Langga dan Zacky menemani Davin menyambut para tamu undangan pesta pernikahannya dan Renee yang diselenggarakan di grand ballroom hotel yang sama dengan pesta pertunangan mereka dulu. Dibandingkan Davin, Langga dan Zacky justru tampak lebih antusias. Terutama Zacky.
Entah sudah berapa kali ia menyenggol Davin jika melihat para Direktur Utama perusahaan besar seperti Grup Brawijaya atau W Group yang datang. Davin sepertinya memang terlalu baik pada Zacky, mengingat betapa beraninya ia bersikap seperti ini pada Davin.
Sementara Langga, ia tak bisa berhenti menggumam kagum melihat tamu-tamu pesta pernikahan Davin. Tak seperti Davin yang berkutat dengan perusahaan, Langga adalah fotografer. Bahkan, seringnya ia bekerja sama dengan Siena. Mungkin, waktu itulah mereka saling jatuh cinta. Namun, hari ini, tak seperti Siena, Langga menolak bekerja bersama tim yang disiapkan Lyra. Ia ingin menemani Davin saja.
Tak seperti Langga dan Zacky yang sibuk mengamati tamu-tamu undangan, Davin sedari tadi berusaha mencari Siena yang hanya sekilas-sekilas tampak. Wanita itu sibuk mondar-mandir, mengurus ini-itu. Meski begitu, seperti biasa, ia tampak cantik dengan gaun warna krem yang ia kenakan.
Padahal, dalam bayangan Davin, wanita itulah yang akan menjadi mempelainya. Bayangan yang hancur berserakan sampai beberapa minggu yang lalu. Seandainya Davin tahu kedekatan hubungan Langga dan Siena, ia mungkin akan lebih dulu menyatakan perasaannya. Setidaknya, dengan begitu, ia juga punya kesempatan untuk mendapatkan hati wanita itu.
Pikiran menyedihkan Davin harus berakhir ketika upacara pernikahannya akan segera dimulai dan ia diminta bersiap-siap. Beberapa orang membawa Davin ke ruangan mempelai pria, menata rambut dan penampilannya. Ketika ia keluar, dilihatnya Langga, Zacky, juga Siena, sudah menunggunya. Mereka tersenyum padanya. Namun, melihat senyum Siena, hati Davin terasa pedih.
Tak ingin larut dalam patah hatinya, Davin membalas senyum mereka. Ketika pembawa acara mengumumkan kehadirannya, Davin memasuki ballroom. Para tamu undangan langsung menoleh padanya dan bertepuk tangan. Davin melewati meja demi meja sembari mengangguk kecil menyapa setiap orang di sana, mengingat mereka semua orang penting perusahaan.
Di meja paling depan, Davin melihat kakek Renee duduk bersama Lyra. Sementara, Erlan tadi dilihatnya ada di pintu ballroom. Menunggu Renee. Tak lama setelah Davin berdiri di posisinya, pembawa acara mengumumkan kehadiran Renee. Semua kepala menoleh ke pintu ballroom.
Pintu itu terbuka, lalu masuklah seorang wanita dalam balutan gaun pengantin yang indah. Begitu cantik … gaunnya. Namun, ketika tatapan Davin menatap wajah Renee, ia tak bisa mengelak. Renee memang cantik. Namun, kali ini keangkuhannya seolah lenyap tak berbekas. Entah siapa pelakunya, tapi ia mendadani Renee dengan begitu polos dan … cantik. Wanita itu bahkan tampak lebih cantik tanpa make up tegasnya sehari-hari.
Erlan mengulurkan lengan menyambut kehadiran Renee. Renee mengaitkan tangan di lengan sepupunya. Erlan tampak mengucapkan sesuatu padanya, membuat Renee menatap sepupunya itu kesal. Erlan tersenyum geli dan mengucapkan sesuatu, sebelum menatap ke depan. Ketika Renee juga menatap ke depan, ia tampak menahan senyum. Sebelum Davin menyadari, ia mendapati dirinya tersenyum.
Lalu, seiring Renee melangkah ke arahnya, Davin mendengar suara lembut alunan biola lagu Can’t Help Falling in Love. Davin mengernyit ketika merasakan sesuatu di dadanya. Bahkan, seiring Renee semakin dekat, Davin merasakan matanya panas. Apa yang terjadi padanya?
Sebegini patah hatikah Davin karena harus menikah dengan Renee? Namun, kenapa … dadanya justru terasa hangat ketika wanita itu semakin dekat?
***
Renee nyaris memukul Erlan ketika sepupunya itu berkata,
“Aku hampir aja nggak ngenalin kamu tanpa make up-mu biasanya.”
Renee berhasil menahan desisan kesalnya. Erlan tersenyum geli dan melanjutkan,
“Tapi, kamu cantik banget hari ini.”
Setelah mengatakan itu, Erlan menatap ke depan. Ketika Renee juga menatap ke depan, ia berusaha menahan senyum karena kata-kata Erlan barusan. Renee tahu ia cantik.
Ia melangkah ke tempat Davin diiringi instrumen biola lagu Can’t Help Falling in Love. Renee tak tahu kenapa, mendadak dadanya dipenuhi keharuan. Renee mengerjapkan mata ketika pandangannya memburam.
Apa-apaan ini? Siapa pula yang memilih lagu itu?
Renee mengerjap cepat untuk mengeringkan matanya. Namun, ia agak terkejut ketika Erlan melepaskan tangannya. Renee menoleh dan Erlan tersenyum padanya. Sepupunya itu menyerahkan tangan Renee pada Davin. Detik ketika tangan Davin menggenggam tangannya, Renee merasakan sentakan aneh di dadanya.
“Buat dia bahagia, apa pun yang terjadi,” Erlan berkata pada Davin.
Renee tak bisa untuk meragukan jawaban Davin kemudian,
“Ya.”
Namun, ketika Davin semakin mantap menggenggam tangan Renee, di depan semua mata yang menatap mereka, Renee merasakan sesak yang aneh di dadanya.
Begitu Erlan pergi ke tempat duduknya di sebelah Lyra, Renee melihat Erlan membisikkan sesuatu pada Lyra yang membuat wanita itu tersipu. Seorang Lyra … bisa bereaksi seperti itu juga.
Renee menarik napas dalam begitu upacara pernikahannya dimulai. Baik Davin maupun Renee mengucapkan janji pernikahan mereka dengan lancar. Namun, seiring Renee mendengar Davin mengucapkan janjinya, ada yang bergetar di dadanya. Pun ketika Renee mengucapkan janjinya, suaranya sedikit bergetar meski ia tak melakukan kesalahan.
Begitu mereka diumumkan sebagai suami-istri, Davin mencondongkan tubuh ke arah Renee, hendak menciumnya. Renee pikir, pria itu akan menciumnya dengan panas seperti biasanya. Namun, kali ini pria itu mencium kening Renee lembut. Detik ketika bibir itu menyentuh keningnya, Renee merasakan hangat di dadanya. Di akhir ciuman Davin, Renee mendongak. Pria itu menunduk. Jarak wajah mereka begitu dekat, tatapan mereka terkunci. Renee bisa melihat dengan jelas bayangan dirinya di mata cokelat Davin. Namun, Renee tak tahu kenapa Davin justru tampak … terkejut.
Ketika tangan Davin mengusap pipinya lembut, ganti Renee yang terkejut. Apa yang coba dilakukan pria ini? Namun, ketika Davin mengusap ujung matanya, Renee baru sadar, ada air mata di sana. Ia mengerjap bingung, kaget.
Apa yang terjadi pada Renee sebenarnya? Apa yang ia rasakan hari ini … belum pernah Renee rasakan sebelumnya. Atau mungkin, karena ini pertama kalinya ia menikah? Atau, apa semua orang yang menikah merasa seperti ini?
Renee merasa … aneh.
***
“Kamu nggak pa-pa?” tanya Davin begitu mereka duduk.
Renee mengangguk kecil.
“Kamu tadi …”
“Jangan dibahas. Tadi mataku cuma kemasukan debu,” potong Renee.
Davin meragukan itu. Untuk mata yang kemasukan debu, Renee bahkan tak berkedip kesakitan tadi. Namun, Davin memutuskan untuk menyerah. Meski begitu, sepanjang acara, ia berkali-kali menoleh menatap Renee, memastikan wanita itu tidak menangis lagi di depan orang-orang ini.
Wanita itu yang membawa mereka kemari, ke pernikahan ini. Meski, ini salah Davin juga. Mengingat, ialah yang melamar wanita itu lebih dulu. Namun, sampai Renee menangis seperti tadi, Davin merasa tak enak. Entah kenapa, ia merasa … bertanggung jawab untuk itu.
Sepanjang acara, Davin sampai tak bisa mengalihkan perhatian dari Renee, khawatir wanita itu tiba-tiba menangis di sini. Tidak akan lucu jika media meliput Renee yang dikenal kejam dan dingin menangis di hari pernikahannya. Semua akan menyalahkan Davin.
Ketika Renee tiba-tiba menunduk, Davin ikut menunduk ke arah wanita itu dengan panik.
“Kenapa? Kamu mau nangis lagi?”
Pertanyan Davin itu mendapat tatapan tajam dari Renee. Namun, wanita itu kemudian mengerjap.
“Mataku … kayaknya ada bulu mata di mataku,” ucap Renee seraya menegakkan tubuh, masih sambil mengerjapkan mata.
Davin menangkup wajah Renee. “Coba aku lihat.”
Renee berhenti mengerjap. Davin melihat ada bulu mata di sudut mata kanan wanita itu, sebagian memang masuk ke matanya. Davin meniup mata Renee. Wanita itu mengerjap.
“Udah nggak perih,” beritahunya.
Davin mengangguk. Ia sudah akan melepaskan tangkupannya, tapi ia melihat bulu mata yang jatuh di bawah mata Renee.
“Sebentar. Ada bulu mata jatuh,” Davin berkata.
Renee mengerutkan kening. Davin mengambil bulu mata Renee dan menunjukkannya pada wanita itu.
“Bulu mata sialan,” desis Renee kesal.
Davin tanpa sadar tersenyum mendengarnya.
“Kamu ngetawain aku?” Renee melotot.
Davin menggeleng.
“Dan kalau kamu udah selesai, kamu bisa jauhin tanganmu,” Renee mengingatkan.
Terkejut, Davin menarik satu tangannya yang masih berada di wajah Renee. Ia berdehem dan menarik diri menyadari keberadaannya yang juga terlalu dekat dari Renee. Biasanya, adegan seperti tadi berakhir menjadi adegan romantis. Namun, sepertinya itu tak berlaku untuk Renee.
Sepertinya, genre wanita ini hanya horror dan thriller.
***
Malam itu, Renee dan Davin menginap di suite hotel tempat pesta pernikahan mereka diadakan. Toh dalam beberapa jam lagi, mereka sudah akan terbang ke Kanada. Namun, ketika menyadari suite yang disediakan hotel Lyra itu hanya memiliki satu kamar tidur, Renee mengumpat kesal.
Renee menahan Davin ketika pria itu akan memasuki kamar. Davin menatap Renee keheranan.
“Kenapa?”
“Kamarnya cuma ada satu. Dan aku capek banget. Jadi, kalau kamu berharap kita akan …”
“Aku juga capek, tahu,” potong Davin. “Aku cuma akan tidur. Jadi, malam ini kita berbagi tempat tidur aja. Toh cuma buat beberapa jam. Aku bukan gentleman. Tidur di sofa atau di lantai sama sekali bukan gayaku.”
Renee mendengus. “Aku bahkan nggak kaget lagi,” sinisnya.
Davin menarik lengannya yang ditahan Renee dan pergi ke kamar tidur. Renee menyusul. Untungnya, tadi Renee sudah sempat berganti pakaian sebelum naik ke sini, begitu pun Davin. Baik Renee maupun Davin sepertinya sudah sangat lelah untuk pergi ke kamar mandi. Karena kemudian, mereka sama-sama menjatuhkan tubuh di tempat tidur.
“Aku bahkan nggak bisa ingat siapa aja tamu yang datang tadi,” ungkit Davin.
Renee tak menanggapinya.
“Ternyata, hidup di duniamu nggak seenak yang dibilang orang-orang,” lanjut Davin. “Malah, melelahkan.”
Renee tersenyum miris. “Ini baru awalnya. Kalau kamu udah ngeluh, nggak seru ke depannya.”
Davin mendengus. “Aku benar-benar berharap punya kehidupan yang tenang. Tapi, kayaknya sekarang itu nggak mungkin.”
Renee memejamkan mata, benar-benar lelah. Davin benar. Ini melelahkan. “Ya. Nggak mungkin,” jawabnya.
“And you are the reason,” ucap Davin.
Renee tersenyum sinis. “Kamu tahu kan, we need two to tango.”
“The worst mistake I ever made.”
Renee berharap ia tak mendengar itu. Suami sialan.
***