuatnya penasaran. Wanita itu cukup mencolok dengan rambut cokelat gelombang yang indah, tubuhnya pun memiliki tinggi di atas rata-rata, apa dia seorang model? Tetapi aku belum pernah melihatnya. Model baru? Saat Adrian terus mencari, akhirnya dia menemukan sosok itu duduk di sudut ruangan yang hingar bingar. Adrian tersenyum tipis dan dengan percaya diri melangkah menuju gadis itu dengan 2 gelas champagne di kedua tangannya. “Hey.” Sapa Adrian ketika dia sudah berdiri beberapa jarak dari wanita itu. wanita itu berbalik. Mata mereka bertemu, ada percikan yang timbul sesaat namun Adrian tidak mengubrisnya. Senyum kemenangan tercetak diwajahnya saat melihat wanita itu dari dekat. Dia benar-benar cantik dengan rambut yang indah mengurai, kulitnya sensual, bibirnya tebal dan merah, dia hanya mengenakan make up tipis. Hidung yang mancung. Terlebih dress yang digunakannya tidak mampu menyembunyikan dadanya yang ranum. Bokongnya yang besar dan pinggangnya yang kecil. Lebih dari pada itu, Adrian menemukan kedamaian hanya menatap matanya yang indah. Adrian terpaku dan wanita itu sekilas juga terpaku akan kehadiran Adrian. “Adrian.” Adrian mengulurkan tangannya, dengan ragu wanita itu menjabat tangan Adrian. Aliran listrik kembali dirasakan mereka berdua, Adrian bisa merasakan begitu lembut kulitnya. Sekarang juniornya berteriak ingin dilepaskan. Ini pertama kalinya, saat menjabat tangan saja sudah membuat senjata kecilnya perlahan bereaksi. “Uhm…” wanita itu berusaha berbicara di tengah hingar bingar. “Vic… oria…” “Apa?” Adrian mendekatkan tubuhnya. Suara wanita itu timbul tenggelam. “Victoria.” Kata Viki ditelinga Adrian. “Nama yang indah. Di sini sangat berisik, apa kamu ingin ke atas?” Adrian mempersilahkan Viki setelah menyerahkan champagne ditangannya. Viki jalan di depan dan dengan gentle Adrian mengikutinya. Bahkan aroma tubuh Viki membuat Adrian mabuk kepayang, dia benar-benar menyukai gadis ini. Sementara sambil berjalan, Viki berusaha mencari sosok Grace namun tidak menemukannya. Semenjak di parkiran mereka sudah terpisah. Grace menemui pria yang ingin berbicara empat mata dengannya. Viki memasuki ruangan VVIP itu, ruangan yang mewah bahkan suara musik pun tidak terdengar. Viki berdiri di tengah ruangan terpaku sementara Adrian membisikkan sesuatu ditelinga bodyguard-nya untuk pergi. “Silahkan.” Suara baritone Adrian mengangetkannya. “Thanks.” Viki duduk dengan kaku. Dipelajarinya wajah Adrian, sepertinya Adrian tidak mengenalnya. Adrian duduk di sebelahnya, “So… Victoria…” panggil Adrian, Viki terpaku… namanya masih saja semanis dulu saat bibir Adrian mengucapkannya. “Apa kamu kemari sendirian?” “Ehm… No…” Viki tak yakin apa dia harus menyebut nama Grace. “Aku bersama saudariku.” “Well… you look so beautiful, do you know me?” tanya Adrian sambil meminum champagnenya. “Sorry… I don’t.” Viki terpaksa berbohong, dia takut jika dia menyebut identitas aslinya, Adrian akan membencinya karena berlagak tidak mengenalnya. “Kamu baru di kota ini?” “Not really.” Adrian mengangguk dan kemudian mulai mendekatkan tubuhnya kearah tubuh Viki. Awalnya Viki sangat gugup tetapi tatapan lembut Adrian menuntunnya. Tangan besar Adrian memeluk pinggangnya yang kecil. Adrian meleguh saat tangannya menyentuh tubuh Viki yang hangat. Wanita ini benar-benar pas dalam pelukannya. “So tell me… Apa yang kamu lakukan sehari-hari?” Viki menarik napas panjang untuk merilekskan tubuhnya, kamu bisa Vik… bisik Viki dalam hatinya. “Aku seorang arsitek.” “Oh wow… Nice job.” “Thanks.” Viki meminum champagne dengan pelan, sejujurnya dia sangat lemah terhadap alkohol. Mata lapar Adrian terus memperhatikan wajah dan tubuh Viki. Adrian senang setengah mati, wanita ini benar-benar tipenya. Jika harus memaksa, dia akan memaksa wanita ini untuk tinggal malam ini dengannya. Sementara Viki masih terlihat tidak nyaman. “Are you okay?” tanya Adrian sambil menuangkan champagne yang lain ke gelas Viki, awalnya Viki ingin menolak tetapi senyum Adrian mengalihkannya. Wajahnya sudah mulai menghangat, Viki merasa dia mulai sedikit mabuk. Adrian semakin mendekatkan tubuhnya, alunan musik pelan membuat keduanya rileks. Tangan kiri Adrian kini berada di paha Viki dan mengelusnya naik turun. “Ya, aku baik-baik saja.” Viki masih menarik napas pelan-pelan, dia tak ingin mengecewakan Adrian bahwa dia tidak nyaman. “I like you.” Suara baritone dan seksi Adrian mengatakan itu dengan pelan. Viki menoleh kaget, “WHAT? WHY?” dia tidak sadar jika suaranya meninggi. Adrian tersenyum lucu. “Emang orang suka butuh alasan?” tatapan Adrian membuat Viki merasa di telanjangi. Senyum manis masih tercetak di wajah Adrian. “I mean… kamu selalu berganti-ganti…” “Wanita maksudmu?” Adrian memotong, “Sebelumnya kamu bilang tidak mengenalku.” Adrian semakin tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya pada wanita polos di depannya ini. “Ehm… Well…” Viki kikuk karena tertangkap berbohong. “Sorry.” Adrian mengangkat tangannya, jarinya yang besar dan hangat mengusap lembut pipi Viki. “Enggak perlu minta maaf.” Wajah mereka sangat dekat, Viki bisa mencium aroma napas mint bercampur alkohol milik Adrian yang kini memabukkannya. Tanpa dia sadari bibir Adrian sudah menempel di bibirnya. Merasakan bibir lembut itu, sisi lain dari diri Adrian muncul. Dia belum pernah merasakan posesif seumur hidupnya. Tangannya mempertahankan belakang leher Viki untuk tetap dekat dengan wajahnya sementara tangan kanannya memeluk tubuh Viki semakin erat. Erangan berat keluar dari mulut Adrian. Ini pertama kalinya dia sangat menikmati berciuman dengan seorang wanita. Lidahnya sudah menyusup di dalam mulut Viki, meski awalnya dia menyadari tubuh Viki berusaha berontak. Adrian tidak ingin menyerah. Dia sangat membutuhkan wanita ini sekarang juga. Melepaskan seluruh penatnya seharian. “No… Noo...” Viki berusaha mendorong. Bibir mereka terlepas menyisahkan ruang yang panas. Kedua napas mereka memburu. Wajah Viki memerah, “I…” Viki menyentuh bibirnya. Adrian tidak peduli dan kembali mengulum bibir Viki, kali ini Viki memilih menyerah dan mengikuti alur Adrian. Adrian tersenyum di sela ciumannya. Miliknya sudah semakin mengeras di balik celananya yang ketat. Diraihnya tubuh Viki berdiri dan dengan segera Viki melingkarkan kakinya kepinggang Adrian. Adrian membopong Viki ke kamar private-nya di aula itu. Dengan kaki kirinya di tutupnya pintu. Ciuman mereka masih mengunci satu sama lain, justru pengaruh alkohol membuat Viki hilang kendali. Adrian membaringkan tubuh Viki di tempat tidur, menyadari itu Viki terkaget dan melepaskan ciumannya. Viki berusaha mendorong tubuh Adrian. “Hey… hey… it is okay baby.” Adrian berusaha menenangkan Viki. “Kenapa kita di sini?” wajah Viki panik. “Because I want you. Aku menginginkan kamu.” Viki menatap Adrian tak percaya, Adrian menginginkannya. Setelah sekian lama. Dia tidak akan menyia-nyiakan itu bahkan jika dia harus menyerahkan sesuatu yang sangat berharga baginya. “Aku belum…” Adrian mengeryitkan kening bingung, “Maksudnya?” “Aku belum pernah melakukan ini.” “Kamu masih virgin?” Adrian terkaget, “Tapi kamu sangat cantik. Pria-pria pasti sangat tergila-gila padamu.” Viki kembali tersipu akan pujian itu. “Aku berjanji aku akan menjadi gentleman.” Adrian mengecup leher jenjang Viki membuat Viki mengeluh nikmat. “Oh god… aku pasti akan tergila-gila terhadapmu.” Tanpa sadar Adrian mengatakan kata-kata yang terlarang untuknya. Namun begitu menyadari kesalahan itu, birahi sudah menguasai pikirannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN