0.1 Kesempatan

1326 Kata
Eomma seorang yatim piatu, maka aku hanya memiliki grandma dan grandpa yang merupakan orang tua dari daddy. Aku merupakan cucu satu-satunya dan begitu diharapkan kehadirannya, karena kedua orang tuaku sama-sama seorang anak tunggal, sehingga aku juga memiliki hubungan yang cukup dekat dengan grandma dan grandpa. Mereka cukup sering berkunjung ke Korea hanya untuk bertemu denganku, terhitung mereka dua kali mengunjungi Korea setiap tahunnya. Berita perundunganku pada akhirnya sampai juga di telinga mereka. Aku menyesali keputusanku dahulu yang bercerita pada grandpa karena dibenci teman-temanku dan mendapatkan aksi perundungan dari mereka yang membuat grandma dan grandpa marah besar. Aku yang kala itu tidak bisa menaha rasa sesih dan kesalku karena apa yang sudah teman-temanku lakukan memilih untuk menceritakan semuanya pada grandma, aku bahka menangis jika menginhat temanku yang membenciku. Dan ketika aku telah dewasa, aku baru menyadari jika keputusanku saat itu untuk bercerita pada grandma adalah jalan takdirku sehingga aku berakhir tumbuh dewasa di Michigan. Aku ingat sekali eomma sampai menangis karena melihat grandpa yang sangat marah saat itu. Aku yang masih sangat kecil, hanya bisa menangis sembari bersembunyi di balik pintu kamarku. Mereka mengira aku tegah tidur siang, padahal aku terbangun setelah mendengar perdebatan mereka yang sangat kencang. Aku yang saat itu belum memahami apa yang dipikirkan dan diperdebatkan oleh para orang tua itu, hanya bisa menangis karena aku merasa takut dan sakit ketika melihat eomma menangis. Itu juga menjadi pertama kalinya aku melihat sosok grandpa yang begitu menakutkan ketika sedang marah. Sosok yang aku kenal sebagai sosok yang begitu penyayang, lembut dan sabar itu begitu menakutkan ketika marah, hingga aku mendengar grandpa yang berteriak dengan keras dihadapan eomma dan daddy yang terlihat ketakutan, sama sepertiku. Aku melihat semuanya, tetapi aku memilih untuk diam dan tidak mengatakan pada siapapun tentang grandpa yang marah besar. Hingga aku tidak tau apa yang terjadi, tetapi keesokan harinya eomma mengatakan jika aku akan tinggal bersama dengan grandma dan grandpa di Michigan. Aku yang masih kecil saat itu jelas menolak dengan keras, aku tidak ingin berpisah dengan kedua orang tuaku. Aku memang menyayangi grandma dan grandpa, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan eomma dan daddy begitu saja. Tapi aku yang masih sangat kecil saat itu tentu saja tidak memiliki kesempatan untuk menentukan pilihan. Meskipun berat, pada akhirnya aku hanya bisa menurut ketika grandma dan grandpa membawaku. Dengan syarat, jika eomma dan daddy akan sering mengunjungiku ke Michigan. Ketika tinggal di Michigan aku merasa asing, seolah semuanya sangat berbeda denganku. Bagaimana cara mereka berpakaian, makanan hingga semuanya. Beruntung aku sudah fasih berbahasa Inggris sehingga untuk berkomunikasi aku tidak memiliki kendala sama sekali. Aku juga bersyukur karena eomma dan daddy menepati ucapanya, mereka selalu mengunjungiku 5x dalam setahun. Sehingga aku tidak memiliki alasan untuk ke Korea, sebab kedua orang tuaku yang akan datang mengunjungiku. Lagi pula, Korea masih menyimpan segudang kenangan buruk dan trauma untukku. Sehingga aku tidak memiliki alasan untuk kembali ke sana. Setelah mendapatkan gelar S1, aku memutuskan untuk berpisah dengan grandma dan grandpa dengan bekerja di New York. Aku bekerja sebagai seorang Digital Analiyst di Victoria Secret Plt, salah satu brand fashion ternama di Dunia. Ketika telah bekerja selama beberapa tahun dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan karir yang menanjak naik, seketika buyar ketika mendengar kabar kematian Daddy 3 tahun silam. Aku sangat terpuruk saat itu, meskipun kita tidak tinggal bersama tetapi aku jelas memiliki beribu kenangan indah bersama daddy. Dia sosok daddy terbaik bagiku. Setelah kepergian daddy, aku tidak bisa meninggalkan eomma sendirian di Korea, aku tau dia pasti kesepian karena biasanya akan ada Daddy di sampingnya. Hanya aku satu-satunya orang yang dimiliki Eomma, maka setelah mendapatkan persetujuan dari grandpa dan grandma aku memutuskan untuk pulang. Aku meninggalkan semuanya, karir yang bagus, kesuksesan, rumah dan segala aset yang aku punya untuk menjalani hidup baru di Korea bersama dengan eomma. Selama tinggal di Korea, aku memutuskan untuk meneruskan usaha eomma yakni menjalankan sebuah restoran yang menjadi kesibukannya bersama dengan daddy dulu. Maka aku mengubah segalanya, konsep dan bentuk bangunannya mengikuti keinginanku. Restoran yang awalnya menyajikan menu masakan Korea itu, aku ubah menjadi restoran berkelas dengan masakan Barat, karena lidahku sendiri sudah melupakan masakan Korea. Aku menggandeng temanku Jamie Oliver yang merupakan salah satu Chef Michelin Star, untuk mengurus segala jenis menu masakan apa saja yang akan kami jual. Yang aku pikirkan saat ini, karir yang sukses adalah tujuan hidupku. Aku tidak ingin mengacaukan masa depan dan karirku hanya dengan memikirkan kisah cinta dan para pengikutnya. Aku sukses, cantik, menarik, dan pintar. Lalu apa yang aku butuhkan dari seorang pria? Maka dari itu, keinginan Eomma yang memintaku untuk segera menikah bagaikan sambaran petir yang menyengat kepalaku hingga rasanya hampir pecah. Keinginan Eomma begitu menyiksa tapi aku tak bisa mengabaikannya. "Kapan kamu mau berubah? Kamu terlalu pemilih sehingga tidak ada satu pria pun yang memasuki kriteriamu," ucap eomma ketika kami tengah sarapan. Eomma tak pernah membahas hal lain selain tentang jodoh padaku akhir-akhir ini. "Kita tidak bisa sembarangan memilih calon pendamping hidup, apakah Eomma mau jika pernikahan kami gagal nantinya?" "Eomma sudah memilihkan beberapa lelaki yang memiliki garis keluarga yang baik, pekerja keras, sukses di bidangnya, lalu apa lagi?" "Sudah aku katakan jika tidak ada yang sesuai dengan seleraku, Eomma." Sejujurnya aku merasa kesal, tetapi aku lebih memilih untuk memendamnya. "Ini yang terakhir, dia pilihan eomma yang terakhir. Karena jika kali ini kamu juga menolaknya maka eomma tidak tau lagi siapa pria yang pantas untuk diperkenalkan padamu." Eomma terlihat putus asa, tapi aku juga tidak bisa mengalah begitu saja karena masa sepanku juga dipertaruhkan di sini. "Eomma mengenalnya?" "Iya, dia putra teman eomma." "Bukankah semuanya juga putra teman eomma?" "Yang ini teman dekat." "Baiklah, ini yang terakhir. Jika masih tidak cocok, maka Eomma harus bersabar menunggu pilihanku sendiri." "Eomma akan segera menghubunginya." Aku selalu bahagia ketika melihat eomma juga tengah bahagia, meskipun beberapa kali hal yang membuat eomma bahagia justru hal yang membuatku sedih dan tertekan, contohnya seperti perjodohan kali ini. Untuk kesekian kalinya, aku menyetujui apa yang eomma inginkan. Entah ini pria yang ke berapa yang akan eomma pilihkan untukku. Dia hanya mengatakan jika pria yang akan aku temui nanti adalah seorang putra dari pemilik salah satu agensi ternama di Korea. Pria berusia 34 tahun yang kata eomma sudah cukup matang dan mapan untuk menjadi calon suamiku. -o0o- Aku masih duduk menunggu di tempat yang sudah kami sepakati sebelumnya, aku mengecek arloji dan dia sudah terlambat 10 menit. Aku begitu menghargai waktu, karena 1 menit begitu berharga. Maka aku memutuskan untuk berdiri. Aku benci terlambat! Namun ketika aku akan keluar dari pintu, seorang pria terlihat menghadang jalanku. ‘’Lee Min Ah?’’ ucap pria itu sembari memandangku. ‘’Jika kamu adalah pria bernama Kim Hyun Soo, maka lain waktu kita bertemu!’’ jawabku lalu memakai kaca mata hitamku sembari berjalan melewatinya. Sebelum aku membuka pintu mobil, suara dering ponselku terdengar. Aku tidak menjawabnya, tapi aku justru membalikkan tubuh dan menatap ke arah pria tadi yang aku temui di depan pintu. Dia mengangkat ponselnya, memberikan isyarat jika aku harus menjawab panggilannya. Dengan terpaksa, aku menjawab panggilan dari nomor yang menjadi tujuanku datang ke café ini. ‘’Hai, aku Kim Hyun Soo, maaf membuatmu menunggu. Aku mengalami kecelakaan kecil ketika menuju kemari. Maaf atas 10 menit waktumu menunggu. Kapan kita akan bertemu lagi?’’ Aku menatap pria itu yang tersenyum ke arahku, tapi aku tidak peduli. Keterlambatannya membuatku memasukkannya dalam black listku. Tapi sesuatu dalam dirinya membuatku ragu, dia memberikan alasan yang jelas, sehingga akan sangat tidak logis jika aku menolaknya. Karena café ini sepi, aku menatap ke arah parkir, di sini hanya terdapat 5 mobil dan terdapat satu mobil berwarna putih dengan penyok di bagian belakangnya. Aku berasumsi jika ini mobil miliknya. Maka dengan tidak rela bahkan tanpa aku sadari aku justru menganggukkan kepalaku. ‘’Besok, di sini, di jam yang sama. Kesempatanmu yang terakhir,’’ jawab ku dengan datar. Aku lalu mematikan sambungan telepon dan masuk ke dalam mobilku untuk segera meninggalkan tempat ini. Sebenarnya, pria yang masuk dalam black list tidak akan pernah mendapat kesempatan. Namun entah mengapa, aku hanya merasa jika dia pantas diberikan kesempatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN