Bab 3 Come to The Palace

1560 Kata
Sore itu, sepulang kerja, Davin dan Renee kembali bertemu di restoran kemarin sebelum pergi ke rumah keluarga William. Ketika Davin membawa mobil sendiri, Renee memintanya meninggalkan mobilnya dan pergi dengan mobil Renee. Davin tentu menolak, tapi Renee mengancam dengan menyebutkan Grup Brawijaya. Hanya karena masalah mobil. Davin pun terpaksa mengalah. Ketika Davin duduk di kursi penumpang mobil sport itu, tepat di sebelah Renee yang menyetir, Davin bersumpah, ia akan mencari kelemahan wanita untuk balas mengancamnya. Ketika mobil Renee melaju di jalanan, wanita itu bertanya, “Kemarin kenapa kamu nelepon aku?” Pertanyaan Renee bukan pertanyaan yang tak diduga Davin. “Nggak sengaja kepencet.” “Trus, kenapa kamu nggak angkat teleponku?” “Aku udah tidur,” balas Davin. Renee mendengus, jelas ia tak percaya. “Jangan bilang, semalam kamu sibuk mikirin aku. Yah, kalau cowok mikirin cewek jam segitu, bisa ditebak sih, apa yang dia pikirin.” Renee mengucapkannya dengan nada meledek, sembari melirik tubuh bawah Davin. Davin mendesiskan umpatan. “Itu pelecehan,” tegur Davin. Renee mendengus meledek. “Nggak ada yang bisa dilihat juga.” Harga diri Davin! Davin memutar tubuh menghadap Renee. Ia mencondongkan tubuh ke arah wanita itu, sengaja berbicara di dekat telinganya. “Jangan ngomong gitu kalau kamu belum lihat semuanya.” Mengejutkan Davin, Renee menjawabnya dengan dingin, “m***m. Pakai seat belt-mu.” Davin menyentakkan diri kaget. Ia menatap Renee kesal, tapi ia kembali duduk menghadap ke depan dan memakai seat belt. “Kamu duluan ya, yang tadi nyinggung tentang itu!” sembur Davin. Renee tampak cuek, tak sedikit pun peduli. Wanita ini, terbuat dari apa ia sebenarnya? *** Renee memasuki ruang kerja kakeknya di rumah utama keluarga William, dengan Davin di sebelahnya. Kepala pelayan rumah itu langsung meninggalkan ruangan setelah mengantar mereka. Kakeknya, Arthur William, sudah akan memanggil Renee, tapi ia terbatuk. Kakeknya mengulurkan tangan, hendak mengambil gelas minum di ujung meja. Namun, gelas itu berada terlalu jauh. Renee mengepalkan tangan. Ia sudah akan memanggil pelayan ketika Davin bergerak mendekati meja kakeknya dan membantu mengambilkan gelas itu untuk kakeknya. Renee menatap pria itu terkejut, tapi ia segera mengalihkan tatapan ketika pria itu menoleh ke arahnya, seolah memarahinya karena diam saja. Renee tak peduli. “Kenapa Kakek nyuruh aku ke sini sama dia? Kakek kan, tahu, aku sibuk banget sekarang,” Renee berbicara dengan nada kesal. “Kekasihku juga …” “Saya langsung kemari begitu pulang kantor tadi,” Davin memotong kalimat Renee. “Maaf, karena kami datang terlambat. Jalannya macet tadi,” Davin menjelaskan. Kakeknya menatap Davin sesaat, mengangguk, lalu menatap Renee. “Makan malamlah di sini dengan kekasihmu. Ada yang mau Kakek bicarakan.” “Sekarang aja, Kek. Aku sibuk,” tukas Renee. Lagi-lagi Davin melemparkan tatapan protes. Apa? Sekarang setelah berhadapan dengan seorang Arthur William, pria itu berencana ambil muka? Huh. Menggelikan. “Kalau begitu, Kakek bicara sekarang saja,” kakeknya berkata. Renee mengangguk cuek. “Kalian harus menikah secepatnya,” lanjut kakeknya. Renee sudah menyiapkan diri untuk permintaan itu, mengingat Nuri sudah memperingatkannya semalam. “Kalau ini masalah citra keluarga kita …” “Daripada kamu menikah dengan laki-laki yang hanya mengincar perusahaan kita, atau menikahi laki-laki demi mendapat kekuasaaan di perusahaan, lebih baik kamu menikah dengan pekerja keras seperti kekasihmu ini.” Renee nyaris tertawa mendengarnya. Pekerja keras? Karena itu, semalam ia menerima tawaran Renee untuk membantu perusahaannya berkembang lagi? Menggelikan. “Kakek sudah memanggil Erlan juga. Dia akan makan malam di sini dengan istrinya. Kami akan mengatur acara pernikahanmu.” Renee mendengus kasar. “Kalau emang Kakek mau nentuin semuanya sesuka Kakek, ngapain pakai manggil aku ke sini? Buang waktuku aja.” Setelah mengatakan itu, Renee berbalik dan keluar lebih dulu. Namun, di luar ruangan, Renee berhenti untuk menunggu Davin yang masih ada di dalam. Tak lama kemudian, Davin keluar. “Kamu nggak ngemis duit ke kakekku buat bantu perusahaanmu, kan?” sindir Renee. “Aku nggak tahu apa masalahmu sama kakekmu, tapi apa kamu nggak pernah belajar tentang sopan santun ke orang yang lebih tua?” tegur Davin. Renee mengibaskan tangan jengah, lalu melanjutkan langkah. Ketika Renee dan Davin keluar dari rumah itu, mobil Erlan memasuki gerbang. Renee menatap Davin dan memperingatkan, “Jangan sampai bikin kesalahan, terutama di depan mereka. Atau, aku akan ngacauin kerja sama perusahaanmu sama Grup Brawijaya.” Davin tak menjawab, tapi sepertinya pria itu mengerti. Ketika Erlan dan istrinya turun dari mobil, mereka menghampiri Renee dan Davin. Tatapan Renee jatuh ke perut Lyra yang membesar karena kehamilannya. Dalam satu atau dua bulan, Nuri bilang Lyra akan melahirkan. “Kamu dan bayimu kelihatannya sehat,” Renee membuka percakapan. “Kalau kamu khawatir, tanya aja baik-baik. Jangan ngajak ribut,” balas Lyra. Renee mendesis kesal. Apa wanita itu tidak mengaca? “Pak Davin, kita ketemu lagi,” Erlan menyapa Davin. “Iya, Pak Erlan.” “Tapi, kayaknya kita nggak perlu lagi saling manggil pakai ‘Pak’ ya, sekarang?” singgung Erlan. Davin tertawa pelan dan mengangguk. “Meski Renee suka judes dan ngomong kasar, tapi dia anak yang baik,” Erlan berkata lagi. “Tolong kamu lebih maklumin dia, ya.” Renee memutar mata, sementara Davin menjawab, “Saya tahu, kok. Dan saya ngerti.” Apanya yang tahu dan apanya yang mengerti? “Kalian kalau mau ketemu Kakek, buruan ke dalam. Aku mau pergi. Aku sibuk,” putus Renee. Tanpa menunggu jawaban pasangan itu, Renee berbalik. Namun, ia terpaksa menghentikan langkah ketika Lyra memanggilnya. Renee kembali menatap wanita itu. “Pengacaramu apa kabar?” tanya Lyra seraya tersenyum misterius. Renee mengernyit. Jangan bilang … wanita itu juga tahu? “Pengacara apa? Pak Fandy?” tanya Erlan. Lyra menatap Erlan, menggeleng. “Sepupumu itu punya pengacara sendiri sekarang.” Erlan menatap Renee heran. “ Beneran?” Renee menatap Lyra waspada. Jelas, wanita itu sudah tahu. Meski sepertinya ia tak mengatakan apa pun pada Erlan. Belum. “Bukan urusanmu,” jawab Renee pada Erlan sebelum ia benar-benar pergi dan masuk ke mobilnya. Ketika Davin masih juga belum pergi, Renee mengklakson mobil dengan tak sabar. Davin sempat berbicara dengan Erlan sebentar sebelum bergegas menyusul Renee. Tanpa menunggu Davin memasang seat belt-nya, Renee melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah itu. “Sekarang aku yakin. Kamu pasti nggak pernah dapat pelajaran sopan santun,” tandas Davin sembari memasang seat belt. “Bukan urusanmu,” ketus Renee. “Satu kata lagi kamu ngomong, aku turunin kamu di pinggir jalan.” “Turunin aja. Toh nanti juga kita ketemu lagi buat ngomongin tentang kesepakatan kita. Karena seingatku, kemarin kamu yang berkeras kita nggak akan benar-benar menikah.” Renee mengumpat kasar. Baiklah, ia harus mulai memikirkan tawaran apa yang bisa ia berikan pada Davin. *** Renee mengetukkan kuku ke meja makan restoran dengan tak sabar. Tatapannya terus tertuju ke ponselnya, seolah sedang menunggu. Setelah mereka duduk di dalam ruangan yang sepertinya memang ruangan VIP di restoran itu selama satu jam, membiarkan makanan pesanan mereka tak tersentuh, akhirnya ponsel Renee berbunyi. “Ya, Nuri? Gimana keputusannya?” Entah apa yang dikatakan lawan bicara Renee itu di seberang, tapi Renee seketika memejamkan mata, tampak kesal dan muak. Jelas itu bukan kabar baik yang barusan didengarnya. “Oke. Nanti aku kabari lagi. Ikutin aja apa yang diminta Kakek.” Renee lalu menutup telepon dan meletakkan ponselnya kembali ke meja. Ia menarik napas dalam sebelum menatap Davin. “Jadi, apa yang kamu minta sebagai gantinya kalau aku minta kamu nikah sama aku?” Wanita ini pasti becanda. “Aku serius,” tambah Renee, seolah bisa mendengar pikiran Davin barusan. “Kenapa tiba-tiba kita harus nikah?” “Karena Kakek nyuruh gitu,” jawab Renee. “Jadi, sebutin aja syaratmu. Aku akan menuhin semua itu.” “Semuanya?” Davin mengangkat alis ragu. Renee mengangguk. “Termasuk, ngasih hakku seutuhnya sebagai suamimu?” Renee menyipitkan mata. “Harusnya aku nggak kaget sih, ya, karena berhadapan sama playboy kayak kamu.” Davin mengabaikan itu. “Kamu kepikiran nggak, sih? Karena kamu yang kayak gini, makanya cewek itu nggak milih kamu.” Renee tersenyum sinis. Davin akhirnya menemukan satu cara untuk membalas wanita itu. Sekarang Davin bisa melihat kelemahannya. Davin tahu cara mengguncang harga dirinya yang angkuh itu. Menikah dengan wanita seangkuh Renee? Tak masalah bagi Davin. Toh, ia baru saja patah hati. Ia sudah tak punya harapan tentang cinta. Lagipula, dengan menikahi Renee, Davin bisa semakin membesarkan perusahaannya. Tak ada ruginya. Daripada perusahaan yang ia besarkan dengan keringatnya sendiri hancur. Juga, ia bisa membalas wanita itu untuk semua penghinaannya dalam dua puluh empat jam terakhir. Selain itu juga … “Tubuhmu buat pernikahan kita.” Davin bisa melihat keinginan kuat wanita itu untuk menghantamkan semua barang di atas meja ke kepala Davin, tapi wanita itu masih bisa menahan diri. Ia menarik napas dalam, mengambil keputusan cepat. “Oke. Aku akan masukin itu ke kesepakatan kita. Besok aku kirim berkasnya ke kamu.” Davin mengangguk. “Tapi, berapa lama kita akan menikah? Kamu nggak mungkin kan, mau nikah sembarangan sama cowok yang nggak kamu cinta, bahkan nggak kamu kenal, buat selamanya?” Kali ini, Renee tersenyum sinis. “Kenapa? Kamu takut karena harus nikah sama aku selamanya?” Davin tak menjawab. “Yang jelas, sampai aku ngerasa aku nggak butuh kamu lagi sebagai suamiku.” Jawaban angkuh Renee itu membuat Davin semakin bertekad. Ia akan membalas wanita ini, bagaimanapun caranya. Apa pun bayarannya. *** Begitu Renee memasuki kamarnya, ia menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia benar-benar akan menikah. Itu pun dengan pria asing yang baru dikenalnya dua puluh lima jam yang lalu. Renee memejamkan mata. Di mana sebenarnya kekacauan ini dimulai? Di restoran itu. Jika saja Gino datang ke acara reuninya. Jika saja pria asing itu tidak tiba-tiba melamar Renee di depan teman-temannya. Jika saja … Renee memejamkan mata. Berhenti mengucapkan kata ‘jika’. Itu toh tak mengubah apa pun. Semua sudah terjadi. Renee harus menikah dengan pria asing itu. Itu adalah tugas, kewajibannya, sebagai seorang William. Ia harus mendengarkan kata-kata kakeknya. Meski kakeknya mengirimnya ke luar negeri seorang diri. Meski kakeknya mengasingkannya. Meski kakeknya tak mengakui kemampuannya di perusahaannya. Bahkan ketika kakeknya memerintahkannya menikah pun, Renee tak berhak untuk menolak atau protes. Karena ia adalah seorang William. Lain cerita jika ia mau membuang nama keluarganya dan ditendang dari kastil kekuasaan William. Jelas, Renee tak akan mau melakukannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN