Model Dadakan

1446 Kata
Hingar – bingar musik berpadu dengan suara obrolan setiap orang yang berada dalam satu gedung megah yang sudah didesain dengan apik tanpa cela, warna putih berpasangan dengan hitam memenuhi gedung tersebut. Wajah – wajah para petinggi perusahaan yang telah diundang tampak begitu berkarisma memenuhi area aula, menunggu acara yang segera akan dimulai. Disisi lain, di belakang panggung runway Gladis yang tengah dirundung frustasi sambil menatap catatan penulisan list line up baju yang akan di tampilkan. Dia yakin sekali jika ada 68 baju untuk di tampilkan, tapi masih ada sisa baju yang belum di ambil oleh para model yang sudah ditunjuk. “Dis? Kok masih disini?” Ini suara Yosi yang bertugas di belakang panggung. “Ada yang salah deh, Yos, gue salah ngitung line up baju yang bakal tampil.” Gladis terduduk pada kursi,sebelah tangannya memijat kening tanda akan kefrustasian. “Kok bisa?” “Gak tau deh, cancel aja gaun terakhir yang belum di ambil.” Tak ada pilihan lain selain membatalkan penampilan gaun berwarna soft brown sugar dengan model simple nan elegan yang telah Gladis dan para desainer rancang jauh – jauh hari. Sayang sekali padahal Gladis penasaran bagaimana reaksi para penonton untuk gaun tersebut. Mungkin modelnya sangat simple makanya para model tidak ada yang mau memilih gaun tersebut. Padahal jika dilihat lagi, gaun itu termasuk gaun dengan harga tinggi. “Gak bisa, CEO udah liat gaun ini. Kalo di cancel pasti dia marah.” Dante yang mendengar ucapan Gladis ikut menjawab. Bener kata Dante, para petinggi perusahaan sudah memeriksa line up baju yang akan tampil sebelum menyetujui diadakannya event ini. Mereka akan marah besar jika ada satu saja line up baju yang tidak ditampilkan. Tapi sudah tidak ada model yang bisa menampilkan gaun tersebut, lagi pun jika mencari model dadakan sekarang waktunya sudah tidak memungkinkan. “Terus mau siapa yang jadi model? Semua udah pegang dua line up baju.” “Lo aja.” “Gila lo? Gue lagi hamil codet.” “Gak apa-apa, lo hamil juga masih keliatan kayak ABG.” Ingin rasanya memukul kepala Dante, disaat hal genting seperti ini bisa – bisanya memberi saran yang tak mungkin dilakukan Gladis. Lagian Artha sedang menunggu di jajaran para penonton, Gladis harus kembali ke sana dan menemani, bukannya malah berlengak – lengok di atas catwalk. “Cuma lo yang bisa, Dis, cewek paling tinggi di sini cuma lo. Yang masuk ke standar model cuma elo doang.” Dante mulai menatap serius Gladis. “Bener, cuma lo doang!” Yosi menimpali. “Gak mau.” “Yaudah, nanti kalo CEO marah bukan salah gue. Gak mau ikut-ikutan gue mah.” “Ih kok gitu sih??” “Ya gue udah kasih saran ege!” “Terus gimana?” “Ya lo cepet ke meja rias, ambil gaunnya terus jalan!” Yosi berujar sambil memperagakan jalannya para model di atas runway. “Nanti Artha–“ “Gue yang kasih tau, udah sana.” Dante mendorong pelan tubuh Gladi memasuki ruang rias, dilihat semua model sudah bersiap dengan gaun pertama yang akan mereka peragakan. Acara akan mulai 10 menit lagi, Gladis masih mempunyai waktu tiga puluh menit untuk satu gaun yang akan ia pakai. Dante mendudukkan Gladis di kursi rias, lalu memangil seorang perias untuk mendadani wajah temannya ini. “Yang cantik ya, Mbak,” pesan Dante pada sang perias sebelum ia berpamitan pada Gladis guna memulai acara. “Kasih tau Artha gue gak bisa nemenin!” seru Gladis terakhir kalinya sebelum mulai didandani. “Iya bawel.” >> Gladis terus mengatur nafasnya sambil menunggu giliran untuk berjalan keluar di atas catwalk. Beruntung dirinya bertemu dengan Helena yang membantu memberi arahan cara berjalan di runway malam ini. Dirinya hanya perlu berjalan natural tanpa kecanggungan, tetap percaya diri dan selalu menegakkan badan serta kepalanya lurus menghadap depan. Gladis juga harus fokus pada setiap kamera yang menyoroti. Dia ada di jajaran terakhir, tepatnya nomor lima dari belakang. Helena berada di dua paling belakang, jadilah Gladis merasa aman melihat ada temannya. Model gaunnya sangat memudahkan pergerakan, juga tak begitu memperlihatkan kehamilan Gladis. Yang membuatnya khawatir adalah perpotongan punggung yang sangat rendah, hanya ada sedikit tali yang menutupi punggungnya beruntung dia memiliki rambut panjang sebagai penutup sebagian kecil saja. Gladis bukan model asli, memperlihatkan punggung jenjangnya baru ia lakukan hari ini, mengingat jika dia jarang memakai baju terbuka. Jajaran model yang mengantri di depannya mulai berkurang, Gladis terus saja merapatkan doa dalam hatinya. Hingga gilirannya untuk berjalan, sempat sedikit canggung saat keluar dari pembatas ruway dengan belakang panggung Gladis segera dapat menguasai dirinya. Langkahnya ia buat sangat santai seperti berjalan biasa, membayangkan tidak ada seorangpun yang melihatnya agar dirinya tetap rileks. Berhasil, Gladis berjalan begitu elegan melewati tiap centi runway. Matanya menangkap eksistensi Artha yang memandangnya takjub, sedikit senyum ia sunggingkan untuk suaminya. Namun beberapa detik kemudian wajah Artha berubah menjadi kelam setelah melihat bagian belakang gaun Gladis. Heii! Namun, melihat itu Gladis hanya bisa abai, dia harus segera menyelesaikan tugasnya dengan tuntas dan profesional. Walaupun ia bisa melihat gerakan bibir Artha yang memberi isyarat pada dirinya. Jangan senyum! Gladis malah tambah tersenyum, kali ini sedikit mengerjai Artha. Dan berhasilnya Gladis ditandai dengan kembalinya ia ke belakang panggung, disana sudah ada Dante yang menunggu. “Lo gak bilang Artha ya?!” todong Gladis langsung meraih bahu Dante. “Gue sibuk! Gak sempet.” “Lo mah ih!” “Udahlah yang penting sekarang dia udah tau. Sana, lo harus ikut buat penutupan.” Dante benar, setelah ini semua model keluar untuk menyambut sang desainer utama yang merupakan supervisor dari bagian desain. Gladis menurut, kembali dirinya mengantri untuk berjalan keluar di atas runway dan memperagakan kembali lengak – lengoknya persis saat awal dia keluar. Matanya tak lepas untuk melirik Artha yang sudah tidak berselera, Gladis harus menyiapkan dirinya untuk kemarahan sang suami. Maka acara hari ini sukses besar, pata penanam saham puas juga peminat petinggi untuk menanam saham pada perusahaan juga semakin banyak. Gladis bangga sekali rasanya, dirinya yang ikut berkontribusi juga merasakan bagaimana bahagianya jika suatu acara sukses besar. Semua model gaun terbaru keluaran perusahaan sold out dalam waktu singkat, apalagi gaun yang ia bawakan habis paling awal. Hanya saja ada sedikit kendala setelahnya, kemarahan Artha yang menyeret mereka ke dalam masalah. >> “Gak usah ngambek lagi kenapa?” “Lo gak bilang yaa, curang!” “Yang ini kan urgent banget, Tha.” “Tetep aja lo gak bilang.” “Gue udah minta Dante buat bilang.” “Dia gak ada bilang ke gue." “Ya mungkin dia sibuk.” “Harusnya elo yang bilang, bukan Dante!” “Ya mana sempet? Gue harus dandan dulu.” “Mana pake acara pamer punggung lagi!” “Udah model bajunya gitu.” “Kan elo yang bikin, gimana si?!” “Yang nge-finalin supervisor nya!” “Tetep aja!!” “Dih? Ngambek aja terus kayak cewek!” “Gue kesel yaaa!!!" “Iyain." Gladis dan Artha berada dalam kamar hotel saat beradu mulut. Malam sudah larut, namun kedua insan itu masih saja bercek – cok akan masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan secara baik – baik. Iya baik – baik untuk Gladis bukan untuk Artha, Gladis sedari awal berusaha membuat masalah ini tak begitu serius. Namun Artha selalu saja memberi jalan supaya ini semakin runyam. Lihat saja lelaki itu tidak mau ikut berbaring diatas ranjang dan memilih tetap duduk membelakangi Gladis di atas sofm. Ngambeknya lucu plus ngeselin. Gladis memilih bersikap abai dan mulai memposisikan badannya untuk tidur, membiarkan Artha dirundung rasa kesal tak jelas. Artha yang melihatnya segera turun dari sofa, langkahnya ia bawa menghampiri Gladis sambil menghentakkan kakinya kasar. Setelah sampai di depan wajah Gladis, Artha berjongkok mensejajarkan dirinya pada Gladis yang masih bangun menatap setiap gerak geriknya. “Gue kesel ya, Dis!” “Iya tau.” “Terus lo gak ada usaha buat bikin gue baikan?!” “Udah tadi.” “Kurang!!” “Udahlah, Tha, ayo bobo yuk! Perut gue gak enak abis pake baju ketat.” Mendengar itu Artha langsung bangkit dan membuka selimut yang menutupi tubuh Gladis. Tangannya menyentuh perut Gladis perlahan, wajahnya kentara sekali jika khawatir. “Kan??? Gini jadinya, gak usah deh ikut begituan lagi.” “Itu tadi kepaksa tau!” “Gue sebenernya gak masalah lo mau jadi model, tapi bajunya–“ “Itu tadi baju sisa, soalnya modelnya kurang gue jadi tumbal.” Gladis langsung memotong ucapan Artha, seriusan perutnya sedikit tak nyaman dan butuh segera untuk tidur. “Yaudah deh bobo gih, gue elusin perutnya sampe lo tidur.” Gladis hanya mengangguk, berusaha memejamkan matanya berlayar ke pulau kapuk ditemani elusan pada perutnya. Hingga Gladis jatuh dalam tidur masih terasa elusan pada perutnya, dan berhenti saat Gladis sudah pulas. >>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN