Bab 9 Suprisingly Beautiful

1523 Kata
Renee menolak mengakui jika ia mempermalukan diri sendiri di kafe hutan tadi. Sepanjang jalan dari kafe hutan tadi, mereka tak saling berbicara. Bahkan hingga mereka tiba di hotel. Hal pertama yang dilakukan Davin begitu tiba di suite adalah memanggil staf hotel dan meminta mereka menyucikan sepatu yang dipinjamkan staf kafe hutan pada Davin tadi. Davin memakai selop dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci kaki. Ketika keluar, ia membuang selopnya dan mengganti dengan selop baru yang ada di lemari kecil dekat kamar mandi. Setelahnya, pria itu melepas jaket padding-nya dan melemparkan tubuh ke sofa. Renee juga pergi ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan pergi ke kamarnya. Namun, di pintu kamar, Davin memanggilnya, “Hei.” Hei? Apa ia melupakan nama Renee? “Staf kafe tadi bilang, kalau malam ada event kembang api di cruise ship tour-nya. Aku nanti mau pergi. Kalau kamu ikut, siap-siap sore nanti,” ucap pria itu. “Aku sama sekali nggak tertarik,” jawab Renee ketus sebelum masuk ke kamar. Huh! Apa katanya tadi? Event kembang api? Ia pikir, Renee akan tertarik dan langsung merengek ikut? Namun, ketika Renee baru menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur, ponselnya berdering. Renee mengerang dan menyambar ponselnya. “Halo?” “Gimana liburan bulan madumu, Cousin?” tanya Erlan di seberang. “It’s fun,” ucap Renee dengan nada santai. “Aku baru aja balik dari …” Apa kata Davin tadi? Hiking? “Hiking. Kamu tahu, hiking?” Erlan tergelak di seberang. “Aku sih tahu, tapi itu nggak kamu banget, kan?” Renee berdehem. “Aku toh nggak pergi sendiri. Tapi, ngapain kamu telepon? Cuma mau ngabsen aja?” sinisnya.  “Enggak. Aku cuma mau nyampaiin pesan Lyra. Dia bilang, dia udah pesan tempat buat kamu sama suamimu makan malam di kapal nanti malam.” Tunggu! Apa? “Makan malam di kapal? Itu … bukan cruise ship tour itu, kan?” “Oh, kamu udah tahu? Iya, benar itu.” Renee mengumpat dalam hati, tapi ia berkata pada Erlan, “Aku emang nanti malam mau pergi ke sana sama suamiku.” “Okay. Kalau gitu, all clear. Semoga acara kalian nanti malam sukses.” Renee langsung mengumpat kasar begitu Erlan menutup telepon. Ia teringat kata-kata yang ia lemparkan pada Davin tadi sebagai balasan ajakan pria itu. Renee menjambak rambutnya dan membenamkan wajah di tempat tidur, meneriakkan frustrasinya di sana. *** Davin cukup terkejut melihat Renee sudah siap pergi, berdiri di samping tempat tidur, ketika ia baru selesai mandi sore itu. Davin mengerutkan kening. “Kamu mau ke mana?” tanya Davin heran. Renee mengangkat dagu angkuh. “Sepupuku bilang, istrinya udah mesan tempat buat kita makan malam di kapal.” Davin mengulum senyum dan mengangguk-angguk. “Aku pergi bukan karena ajakanmu!” bentak Renee. Davin mengedik cuek. “Terserah, sih. Aku juga nggak peduli kamu ikut atau enggak.” Renee mendesis kesal, sementara Davin dengan santai mengambil pakaiannya. Didengarnya Renee mengumpat kasar ketika Davin melepaskan bathrobe. Davin menoleh untuk melihat Renee sudah berbalik memunggunginya. Davin toh sudah memakai celana. Wanita itu berlebihan. “Dari sini, kita ke mana kalau mau naik kapalnya? Naik apa? Nggak jalan kaki, kan?” berondong Renee, masih memunggungi Davin. “Jalan kaki,” jawab Davin asal sembari memasukkan kaus turtleneck putih melewati kepalanya. Seketika, Renee berputar. “Apa?” protesnya. Davin nyaris tertawa melihat Renee memejamkan mata hanya karena Davin belum menarik turun kausnya, memperlihatkan perutnya. Davin menoleh ke arah lain dan tersenyum geli sembari menurunkan kausnya. “Kenapa jalan kaki? Aku nggak mau! Aku akan telepon Erlan buat nyiapin kendaraan.” Renee masih memejamkan mata dan mencari ponselnya di atas tempat tidur. Iseng, Davin naik ke tempat tidur dan mengambil ponsel Renee. Namun, saat itu juga, Renee yang masih memejamkan mata tersandung dan hampir jatuh. Davin refleks menangkap tangan wanita itu dan menariknya ke arah Davin. Renee membuka mata, tampak terkejut mendapati dirinya berada di atas tubuh Davin, di atas tempat tidur. “Kamu mau ngapain?!” bentak wanita itu keras, membuat satu tangan Davin yang bebas menutup telinganya yang berdenging seketika. Renee meronta berusaha menarik tangannya dari pegangan Davin. Saat itulah, Davin merasakan tubuh Renee menyentuh tubuh bagian bawahnya. Davin terkejut mendapati reaksinya sendiri. Ia melepaskan tangan Renee dan menggulingkan wanita itu di sebelahnya sebelum berdiri, berusaha mengusir panas yang menyebar di seluruh tubuhnya. Davin menatap Renee dengan kening berkerut. Kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini pada wanita itu? Dulu, ciumannya. Sekarang, tubuhnya. Davin bukannya benar-benar menginginkan tubuh itu, tapi … kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini atas tubuh wanita itu? Renee melemparkan sumpah-serapah sembari mengambil ponselnya yang sudah Davin jatuhkan di tempat tidur. “Nanti ada shuttle car dari hotel yang ngantar kita ke dermaga,” Davin berkata, sebelum keluar dari ruangan itu. Di belakangnya, Renee mengomel kesal. *** Usai makan malam, Renee dan Davin masih duduk di tempat duduk mereka, sementara sebagian pengunjung sudah keluar karena sepuluh menit lagi event kembang api akan dimulai. Renee menatap Davin yang juga masih duduk. “Kamu nggak mau lihat kembang apinya?” tanya Renee. “Nanti. Di luar dingin banget. Nanti kalau udah mulai baru aku keluar.” Renee mendengus. “Baru dingin segini aja udah nyerah.” Davin mengangkat alis. “Kalau kamu nggak ngerasa dingin, copot mantelmu,” tantangnya. Renee mengangkat dagu angkuh, lalu melepas mantelnya juga. Tadi, mereka keluar memakai pakaian berlapis. Renee sendiri, memakai jaket bulu kesayangannya di atas mantelnya. Davin pun memakai jaket padding juga setelah mantelnya. Pria itu juga masih memakai mantel karena dinginnya cuaca, meski di dalam sini cukup hangat. Renee kini hanya memakai gaun hitamnya yang transparan di bagian lengan hingga atas dadanya. Lalu, ia mengedik menantang Davin. Davin mendengus dan melepas mantelnya, meninggalkan kaus turtleneck lengan panjang berwarna putih. Setidaknya, kaus pria itu tampak hangat. Renee tak bisa untuk tak iri. “Sekarang, kita keluar kayak gini?” Davin kembali menantangnya. Renee, tentu saja menerima tantangan itu. Ia berdiri. Davin juga berdiri. Lalu, terdengar alunan musik dari live music stage di depan restoran kapal. Wise man say Only fools rush in But I can’t help falling in love with you Renee dan Davin berpandangan. Seketika, bayangan ketika Renee berjalan ke arah pria itu di hari pernikahannya muncul di kepala Renee. Sesaat, tatapan mereka seolah terkunci, sebelum bersamaan mereka memalingkan wajah. Renee berdehem. “Kita keluar sekarang?” Davin mengangguk. Mereka keluar dari meja mereka dan berjalan bersisian. Renee tak tahu kenapa, ia berjalan dengan sangat lambat. Ia diam-diam menoleh ke samping, lalu terkejut karena Davin menatapnya. “Ap-apa?” sengit Renee, meski agak tergagap. Davin menggeleng dan menatap ke depan. Renee mengerutkan kening, heran, karena Davin juga berjalan sama pelannya dengannya. Hingga lagu itu berakhir pas ketika mereka tiba di pintu keluar. Lalu, terdengar pengumuman lagi, jika event kembang api akan segera dimulai. Renee tersentak ketika tiba-tiba Davin menggenggam tangannya. “Ayo, udah mau mulai,” ajak pria itu sembari menarik Renee berjalan keluar restoran. Namun, ketika mereka tiba di luar, embusan angin malam yang dingin langsung membuat Renee bergidik. Meski begitu, ia menahan diri dan terus mengikuti Davin yang menariknya hingga ke tepi. Namun, dingin itu sedikit berkurang ketika fokus Renee beralih pada suara ledakan yang diikuti munculnya percikan warna-warni di atasnya. Renee tanpa sadar sudah bergumam kagum melihat keindahan di atasnya. Namun, ia kembali bergidik kedinginan ketika tiba-tiba angin berembus cukup kencang melewatinya. Renee menoleh untuk memastikan Davin tak melihat itu, tapi pria itu tak ada di sebelahnya. Detik berikutnya, Renee merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Davin. “Karena kita berdua sama-sama nggak pakai mantel atau jaket, daripada kita mati konyol karena kedinginan, mending kayak gini aja,” ucap Davin di belakangnya. Memang, dengan posisi mereka seperti ini, Renee merasa lebih hangat. Lebih tepatnya, tubuh Davin seolah melindunginya dari hawa dingin. Ditambah panas tubuh pria itu yang … terasa hangat di tubuh Renee. Renee kembali mendongak ketika semakin ramai percikan warna-warni muncul di atas sana. Indahnya …. *** Ketika Davin dan Renee kembali ke hotel malam itu, mereka langsung masuk ke kamar tidur. Tanpa kata, Renee pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian, lalu kembali dan naik ke tempat tidur, bergelung di balik selimut. Davin melakukan hal yang sama, lalu ikut naik ke tempat tidur. “Kalau sampai aku demam, itu salahmu,” omel Renee. Davin menahan senyum geli. “Kan, kamu yang sok ngungkit lemah karena nggak tahan dingin. Aku nggak tahu kamu selemah ini.” “Aku hampir aja lupa kita di Kanada,” gerutu Renee kesal. “Mau aku pesenin sesuatu? Atau, mau aku buatin minuman hangat?” tawar Davin. Renee menatap Davin, tampak menimbang-nimbang, tapi kemudian ia melengos. “Nggak perlu,” desisnya. “Ya udah, kalau gitu aku bikin buat aku sendiri.” Davin lantas turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar tidur. Davin membuat minuman hangat di dapur dengan teko listrik. Ada teh, cokelat dan kopi kemasan. Davin memutuskan untuk membuat teh dan cokelat, satu untuk Renee, satu untuknya, karena ia tak tahu mana yang akan diminum Renee. Dengan membawa dua cangkir minuman hangat, Davin kembali ke kamar. Namun, didapatinya Renee sudah tertidur dengan posisi duduk bersandar di kepala tempat tidur dan selimut menutupinya sampai pinggang. Sepertinya ia menunggu Davin. Wanita itu … kenapa ia tak pernah mau mengucapkan apa yang benar-benar ia inginkan? Davin meletakkan dua cangkir minumannya di atas meja samping tempat tidur, lalu menghampiri Renee. Wanita itu pasti sangat lelah dan mengantuk, karena ia tak terbangun sedikit pun ketika Davin menggendongnya untuk membaringkannya di atas tempat tidur. Setelah menyelimuti Renee hingga ke leher, Davin kembali membawa dua cangkir minumannya ke meja di sisi lain tempat tidur. Davin naik ke tempat tidur, mengambil cokelat hangat dan bersandar di kepala tempat tidur. Ia menyesap cokelat hangat sembari menatap Renee yang sudah terlelap. Manis. Cokelatnya. ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN