Bab 2 There’s No Going Back

1628 Kata
Di salah satu ruangan di restoran, Davin duduk berhadapan dengan wanita bergaun merah itu. Renee, namanya. Begitu teman-temannya tadi memanggilnya. Baik teman-teman Renee maupun Langga dan Siena sudah pergi sejak tiga puluh menit yang lalu. Namun, meski hanya mereka berdua, tak satu pun dari mereka berbicara sejak tadi. Pertama, Renee sedari tadi sibuk mengangkat telepon. Ponsel Davin pun sedari tadi terus berbunyi, tapi Davin mengabaikannya. Ia lebih penasaran dengan percakapan Renee di telepon. “Sementara, buat berita itu,” Renee berkata entah pada siapa. Di telepon berikutnya, ia berbicara dengan nada lebih riang, tapi tetap terdengar angkuh, “Ah, makasih. Nanti pasti aku undang di pernikahanku.” Pernikahan? Wanita ini pasti sudah gila jika ia berniat benar-benar menikah dengan pria yang baru dikenalnya di pintu restoran dua jam yang lalu. Namun, ada banyak telepon yang dijawab Renee dengan jawaban yang sama. Seperti copy-paste. Bahkan, nada suara wanita itu terdengar persis sama ketika mengatakannya. Di telepon selanjutnya, wanita itu berbicara dengan nada mengancam, “Aku nggak mau tahu! Yang penting, sekarang buat berita itu! Masalah Kakek urusan belakangan.” Lalu, di telepon berikutnya, wanita itu berbicara dengan nada agak dingin, “Ya Kek. Besok aku akan ke rumah.” Renee mengernyit. “Dengan kekasihku?” Renee melirik Davin. “Ya, jika dia tidak sibuk.” Davin langsung memikirkan ribuan alasan kesibukan. Apa besok ia ada jadwal sebagai pembicara di kampus atau di mana pun itu? Mungkin meeting di luar kota? Davin harus mencari tahu tentang itu, dengan sedikit berharap. Sebelum Renee selesai dengan telepon tanpa hentinya, Davin memutuskan untuk mengecek jadwal dengan asistennya. Namun, pesan yang muncul dari Zacky, asistennya, membuat Davin melotot kaget. ‘KAMU MENIKAH DENGAN PUTRI W GROUP?’ Zacky benar-benar menulisnya dengan huruf kapital. Ia bahkan tak repot-repot memanggil Davin ‘Pak’. Namun, kekesalan Davin pada Zacky tersingkir cepat ketika ia melihat tulisan W Group. Putri W Group? Lalu, Davin teringat kabar menggemparkan pernikahan putra W Group dengan putri bungsu Grup Brawijaya. Apakah itu Grup Brawijaya yang investor utama D’Roadway miliknya? “Kamu beneran dari keluarga W Group?” tanya Davin tanpa menatap Renee. Renee yang baru saja mengakhiri pembicaraan telepon menjawab, “Ya.” “Kamu juga tahu Grup Brawijaya?” Davin memastikan. “Ya. Sepupuku nikah sama putri bungsu perusahaan itu.” Davin memejamkan mata. “Itu … Grup Brawijaya yang kantor pusatnya di sini, kan? Yang dulu CEO salah satu anak perusahaannya Erlando William … yang tahun lalu mewarisi W Group …” “That’s my cousin,” sebut Renee. “Kamu kenal dia?” Renee terdengar waspada. Davin mendongak. “Dia orang yang ngewakilin Grup Brawijaya waktu kami tanda tangan kontrak kerja sama.” Renee melotot. “Kerja sama apa? Sejauh apa kamu kenal Erlan? Kamu … kenal dekat sama dia?” Davin menghela napas, menggeleng. “Grup Brawijaya investor utama perusahaanku.” “Tunggu. Kamu kerja di perusahaan? Perusahaan apa?” Renee mengumpat. “Sejauh apa kamu kenal sama Erlan?”  Lebih dari pertanyaan tak sabar Renee itu, Davin lebih tertarik pada satu hal. “Apa kamu berencana beneran nikah sama aku?” tanya Davin. Renee mendengus. “Aku belum gila.” “Dan apa itu akan mempengaruhi hubunganku sama Grup Brawijaya?” Renee mengibaskan tangan. “Nggak akan. Aku yang akan ngurus itu.” Davin menghela napas lega. Namun, di depannya, Renee berbicara dengan nada meremehkan, “Jadi, kamu bukan dari keluarga konglomerat?” Davin tidak terkejut mendengar pertanyaan itu. Davin sudah terbiasa diperlakukan seperti itu juga, ketika ia diundang ke acara para konglomerat. Direndahkan karena ia bukan berasal dari golongan yang sama dengan mereka. Bagi orang-orang seperti mereka, pencapaian Davin ini bukan apa-apa. “Bukan,” Davin menjawab. Rene mengangguk-angguk. Ponsel wanita itu berdering, tapi ia hanya melirik layar ponsel, tak mengangkatnya. Ia menatap Davin ketika bertanya, “Besok kamu bisa ketemu kakekku?” Davin sampai lupa, ia belum mempunyai alasan untuk tidak datang. “Kalau kamu ngejalanin peranmu dengan baik, aku janji, W Group juga akan ngedukung perusahaanmu. Kamu pasti pengen ngembangin perusahaanmu ke luar negeri juga, kan? Kamu juga pasti pengen perusahaanmu berkembang lebih jauh lagi, kan? Aku bisa bantu kamu.” Renee tersenyum angkuh, begitu yakin Davin tak akan menolak penawarannya. “Kalau kamu nolak, aku nggak bisa ngejamin tentang kerja samamu sama Grup Brawijaya,” lanjut wanita itu. Davin mengernyitkan kening. “Karena itu, Dav …?” Renee mengangkat alis, menanyakan nama Davin dengan cara paling angkuh. “Davin,” sebut Davin. “Karena itu, Davin,” Renee berkata, “ambil tawaranku. Jadi kekasihku dan begitu kita putus, aku jamin perusahaanmu akan berkembang semakin besar. Cukup buat bikin cewek yang nolak kamu tadi nyesal.” Davin kembali mengernyit. Wanita ini juga tahu tentang Siena? “Sekarang, bisa kita ngomongin serius kesepakatan kita ke depannya?” tanya Renee. Davin mengangguk. Lalu, wanita itu menyalakan rekaman di ponselnya, menunjukkannya pada Davin, lalu menjelaskan, “Semua yang kita bicarakan di sini, nggak akan tersebar ke mana pun, selain ke pengacaraku. Cuma buat urus kerja sama kita aja. Kesepakatan hitam di atas putih. Oke?” Davin mengangguk lagi. Memangnya, setelah tawaran dan ancaman gila wanita itu tadi, apa yang bisa Davin lakukan? *** Renee mengerutkan kening melihat mobil Erlan terpakir di depan rumahnya. Renee mendecak kesal ketika turun dari mobil. Ia masuk ke rumah dan kepala pelayannya, Pak Rony, memberitahu jika Erlan sudah menunggu sejak satu jam yang lalu. Sepupunya itu pasti langsung berlari kemari begitu mendengar kabar pernikahan Renee. Begitu Renee duduk di sofa di seberang Erlan, pria itu langsung bertanya, “Siapa dia? Apa Kakek ngejodohin kamu?” Renee menggeleng. “Aku sendiri yang milih dia.” “Apa kamu udah ngecek latar belakangnya? Kamu nggak ngerebut tunangan orang sembarangan, kan? Atau, kamu milih dia karena dia bisa dukung kamu di perusahaan?” Renee mendecak kesal. “Jangan bersikap sok kayak keluarga, deh,” tepis Renee. “Aku emang keluargamu,” desis Erlan. “Gimana kamu ketemu dia? Di mana? Sebelum ini, aku tahu kamu sempat punya kekasih, tapi kamu nggak pernah ngumumin itu. Jadi, apa ini? Dan apa? Kalian akan nikah? Kamu serius? Siapa orangnya? Aku harus tahu tentang dia dulu sebelum …” Renee mengumpat kasar, memotong kalimat Erlan. “Jangan ngatur aku!” Renee menatap Erlan geram. “Dan jangan sok peduli, deh!” Setelah mengatakan itu, Renee berdiri. Namun, ia urung naik ke kamarnya ketika Erlan berkata, “Aku emang peduli. Kalau kamu nggak mau ngasih tahu aku, aku bisa cari tahu sendiri.” Renee berbalik untuk protes, tapi Erlan sudah melangkah pergi, berjalan ke pintu. Pak Rony membungkuk ketika Erlan melewatinya dan keluar dari rumah itu. Renee mengumpat kesal dan melanjutkan langkah ke kamarnya. Renee membanting dompet pestanya ke tempat tidur dan berteriak marah. Ini benar-benar mengesalkan. Kenapa semua orang tak bisa meninggalkan Renee sendirian? Ini hidup Renee! Mau menikah dengan siapa pun, itu hak Renee! Renee menarik napas dalam dan menenangkan diri. Ia duduk di tepi tempat tidur, lalu menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Ia kembali memikirkan Davin. Lebih tepatnya, informasi tentang perusahaan pria itu. Ia pendiri dan CEO perusahaan bernama D’Roadway. Sebuah perusahaan traveling berbasis online. Perusahaan itu membantu memesan tiket transportasi, hotel, dan lain-lain. Sejujurnya, perusahaan pria itu tak akan membantu Renee di perusahaan. Renee mendecak kesal. Renee meraih dompet dan mengambil ponsel untuk meminta informasi lebih banyak tentang perusahaan Davin pada Nuri, sekretarisnya. Namun, Nuri sudah menghubungi Renee lebih dulu. “Halo?” Renee mengangkat telepon. “Malam, Bu. Bu, ada masalah mengenai permintaan Bu Renee tadi,” beritahu Nuri. Renee memejamkan mata dan memijat pelipis. “Masalah apa?” “Bu Renee tadi bilang, untuk sekarang kita konfirmasi dulu hubungan Bu Renee dan kekasih Ibu itu. Masalahnya, sekarang identitas kekasih Ibu sudah terungkap. Ternyata, dia Davin Pramana dari D’Roadway.” Renee mendesah lelah. “Aku tahu, dia udah bilang ke aku. Trus, apa orang-orang perusahaan nentang karena dia bukan dari keluarga konglomerat?” sinisnya. “Justru sebaliknya, Bu,” jawab Nuri, membuat kening Renee berkerut bingung. “Kesuksesan Pak Davin membangun perusahaannya itu mengingspirasi banyak orang. Menurut orang-orang, hubungan Bu Renee dan Pak Davin akan baik untuk image perusahaan. Ibu tahu sendiri, pernikahan Pak Erlan dan Bu Lyra sempat membuat gempar. Meski itu bagus untuk perusahaan, tapi untuk citra keluarga konglomerat, itu membuat masyarakat jadi menilai keluarga konglomerat identik dengan perjodohan, pernikahan bisnis, bahkan …” “Kesenjangan sosial dan semacamnya,” tambah Renee jengah. “Aku tahu. Siapa juga yang bilang berita pernikahan mereka menghabiskan ratusan miliar?” dengusnya. “Jadi, intinya apa? Mereka menyetujui hubunganku dengan kekasihku, kan?” “Bukan hanya itu, Bu,” ucap Nuri. “Tapi, juga … mereka berharap Bu Renee segera menikah dengan Pak Davin.” “Apa?!” pekik Renee kaget. Nuri berdehem. “Maaf, Bu. Tapi … besok Pak Arthur meminta Bu Renee datang ke rumah keluarga William dengan Pak Davin,” beritahunya. Renee menghela napas kesal. “Aku tahu. Ada lagi yang mau kamu omongin?” “Nggak ada, Bu.” Dengan jawaban Nuri itu, Renee menutup sambungan telepon dan melempar ponselnya sembarangan di atas tempat tidur. Lagi, ia meneriakkan amarah ke arah langit-langit kamarnya. *** Malam itu, Davin tak bisa tidur. Alasannya? Jelas karena wanita bernama Renee itu. Davin sudah mencari tahu tentang Renee. Namanya Reneesha William. Ibunya adalah putri kedua Arthur William, Ketua W Group sebelum Erlan, sekaligus kakek Erlan dan Renee. Renee saat ini menjabat sebagai CEO di salah satu anak perusahan W Group. Sepertinya, perusahaan Davin juga bekerja sama dengan perusahaan itu. Lewat Erlando William juga. Perusahaan transportasinya, Sky Line yang menyediakan transportasi darat dan udara, adalah tempat Renee bekerja. Bahkan, ada foto Reneesha dalam seragam pramugari perusahaannya. Cantik. Davin seketika menggeleng menyadari pikirannya. Ini bukan saatnya berpikiran seperti itu. Namun, usai mengakui kecantikan Renee, Davin mau tak mau kembali pada ingatan ketika mereka berciuman tadi. Davin bersumpah, itu adalah ciuman yang … gila. Cerita teman-temannya tentang ciuman bahkan tak bisa mengalahkan itu. Wanita itu … tunggu! Lagi-lagi Davin mulai berpikiran ngawur. Bukan ciuman Renee masalahnya. Davin menghela napas dan meraih ponsel di meja kecil di samping tempat tidurnya. Davin membuka pesan Renee dan membuka rekaman yang dikirimkan Renee tadi padanya. Rekaman tentang kesepakatan mereka. Namun, baru mendengar awalnya saja Davin sudah kesal. Ia menekan ponselnya marah dan menghentikan rekaman itu. Ia mengecek contact detail milik Renee. Namun, ponselnya berproses lambat. Tak sabar, Davin menekan lagi, tapi kemudian, di layarnya muncul panggilan kepada Renee. Davin panik dan menekan-nekan untuk mematikan panggilan tersebut. Semoga saja belum tersambung. Davin mendesah lega begitu sambungan terputus. Namun, jantungnya seolah mendapat kejutan ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Reneesha William muncul di layar ponselnya. Davin menatap ponselnya ngeri. Sekarang bagaimana? ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN