Bab 5 The Lost Boy

1548 Kata
  Seperti yang dikatakan Renee pada Langga dan Siena beberapa hari lalu, akhir minggu itu, pesta pertunangan Davin dan Renee diselenggarakan. Bahkan, setelah makan siang bersama Langga dan Siena itu, Davin dan Renee hanya bertemu dua kali. Pertama, Renee mengajak Davin memesan dan memilih model cincin untuk pertunangan mereka. Renee yang memilih model dan berkeras membayarnya sendiri. Untungnya Davin berhasil menyelamatkan harga dirinya, meski dengan cara ia merampas card Renee untuk mencegah wanita itu membayar sendiri. Pertemuan kedua mereka, ketika mereka mengambil cincinnya kemarin dan membicarakan masalah pesta pertunangan mereka. Renee memberikan daftar undangan tamu yang akan hadir beserta informasi tentang mereka. Menurut Renee, itu belum seberapa dibanding tamu undangan pernikahan mereka nanti. Karena kemarin kantor mereka sama-sama libur, mereka menghabiskan sepanjang pagi membicarakan pesta pertunangan dan tamu undangannya. Lalu, setelah makan siang, mereka mengepas gaun dan stelan pesta di butik milik Grup Brawijaya. Baru setelahnya, mereka berpisah dan pulang sendiri-sendiri. Sebelum mereka berpisah kemarin, Renee sempat memberitahu jika setelah pesta pertunangan ini, keluarga Renee ingin mengajak mereka bicara tentang pesta pernikahan mereka. Davin hanya mengangguk saja. Namun, saat ini, ia tak bisa untuk tak mengeluh. Ia seolah tersesat di sini. Di pesta pertunangannya, hanya keramaian dan sapaan orang-orang yang tak semua dikenal Davin yang ia dapat. Langga dan Siena juga datang karena Renee mengundang mereka, tapi mereka tak lagi terlihat setelah beberapa saat. Entah mereka pergi ke mana. Bahkan, di tengah acara, mereka sudah pamit untuk pulang. Meninggalkan Davin sendiri di tengah orang-orang ini. Ah, tidak benar-benar sendirian. Karena sedari tadi Renee tak sedetik pun pergi dari sisinya. Syukurlah, ada wanita itu yang melakukan percakapan dengan orang-orang yang menyapa Davin dan memberinya selamat. Setelah semua hiruk pikuk yang membuat Davin sampai tak bisa berpikir jernih tentang keberadaannya sekarang, akhirnya pesta itu usai hampir tengah malam. Diiringi lagu Perfect milik Ed Sheeran dari pengisi acara, –Davin dengar itu penyanyi terkenal, tapi ia lupa namanya– para tamu undangan satu-persatu meninggalkan grand ballroom hotel tempat pesta. Setelah tamu terakhir pergi, Renee menarik Davin pergi dari sana. Mereka naik lift dan masuk ke presidential suite di lantai teratas gedung itu. Jangan ditanyakan kemewahannya. Namun, Davin tak punya kesempatan untuk mengagumi semua itu karena Renee langsung membawanya ke ruang keluarga. Di sana, sudah menunggu Arthur William, Erlando William, bahkan Alyra Crystalia Brawijaya. Sementara Renee langsung duduk di sofa nyaman berwarna krem itu, Davin membungkuk kecil sebelum duduk di sebelah Renee. “Kamu nggak perlu bersikap kayak gitu ke keluargamu sendiri. Nanti kalau orang-orang lihat, mereka bisa mikir kalau kamu dibayar buat nikah sama Renee,” celetuk Lyra. Davin berusaha mengendalikan ekspresinya meski ia terkejut. Ia membalas, “Meski saya akan menjadi bagian dari keluarga ini, saya akan tetap bersikap profesional di luar.” “Kalau waktu kerja, nggak masalah. Tapi, kalau di waktu kumpul keluarga kayak gini, hati-hati. Ada banyak mata yang ngawasin kamu sekarang,” singgung Lyra. “Dan aku nggak mau perusahaanku dibilang perusahaan koneksi. Aku ada di posisiku sekarang karena usaha kerasku.” “Saya nggak akan mengecewakan Bu Lyra,” balas Davin. “Enough!” kesal Renee. “Dia calon suamiku. Kamu nggak bisa ngomong seenaknya ke dia. Bahkan meski kamu investor utama di perusahaannya, tapi …” “Aku ngelakuin ini buat dia sama kamu. Kamu pikir, kamu nikah sama dia itu nggak akan bawa masalah?” sambar Lyra. “Ya, citra keluarga kita jadi lebih baik di mata masyarakat. Tapi tetap aja, di kalangan kita, kamu tahu kan, gimana posisinya calon suamimu ini? Aku nggak mau direpotin ngancam sana-sini cuma buat bikin orang-orang nggak ngomongin calon suamimu. Bahkan, sekarang pun udah cukup berisik.” Renee cemberut. “Emangnya aku minta kamu buat ngelakuin itu? Urus aja dirimu sendiri. Aku bisa urus diriku sendiri kalau cuma masalah kayak gitu,” sengit Renee. “Justru gara-gara kamu … argh,” Lyra mengerang sembari memegangi perutnya. Davin sempat melihat ekspresi cemas Renee, sebelum wanita itu menutupinya dengan ekspresi datar. “Lyra, udah lah. Jangan marah-marah lagi, biar aku yang beresin ini. Kamu istirahat aja. Kasihan bayi kita, Sayang,” bujuk Erlan. Lyra mendecak pelan, tapi ia mengusap perutnya. “Tantemu itu yang salah di sini, jadi kamu jangan belain dia,” ucapnya pada perutnya. Davin nyaris tersenyum melihat Renee mendengus kesal dan mengerucutkan bibirnya sebal. “Aku akan ngomongin ini sama keluargaku sendiri, jadi kamu mending pergi aja,” usir Renee kemudian. Erlan menatap Renee kesal. “Lyra juga keluargamu!” bentaknya. Lyra menepuk-nepuk lengan Erlan. “Dia cuma khawatir aku ngacauin rencananya,” ucapnya. Erlan pun kembali tenang. Renee memutar mata. Untuk pertama kalinya, Davin melihat keluarga yang menunjukkan kepeduliannya sebrutal ini. “Jangan ribut lagi. Sekarang, kita bahas bagaimana pesta pernikahan mereka nanti,” lerai kakek Renee. “Aku akan serahin yang lainnya ke kalian, tapi buat wedding organizer-nya, aku pakai punyaku sendiri. Kemarin juga aku udah bilang tentang itu di telepon, Cousin,” Renee berkata. “Wedding organizer-mu itu bahkan nggak punya banyak pengalaman buat acara sebesar ini. Kamu tahu kan, pesta pernikahanmu itu bukan pesta sembarangan,” Lyra mengingatkan. “Aku tahu, tapi aku cuma minta itu.” “Nggak,” tolak Lyra. “Aku yang akan nikah.” “Kamu tahu, sejak awal, urusan kayak gini bukan lagi cuma urusanmu,” sambar Lyra. “Kalau aku nggak boleh pakai wedding organizer-ku, aku akan kawin lari sama Davin!” Davin menoleh kaget menatap Renee. Ia tak menyangka … Renee akan melemparkan komentar sekekanakan itu. Lalu, didengarnya Lyra tertawa. “Kayaknya aku perlu nyelidikin wedding organizer pilihanmu itu. Apa yang kamu sembunyiin tentang dia?” Davin panik mendengar itu. Ia segera menjelaskan, “Sebenarnya, dia sahabat saya. Mungkin semua udah tahu kalau saya dari panti asuhan, jadi saya nggak punya keluarga dan saya cuma punya dua sahabat saya itu. Salah satunya adalah wedding organizer. Itu impiannya, buat jadi wedding organizer pernikahan saya. Karena itu …” “Oke,” Lyra memotong. “Tapi, dia tetap harus mau gabung sama tim yang aku siapin,” ucapnya. “Dan berhenti ngomong seresmi itu sama keluargamu sendiri,” Lyra mengingatkan Davin. Davin mengangguk, Renee menggerutu. “Kalau mau oke, kenapa harus ngajak aku ribut dulu?” Davin menatap Renee, teringat bagaimana wanita itu mengancam untuk kawin lari tadi. Tanpa sadar, Davin sudah tersenyum geli. Ia baru sadar ketika Lyra berkomentar, “Aku nggak tahu apa yang bikin kamu mau nikah sama cewek kayak Renee.” Renee mendesis kesal, sementara Davin hanya berdehem dan segera mengalihkan tatap dari Renee. Davin sepertinya harus berhati-hati dengan Lyra. Ia … sepertinya tahu lebih banyak. Hanya saja, Davin tak tahu sebanyak apa. *** “Apa? Tinggal di rumah utama? No way!” protes Renee. “Trus, kamu mau tinggal di mana? Di jalan?” sinis Lyra. “Aku punya rumah!” “Kakekmu, Erlan, bahkan aku, bisa ambil rumah itu dari kamu. Hal ini berlaku ke dia juga.” Lyra mengedik ke arah Davin. “Kamu sama Erlan juga nggak tinggal di rumah utama! Padahal, Erlan kan, pewaris utama W Group.” “Karena rumahku sekarang lebih dekat ke kantorku dan ke kantornya Erlan,” jawab Lyra santai. “Rumahku juga lebih dekat ke kantorku!” balas Renee tak rela. “Apa pun alasannya, kamu tinggal di rumah ini, atau tinggal di jalanan,” putus Lyra. Renee menatap kakeknya, tapi kakeknya tak mengatakan apa pun. Bahkan, Erlan hanya mengedik kecil. Renee mengerang kesal. “Kamu nggak keberatan kan, tinggal di rumah ini?” tanya Erlan pada Davin. Tentu saja, Davin menggeleng. “Nggak masalah,” ucapnya enteng. Pria ini benar-benar tak membantu Renee sama sekali. “Mengenai tanggal pernikahan juga …” “Kalian pasti udah nentuin, kan?” Renee memotong kalimat Erlan. “Kapan? Bulan depan?” “Dua minggu lagi,” Lyra menyebutkan. Renee kontan melotot mendengar itu? “Dua minggu lagi? Yang benar aja!” “Kenapa? Dulu malah Erlan maunya langsung nikah besoknya setelah aku nerima lamarannya,” ucap Lyra. “Karena kami saling mencintai.” Renee mengernyit. “Aku harus ngabarin teman-temanku yang ada di luar negeri. Lagian, kalau acaranya mendadak …” “Besok kamu bisa langsung hubungi mereka. Undangan lain biar aku sama Erlan yang urus.” Renee tak bisa membantah jika Lyra sudah berkata final seperti itu. “Ada lagi yang kamu permasalahin?” tanya Lyra. Renee, dengan sangat terpaksa, menggeleng. Ia lalu menatap Davin ketika Lyra menoleh pada pria itu. “Kamu?” Davin menggeleng. “Aku nggak ada keluarga yang bisa urus itu. Jadi, aku sangat berterima kasih kalau kalian bisa bantu aku dan Renee tentang persiapan pernikahan kami,” ucapnya seraya tersenyum. Renee tertegun. Meski Davin mengatakan itu, tapi saat ini, Renee seolah bisa melihat sosok bocah yang tersesat dalam diri Davin. Renee hanya tahu tentang Davin yang sukses dengan perusahaan yang ia bangun sendiri. Ia tak tahu, tak memperhatikan informasi tentang latar belakang keluarga pria itu. Selain bahwa … ia tak punya orang tua. Renee hanya fokus pada perusahaan pria itu hingga tak memperhatikan hal lainnya. Termasuk, kenyataan bahwa ia tak punya keluarga dan dibesarkan di panti asuhan. Kenyataan yang sebelum ini tak begitu mengusik Renee. Hingga detik ini. Perlukah pria itu mengucapkannya berkali-kali seperti itu? Apa tak punya keluarga adalah hal yang patut dibanggakan? “Kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu cari keluargamu,” Lyra menawarkan. Davin menggeleng. “Orang-orang di panti asuhan bilang, aku dibuang. Buat apa aku nyari orang yang udah buang aku dan nggak menginginkan aku?” Renee mengerjap. Tak diinginkan. Rene melengos kasar. Lalu, didengarnya kakeknya berbicara, “Sekarang, ini keluargamu. Jadi, kamu harus selalu menjaga nama baik keluarga ini ke mana pun kamu pergi,” ucap kakek Renee. Renee mendengar Davin mengucapkan terima kasih. Huh. Apa hebatnya masuk dalam keluarga ini? Ketika kau bahkan tak diakui keluargamu sendiri. Di keluarga ini, hanya ada dua cucu. Yang satu Erlan, anak haram keluarga William. Satu lagi, Renee. Anak perempuan yang tak diinginkan dan tak diakui. Sejujurnya, keluarga ini sangat menyedihkan. Hanya saja, Davin pasti belum tahu tentang itu. Tentang rahasia gelap dan menyakitkan keluarga ini. Karena dingin dan kejamnya Arthur William. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN