Sejak Renee dan Davin tiba di suite room hotel Shine World di Kanada kemarin, mereka belum keluar kamar. Baik Davin maupun Renee terlalu lelah untuk bergerak dari tempat tidur. Malam pertama? Jangan ditanya. Mereka berdua bagai orang pingsan ketika tidur.
Renee dan Davin langsung tidur lagi begitu mereka tiba di hotel dan terbangun esok harinya, yaitu tadi pagi. Setelah itu, mereka memesan makan, mandi, dan duduk di kursi santai di sisi dinding kaca, menikmati pemandangan resort dari lantai tertinggi hotel sambil minum teh hangat.
“Apa rencanamu hari ini?” tanya Davin di sebelahnya.
“Nothing. Di kamar aja, mungkin. Kamu?” balas Renee tanpa menatap Davin.
“Aku mungkin akan jalan-jalan seharian di sini. Aku dengar, banyak hal seru yang bisa kita lakuin di sini,” ucap Davin.
“Aku dengar emang Lyra nggak pernah gagal bikin orang terkagum-kagum begitu masuk ke sini,” sahut Renee cuek.
“Aku mau coba semuanya. Siapa tahu, dia mau nerima kerja sama sama perusahaanku.”
Renee mendengus meremehkan. “Jangan berharap banyak. Lyra lebih perfeksionis dari Erlan. Juga …” Renee menoleh, “lebih dingin dan lebih kejam dari aku.”
Alih-alih mengomentari itu, Davin malah bertanya, “Kamu nggak tanya, apa yang pengen aku lakuin nanti malam?”
Renee mengerutkan kening.
“Malam pertama sama kamu. Dan aku pastiin, malam ini kita nggak akan tidur.” Davin tersenyum miring.
Renee, meski geram, berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Terserah. Toh, emang itu kesepakatannya. Kalau cuma tubuhku, aku bisa ngasih.”
Davin menyipitkan mata. “Semudah itu kamu ngasih tubuhmu?”
Renee tertawa sinis. “Kita udah nikah. Apa masalahnya?”
Davin mendengus merendahkan. Namun, pria itu lantas bangkit dari duduknya dan menghampiri Renee. Renee tetap santai ketika Davin membungkukkan tubuh di atasnya. Kedua tangannya berada di kanan-kiri Renee, mengurungnya. Davin mendekatkan wajahnya. Renee pikir, pria itu akan menciumnya. Namun, ia malah membisikkan sesuatu di telinga Renee.
“Malam ini, kita benar-benar nggak akan tidur. Jadi, kalau kamu takut, kaburlah sebelum aku pulang.”
Renee mengepalkan tangan marah mendengar itu. Namun, sebelum ia membalas, pria itu sudah menegakkan tubuh dan berjalan pergi. Suami b******k.
***
Davin duduk di dermaga, membiarkan air sungai yang sejuk dan dingin menyentuh kaki telanjangnya. Ia beristirahat sebentar di sana. River tour-nya boleh juga. Sepanjang jalan, Davin bisa melihat sungai, bahkan bermain di sungainya di kawasan dermaga. Davin tergoda ingin naik ke jembatan di atas sungai itu, tapi sebentar lagi tiba waktu makan siang dan Davin sudah lapar, mungkin lain kali. Jika besok ia kemari lagi, ia harus menyiapkan bekal yang cukup.
Davin mengangkat kaki dari sungai dan mengeringkannya, sebelum memakai sepatu. Davin sekali lagi menikmati pemandangan sungai sebelum akhirnya berdiri dan berjalan kembali menyusuri dermaga. Namun, langkah Davin terhenti di tengah dermaga ketika melihat sosok yang baru saja berjalan dari ujung dermaga sana.
Renee muncul dengan jaket merah berbulu yang menutupi kaus tipis yang pendek dan nyaris menampakkan perutnya, dengan celana ketat warna hitam dan sepatu boot hitam berhak tinggi, ditambah make up tegasnya seperti biasa. Meski penampilannya cukup mengejutkan, Davin paling terkejut karena wanita itu memilih sepatu seperti itu untuk medan ini. Meski jalannya tak begitu buruk, tetap saja. Tidakkah ia lelah berjalan sejauh ini dengan sepatu seperti itu?
“Kamu ngapain di sini?” protes Renee, tak terdengar begitu suka ketika melihat Davin.
“Harusnya aku yang tanya, kamu ngapain di sini? Bukannya tadi kamu bilang mau di hotel?”
Renee tak membalas.
“Jangan bilang, kamu kabur lebih awal karena takut?” ledek Davin.
Renee menyipitkan mata kesal. “Omong kosong,” desisnya. Wanita itu berjalan mendekat, melewati Davin, lalu berhenti di ujung dermaga.
Davin yang tadinya sudah akan pergi, urung melakukannya dan malah menghampiri Renee. Dilihatnya wanita itu melepas sepatunya. Davin melihat kakinya memerah, agak lecet di beberapa bagian. Namun, Renee kemudian memasukkan kakinya ke air sungai.
Davin ikut mengernyit ketika wanita itu mengernyit menahan sakit. Pasti perih.
“Aku nggak tahu akan ketemu kamu di sini,” ucap Davin lagi.
“Bukan urusanmu,” sengit Renee.
“Kamu juga lagi river tour?”
Renee mendengus. “Mana mungkin? Aku cuma mau jalan-jalan ke hutannya tadi. Aku nggak tahu jalurnya sejauh ini. Dan aku udah pergi terlalu jauh buat balik.” Renee mengumpat kesal.
Davin tak dapat menahan senyum. “Ini jalur hiking sama river tour. Jalur hiking lebih pendek. Kalau river tour lebih panjang. Kamu nggak baca papan petunjuk di pintu masuknya tadi?”
“Mana aku tahu?” kesal Renee. Jelas, ia tak membaca.
“Kamu nggak pernah hiking?” tanya Davin.
“Malas. Aku lebih suka party,” sahut Renee angkuh.
Davin mengangguk-angguk. Seharusnya ia tak bertanya. Melihat penampilan siap party Renee saat ini.
Selama beberapa saat kemudian, mereka tak lagi saling bicara. Renee tampak mengamati sekitar sungai dengan penasaran, sementara Davin masih berdiri di sana, mengamati Renee lekat. Hingga akhirnya, tatapan Renee tertuju pada Davin. Wanita itu menyipitkan mata marah.
“Kamu ngapain masih di sini?” sengitnya.
“Apa ada larangan keberadaanku di sini?” balas Davin santai.
Wanita itu mendengus kasar, lalu menaikkan kakinya. Ia menepuk kakinya yang basah untuk mengeringkannya, tapi berakhir mendesis kesal karena ia menyentuh bagian yang lecet. Renee lantas berdiri dan menyelipkan kakinya yang lecet ke sepatu boot-nya, sebelum menaikkan ritsleting sepatunya.
Wanita itu sempat berhenti di langkah pertamanya, mengernyit, sebelum ia menegakkan tubuh dan melanjutkan langkah seolah kakinya baik-baik saja. Ia bahkan tak menoleh pada Davin ketika melewatinya. Namun, Davin melihat tangan wanita itu terkepal erat di sisi tubuhnya, menahan perih di kakinya.
Davin menyerah. Terkadang, ia memang terlalu lemah pada wanita yang lemah. Davin menyusul Renee, menahan lengan wanita itu. Ia berlutut dengan satu kaki di depan Renee.
“Kamu mau ngapain? Nggak ada yang akan lihat pertunjukanmu di sini,” desis Renee.
Mengabaikan itu, Davin membuka ritsleting sepatu boot Renee, lalu mengangkat satu kaki wanitu itu. Renee yang hanya berdiri dengan satu kaki, seketika berpegangan pada Davin. Memanfaatkan itu, Davin menarik keluar kaki Renee dari sepatunya dengan hati-hati. Namun, ia sempat mendengar Renee mengaduh ketika kakinya menggesek sepatu.
“Maaf,” gumam Davin.
“Kamu mau ngapain, sih? Jangan cari masalah di sini, ya!” bentak Renee.
Tak mendengarkan protes wanita itu, Davin melakukan hal yang sama dengan kaki Renee yang satunya. Lagi-lagi wanita itu terpaksa berpegangan di bahu Davin saat satu kakinya diangkat paksa Davin. Renee mengumpat.
Davin akhirnya berdiri setelah mendapatkan kedua sepatu Renee di tangannya. Ia melepas sepatunya dan mendorongnya ke depan kaki Renee.
“Pakai ini. Meski kebesaran, itu pasti lebih nyaman daripada pakai sepatu kayak gini,” Davin berkata sebelum berbalik dan berjalan lebih dulu.
Di ujung dermaga, menuju jalur hiking, Davin menoleh dan melihat Renee masih menatap sepatu Davin dengan ragu.
“Kalau nggak mau pakai itu, kamu bisa jalan tanpa alas kaki. Tapi, di hutan biasanya banyak hewan di tanah. Mungkin nanti kamu nginjak cacing, ulat, lintah, atau …” Davin menggantung kalimatnya, sementara di depan sana, Renee memakai sepatu Davin.
Davin tersenyum geli. Namun, ia segera menghilangkan senyum ketika Renee menatapnya kesal dan berjalan mendekat. Wanita itu bahkan membuang muka ketika melewati Davin. Oke. Sama-sama.
Davin memutuskan untuk mengakhiri river tour-nya dan pergi ke jalur hiking. Meski ini jalur pertengahan river tour, tapi akhir jalur hiking sudah dekat. Hanya sekitar tiga puluh menit lagi.
Davin merapatkan jaket merasakan dinginnya tanah di bawah kakinya. Namun, itu bukan apa-apa dibanding kerikil dan ranting tajam yang diinjaknya. Untung di depannya, Renee berjalan cukup pelan, jadi Davin juga bisa berhati-hati memperhatikan langkahnya.
Mereka tiba sepuluh menit lebih lama dari yang seharusnya di akhir jalur hiking. Davin melihat sebuah kafe outdoor bernuansa hutan dan ia merasa seolah bertemu pasangan jiwanya. Tanpa ragu, Davin berbelok ke kafe itu. Ia meletakkan sepatu Renee di dekat salah satu meja dan pergi ke counter untuk memesan.
“Where’s your shoes, Sir?” tanya staf kafenya.
“I lost it,” jawab Davin.
“It’s so dangerous to walk there with no shoes,” sebut staf itu.
Davin hanya tersenyum, lalu memesan makanan. Davin memesan salmon asap, split pea soup, dan pizza. Tak lupa, ia memesan minuman hangat. Dua gelas. Setelahnya, Davin berbalik untuk kembali ke meja tempat ia meninggalkan sepatu Renee dan terkejut melihat Renee sudah ada di sana.
Begitu Davin tiba di mejanya, Renee berkata, “Ini sepatu mahal. Berani-beraninya kamu ninggal sendirian di tempat kayak gini.”
Davin mendengus. “Daripada kamu ngomel nggak jelas di sini, mending kamu buruan pesan sesuatu buat hangatin tubuhmu. Bibirmu biru, tuh. Kamu kedinginan?” ledek Davin. “Wajar sih, kalau kedinginan. Dengan pakaianmu kayak gitu.”
Renee seketika memegangi bibirnya dan menatap Davin tajam. “Aku nggak selemah itu. Lagian, cuacanya nggak sedingin itu, kok. Apa yang salah sama pakaianku? It’s fashion!”
Davin mengabaikan Renee. Ia pun mulai asyik menikmati pemandangan hutan dari kafe itu. Ketika mendongak, Davin bisa melihat langit yang seolah terkurung pepohonan di sekelilingnya.
“Kamu suka banget kayaknya tempat kayak gini,” celetuk Renee.
Davin mengangguk. “Refreshing-ku di tengah penat kerjaan pergi ke tempat-tempat kayak gini. Aku juga suka olahraga ekstrim. Aku suka traveling.”
“Karena itu, kamu bikin perusahaan itu?” cibir Renee.
Davin mengangguk, mengakui. Ia lalu menatap Renee. “Mumpung kita lagi ngomongin kerjaan, aku bisa minta satu hal ke kamu?”
Renee mengerutkan kening. “Apa?”
“Kasih diskon lebih penerbangan pakai perusahaanmu buat yang pesan tiket lewat perusahaanku,” sebut Davin.
Renee mendengus kasar. “Nggak tahu malu.”
Davin mencuekkannya. Ia bahkan sudah menduga Renee akan bereaksi seperti itu. Ia hanya ingin membuat Renee semakin kesal.
Begitu minuman pesanan Davin tiba, Davin langsung menggenggam satu gelas cappuccino panas di tangannya. Davin mendesah lega merasakan kehangatan darinya. Di hadapannya, Renee juga mengambil gelas yang lain dan melakukan hal yang sama. Bahkan, tanpa sungkan, wanita itu sudah menyeruput minumannya.
“Aku lebih suka espresso daripada cappuccino,” sebut Renee sembari menurunkan gelasnya.
“Itu bukan buat kamu,” balas Davin enteng.
Renee terbelalak kaget. “Apa?”
“Aku tadi pesan dua buat aku sendiri. Pertama, aku butuh minuman hangat dan kedua, aku pesan banyak banget makanan. Itu semua buat aku,” terang Davin.
Renee mengerjap, antara bingung dan canggung. Davin harus menahan senyum kecuali ia ingin disiram cappuccino panas.
“A-aku ganti.” Renee mengangkat dagu angkuh meski tergagap.
Davin menunduk. “Nggak usah,” tolak Davin. “Aku nggak senggak tahu malu itu, kok. Mengingat keberadaanku di sini juga berkat hadiah dari istrinya sepupumu.”
Davin diam-diam tersenyum ketika menyesap minumannya. Panas, tapi Davin menahan gelas itu di bibirnya hanya agar ia bisa menutupi senyumnya lebih lama.
***