Bab 6 Way to the Wedding

1638 Kata
  Seminggu sebelum hari pernikahan Davin dan Renee, mereka makan siang bersama Langga dan Siena hari Minggu itu, di restoran milik Renee. Siena bertanya banyak hal tentang hal-hal kesukaan Renee, mulai dari lagu kesukaan, bunga kesukaan, warna kesukaan, dan banyak hal lain. Ia juga menunjukkan planning acaranya. Renee hanya memberikan jawaban seperlunya, terkadang mengangguk atau menggeleng menanggapi pertanyaan Siena. Sementara, justru Siena yang tampak antusias di sini. Davin tak bisa mengalihkan tatap dari Siena yang tampak senang ketika menjelaskan rincian acaranya nanti. Sementara kedua wanita itu sibuk dengan rancangan acaranya, Langga menyenggol Davin. “Aku nggak nyangka kamu akan menikah sama anak konglomerat. Kamu beruntung banget, Dav,” ucap Langga. Davin mengernyit. Beruntung? Davin mendengus dan menatap Langga. “Kamu juga akan menikah dengan cewek sebaik Siena,” sebut Davin. Langga tersenyum dan menatap Siena penuh cinta. Davin mengalihkan tatap, menolak merasa cemburu pada sahabatnya itu. “Dulu, waktu kamu bilang mau bangun perusahaan sendiri, aku ngeraguin kamu. Aku sama Siena,” ucap Langga. “Aku tahu, kalian khawatir sama aku waktu itu,” ucap Davin maklum. “Sekarang, kamu benar-benar udah sukses. Bahkan, kamu bisa masuk ke dunia yang katamu bukan duniamu itu.” Langga tersenyum pada Davin. “Dulu, tiap kamu datang ke acara pesta perusahaan, kamu selalu bilang kalau di pesta itu kamu seolah tersesat, karena itu bukan duniamu.” Davin mengangguk. Sampai saat ini pun, itu bukan dunianya. Bahkan, di pesta pertunangannya minggu lalu pun … Davin merasa … asing di sana. “Tapi, sekarang semua udah beda. Kamu akan nikah sama anak konglomerat, Dav. Selamat, ya.” Langga menepuk pundak Davin senang. Davin hanya tersenyum datar. Tidakkah Langga menyadari betapa beruntungnya dirinya bisa mendapatkan Siena? Karena bagi Davin, Siena adalah … cinta pertamanya. *** “Kamu sebegitu cintanya sama cewek itu?” singgung Renee begitu Langga dan Siena pergi. Davin tak menjawab. “Dia cinta pertamamu atau apa?” dengus Renee dengan nada meledek. “Ya, dia cinta pertamaku.” Jawaban Davin terdengar mantap. Renee mendengus pelan. Ketika George datang membawakan makaroni bolognese-nya, Renee tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada pria itu. “Kamu sendiri, meski akan segera nikah, kamu masih berani nemuin kekasihmu?” Renee mengerutkan kening. “Kekasih apa?” Namun, Davin tak menjawab. “Tapi, aku kaget juga tentang cewek itu ternyata cinta pertamamu,” aku Renee. “Dari ciumanmu, aku bisa tahu kamu pasti playboy, itu pun m***m. You’re a good kisser. Jadi, kamu pasti punya banyak cewek. Atau, seenggaknya sering tidur sama sembarang cewek.” Renee memutar mata jengah. “Kelihatan juga sih, dari syarat yang kamu kasih ke aku. Kayaknya, kamu tipe yang nggak bisa ngelewatin malam tanpa cewek.” Davin menatap Renee. “Hal yang sama berlaku juga buat kamu. You’re good too.” Renee menyipitkan mata. “Satu hal yang perlu kamu ingat. Selama kita nikah, jangan sampai terlibat skandal sama cewek lain. Di kesepakatan kita, pernikahan kita akan langsung berakhir kalau itu terjadi. Tapi, buat aku, semua nggak akan berakhir semudah itu,” ancamnya. Davin balik menatap Renee tajam. “Kamu juga. Begitu kita nikah, jangan berani-berani kamu nemuin kekasihmu.” Renee mengerutkan kening bingung. Namun, ia malas bertanya, jadi ia memutuskan untuk tak menanggapi. “Minggu ini, aku akan sibuk banget sama kerjaan,” Davin berkata. “Karena habis pesta pernikahan, kamu bilang kita harus pergi bulan madu.” Renee kembali memutar mata jengah. “Bukan aku yang pengen. Tapi, istrinya sepupuku. Hadiah pernikahan, liburan bulan madu di Shine World Resort-nya di Kanada.” “Bukannya itu resort khusus kalangan kalian aja, ya?” “Kalau kamu berani ngomong gitu di depan Lyra, kamu mungkin akan dihajar sama dia,” cibir Renee. “Bahkan meski dia lagi hamil tua.” Davin mengerutkan kening penasaran. “Emangnya, orang biasa bisa liburan ke sana?” “Lyra nggak mendiskriminasi orang-orang yang mau liburan ke sana. Bahkan meski itu aku sekalipun, kalau mau liburan ke sana dan udah full, dia akan nolak. Nggak ada perlakuan istimewa.” Renee mendengus kasar. “Mungkin kamu nggak tahu, tapi dia punya teman dari kalangan …” Renee melanjutkan dengan kedikan. “Yang jelas, bukan dari kalangan kami. Orang biasa. Biasa banget, malah. Tapi, dia selalu ngelindungin temannya itu mati-matian. Well, temannya itu udah nikah sama anak bungsu Dirgaraya, sih. Tapi, tetap aja. Meski nggak ada yang berani ngusik dia. Selain Lyra, dia juga temenan sama bungunya Key Group di Solo. Cuma orang bodoh yang mau ngelawan mereka.” Renee meringis. “Kalau kamu, pasti nggak punya kan, teman yang kayak gitu?” sebut Davin. Renee mendengus. “Buat apa?” “Apa kamu bahkan punya teman?” “Kamu nggak lihat teman-temanku yang datang ke sini di malam kamu ngelamar aku itu? Ah, kamu mungkin nggak kenal siapa aja mereka,” cibir Renee. “Ah, teman yang langsung percaya aja waktu kamu bohongin mereka mentah-mentah kayak gitu? Mereka bahkan nggak bisa tahu kalau kamu bohongin mereka. Oh, juga, mereka kayaknya lebih antusias sama kabar pernikahanmu, daripada sama hubungan kita. Aku lihat mereka balapan posting ke media sosial, tuh.” Davin meledeknya. Renee menyipitkan mata kesal. “Jangan sok tahu.” “Aku lihat sendiri, kalau kamu lupa.” Renee mengumpat kesal. “Jangan ngomong lagi. Aku mau makan tanpa diganggu.” Namun, Davin masih sempat membalas, “Siapa juga yang tadi ngajak ngomong duluan?” Brengsek pria ini! *** Sehari sebelum pesta pernikahan mereka, Davin dan Renee kembali bertemu di butik, untuk fitting terakhir gaun dan stelan pernikahan mereka. Namun, ketika tiba waktunya Renee mencoba, wanita itu hanya mencoba di dalam ruang fitting, tak mau menunjukkannya pada Davin. “Kenapa kamu tadi nggak lihatin ke aku dulu?” tanya Davin ketika mereka berjalan keluar dari butik. “Emangnya kenapa aku harus ngelihatin itu ke kamu? Aku nggak makai baju itu buat bikin kamu impressed, jadi jangan berharap banyak,” jawab Renee santai. “Aku juga nggak tertarik lihatnya, sih,” sahut Davin cuek. Seketika, Renee menatapnya tajam. Davin berdehem. “Sebelum kita lanjut ngecek ke tempat pestanya, mending kita makan siang dulu, deh.” Renee tak menjawab dan langsung pergi ke mobilnya. Davin mendengus pelan, lalu masuk ke mobilnya juga. Sepertinya, Renee sama seperti dirinya. Tak begitu suka dengan keberadaan sopir ataupun asisten. Setiap kali mereka bertemu, wanita itu selalu menyetir sendiri. Davin mengikuti mobil Renee yang mengarah ke restoran. Namun, di depan restoran, tiba-tiba ada motor yang memotong jalur Renee, membuat Renee membanting setir dan mobilnya naik ke trotoar. Untungnya tidak ada pejalan kaki. Davin segera menepikan mobil dan turun. Ia menghampiri sisi pengemudi dan mengecek Renee. Davin menggedor pintu. Renee membuka kunci dan membuka pintu mobilnya. Davin bisa melihat wanita itu tampak shock, tapi sepertinya ia baik-baik saja. Davin membantu melepaskan seat belt Renee dan memegangi tangan wanita itu ketika ia turun dari mobil. Orang-orang sudah berkerumun di sekitar mereka, bahkan jalanan mulai macet. Namun, Renee tak mempedulikan semua itu dan mengumpat kasar. “Sialan! Siapa tadi?! Aku harus balas dia!” Renee mengambil ponselnya dari dalam mobil dan menghubungi seseorang. “Halo, Nuri. Aku kecelakaan kecil di dekat restoranku. Beresin semua ini. Dan cari tahu siapa yang hampir bikin aku mati tadi. Aku akan buat perhitungan sama dia.” Renee lalu menutup telepon dan menatap Davin. “Kita pergi pakai mobilmu aja,” katanya. “Trus mobilmu?” “Sebentar lagi Nuri ke sini,” jawab Renee. Davin mengawasi sekitar. Jalanan masih macet. Orang-orang pun masih berkerumun, kini bahkan tampak ponsel-ponsel terangkat untuk mengabadikan momen itu. Tak mengherankan. Terlebih dengan kenyataan bahwa mobil Renee ini mobil sport. Ia lalu menarik Renee ke mobilnya, membukakan pintu di kursi penumpang dan setengah mendorongnya masuk. Renee tampak kebingungan. “Aku bisa jalan dan masuk sendiri ke sini,” protesnya. “Tunggu di sini sebentar. Jangan keluar lagi. Orang-orang mulai ambil fotomu,” Davin memberitahu. Ia lalu kembali ke mobil Renee. Ia meminta orang-orang untuk menepi sebelum masuk ke mobil. Davin memarkirkan mobil itu agar tak mengganggu pejalan kaki maupun pengguna jalan lainnya, lalu turun dan mengunci pintunya. Ketika ia naik ke mobilnya, Renee berkomentar, “Nggak penting banget.” Alih-alih menanggapi itu, Davin melemparkan kunci mobil Renee ke pangkuan wanita itu. “Nanti asistenmu gimana kuncinya?” tanya Davin. “Dia punya kunci sendiri buat mobilku,” balas Renee. “Cepat pergi dari sini sebelum polisi datang. Biar Nuri yang beresin itu nanti.” Davin hanya menghela napas dan menuruti Renee. Ia mengklakson beberapa pengendara motor yang berhenti di jalurnya. Mereka mengomel kesal, beberapa berteriak marah pada Davin, sebelum akhirnya menyingkir. “Such a nuisance,” desis Renee kesal di sebelah Davin. Davin tak dapat menahan senyum mendengar itu. “Siapa suruh kamu buat pertunjukan di tengah jalan gini?” Renee mendecak kesal. “Tapi, kamu tadi nggak lihat plat nomer motornya?” tanya Renee. Davin menggeleng. Ia hanya melihat mobil Renee tadi setelah motor itu kabur. “Kenapa juga tadi kamu nggak ngejar motor itu?” Renee terdengar dongkol. Davin hanya menghela napas berat dan membelokkan mobilnya ke pelataran parkir restoran. Ketika mereka masuk ke restoran, George keluar dari dapur. “Reneesha, are you okay? Ada yang bilang, kamu kecelakaan di dekat sini,” sambut George cemas. “I’m okay. Aku cuma butuh sesuatu buat nenangin diri, George,” balas Renee. “Okay. Just a minute.” George pun buru-buru kembali ke dapur. Sementara, Renee dan Davin duduk di meja tempat mereka bisa melihat taman samping restoran. Davin meraih tangan Renee yang berada di atas meja dan mengecek denyut nadinya. Renee mengerutkan kening heran. “Apa kamu dokter?” sindirnya. “Seenggaknya aku tahu sedikit tentang itu dari temanku,” balas Davin. “Kamu nggak pusing? Mual atau apa pun?” Davin memastikan. Renee menarik tangannya dari Davin dan mendecak kesal. “Aku nggak pa-pa. Aku cuma kaget aja tadi. Sekarang udah nggak pa-pa. Lagian, aku pernah kecelakaan lebih parah lagi. Aku udah terbiasa juga. Kalau cuma gara-gara masalah kayak gini aku down, mana bisa aku ngurus perusahaan segede Sky Line?” angkuhnya. Davin mengerutkan kening. Terbiasa? Seberapa sering wanita ini kecelakaan? “Kalau kamu nggak begitu jago nyetir, kenapa nggak pakai sopir?” tanya Davin heran. “Sopir?” Renee mendengus. “Papanya Erlan meninggal kecelakaan gara-gara sopirnya ngantuk. Mamaku juga meninggal gara-gara sopirnya nggak hati-hati. Menurutmu, aku bisa mercayain hidupku semudah itu ke orang?” Davin mengernyit. Jadi, karena itu … Renee berkeras menyetir sendiri. “Apa itu berarti, kamu bisa mercayain hidupmu ke aku? Tadi kan, aku yang nyetir buat kita,” sebut Davin. Renee mendengus meledek. “Itu karena restorannya nggak sampai seratus meter lagi. Well, kalau menurutmu itu bisa nyenengin egomu, anggap aja gitu. Aku mercayain seratus meter hidupku ke kamu.” Renee tersenyum sinis. Lihat itu! Wanita itu bahkan tak mau repot-repot berterima kasih. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN