Bab 10 Unpredictable Move

1669 Kata
  Pagi itu, mereka sarapan di suite, setelah memesan dari restoran hotel. Di akhir sarapan, Renee tiba-tiba berkata, “Aku nggak percaya kamu habisin dua gelas minuman sendiri tadi malam.” Davin mengangkat alis. “Kalau kamu lupa, semalam kamu udah tidur waktu aku balik ke kamar.” “Kenapa kamu nggak bangunin aku?” “Waktu aku pindahin posisi tidurmu aja kamu nggak bangun. Kamu berharap apa? Aku nyium kamu sampai kamu bangun?” “Playboy,” desis Renee kesal. Davin tak menanggapi itu dan menyesap jus apelnya. “Omong-omong,” ucap Davin, “ancamanku hari ini masih sama kayak kemarin. Kalau nanti malam kamu masih takut tidur sama aku, kamu bisa kabur. Atau pura-pura tidur. Well, yang semalam aku maklum.” Renee menyipitkan mata marah. “Aku nggak akan kabur ke mana pun atau pura-pura tidur. Kamu mau tidur sekarang juga aku fine-fine aja,” desis Renee. Davin menggeleng. “Sekarang aku harus pergi. Mau ngembaliin sepatu yang aku pinjam kemarin sambil jalan-jalan ke hutan.” “Jangan ngeledek aku!” kesal Renee. Davin menatap Renee santai. “Jangan terlalu sensitif. Aku emang cuma mau jalan-jalan, kok.” Renee memalingkan wajah kasar. “Ikut aja, kalau nggak percaya. Aku bahkan mau piknik nanti. Di dermaga yang kemarin,” sebut Davin. Renee tampak berpikir. “Apa bedanya jalan-jalan sama hiking?” “Kalau hiking kegiatan kesukaanku, kalau jalan-jalan kegiatan kesukaanmu. It’s totally different, kan?” Renee tampak siap mencakar Davin saat itu juga. “Kalau kamu bosan di sini sendiri dan nggak ada teman party, kamu boleh ikut. Nanti aku traktir espresso di kafe kemarin,” kata Davin seraya berdiri. “Cih. Cuma jalan di tengah hutan kayak gitu aja, apa serunya?” “Nanti aku tunjukin,” sahut Davin enteng. Kali ini, Renee tampaknya tertarik. *** Renee seharusnya tahu, hal seru yang akan ditunjukkan Davin adalah hal berbahaya seperti ini. Saat ini, Renee berada di atas jembatan di atas sungai. Jika jembatan ini putus, Renee akan jatuh bebas ke bawah, mendarat di atas batu-batu sungai itu. Tentu, ia tidak ingin menjadi headline berita dengan pose seperti itu. “Aku dari sini aja udah bisa lihat,” kata Renee, menarik tangannya yang sedari tadi digandeng, atau ditarik, oleh Davin. “Dari sini belum kelihatan apa-apa,” sanggah Davin. Ia kembali menyeret Renee hingga ke tengah jembatan. Tak cukup sampai di situ, pria itu tiba-tiba mendorong Renee ke pinggir jembatan, ke arah talinya. Renee refleks menjerit dan berpegangan pada tangan Davin. “Aku cuma mau kamu lihat pemandangannya dari sini,” Davin berkata. Renee menggeleng. “Udah. Aku udah cukup lihat. Aku mau turun.” Renee sudah akan pergi, tapi Davin menahan bahunya, memutarnya hingga Renee menghadap ke tali jembatan, sekaligus menatap ke arah sungai. Di sana, Renee bisa melihat cahaya matahari yang terpantul di air sungai, seolah berkilau. Indahnya .... Namun, ketika Davin bergerak di belakangnya, jembatannya bergoyang. Renee refleks meraih ke belakang. Saat itulah, Davin memeganginya. “Aku di sini,” ucap pria itu. Renee mendesah lega. “Jangan banyak gerak!” omel Renee. Davin mendengus pelan, lalu berpindah ke samping Renee. Jembatan bergoyang kecil, tapi Renee tak sepanik tadi karena Davin masih memegangi tangannya. Merasa lebih tenang, Renee bisa menikmati pemandangan indah sungainya selama beberapa saat. Hingga ... jembatan tiba-tiba bergoyang cukup kuat. Renee menjerit panik dan berpegangan pada Davin. Jantungnya seolah ikut bergoyang bersama jembatan itu. Sampai ke isi perutnya. “Davin ... aku pusing.” Detik berikutnya, Renee merasakan pelukan Davin. Jembatan masih bergoyang. Lalu, Renee mendengar suara berat tak jauh darinya. “I’m so sorry. I didn’t mean to surprise you, Guys.” Renee menoleh. Dilihatnya seorang pria bertubuh tambun, berambut pirang, berbicara pada Davin. “It’s okay. She’s afraid of height. I’m sorry for the inconvenience,” balas Davin. “Oh. I see. Excuse us, then.” Davin mengangguk. Si pria tambun ternyata datang bersama tiga pria lain dengan tubuh sama besarnya. Ketika mereka melewati Davin dan Renee, jembatan kembali bergoyang. Renee semakin erat berpegangan pada Davin. Begitu jembatan itu berhenti bergerak, Renee mengecek ke ujung jembatan. Rombongan pria besar tadi sudah tiba di menara seberang. “Ayo pergi,” ajak Renee seraya melepas pelukan dan menarik Davin menuju menara satunya tempat mereka naik. Davin hanya mengangguk. Renee berjalan lebih dulu, tapi ia berhenti ketika jembatannya bergoyang. Renee mematung. Hingga dirasakannya genggaman tangan Davin di sebelahnya. Renee menoleh, pria itu tersenyum padanya. Bukan senyum meledek, tapi senyum menenangkan. Ini ... pertama kalinya Renee melihat senyum Davin yang seperti ini. “Ayo, aku pegangin,” ucap pria itu. Renee mengangguk, lalu kembali melangkah, dengan Davin di sebelahnya, masih menggenggam tangannya erat. *** Davin mengeluarkan kotak bekal makanan yang ia pesan di restoran dari ransel dan menatanya. Sementara, Renee masih menatapnya penuh dendam. Untung saja, Davin juga membawa dua botol termos minuman hangat. Ia mengeluarkan botol teh dan cokelatnya. “Mungkin kamu perlu minum cokelat.” Davin menuangkan cokelat hangat ke gelas tutup botolnya, lalu menyodorkannya pada Renee. Meski masih dengan tatapan tajamnya pada Davin, Renee menerima cokelat itu dan meneguknya pelan. Ia tampak lebih tenang setelahnya. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu takut ketinggian?” tanya Davin. “Aku nggak takut ketinggian. Tadi aku manjat menaranya nggak pa-pa, kok,” sangkal Renee, tak terima. “Trus, tadi ngapain di jembatannya kayak gitu?” heran Davin. “Ya, aku takut jatuh! Kalau aku jatuh dan mati di sana, gimana?!” bentak Renee. Davin mengerjap. “Kamu ... kok bisa mikir sejauh itu?” “Terserah aku, dong! Ini pikiranku!” Renee kembali membentaknya. Davin mengedik santai. “Oke.” Davin hendak mencomot potongan buah di kotak makanannya, tapi Renee sudah menarik kotak itu dan memangkunya. Wanita itu lalu bergeser ke tepi dermaga. Ia sudah akan menurunkan kakinya, tapi sepatunya belum dibuka. Renee menatap kotak makanan di pangkuan dan sepatunya bergantian dengan bingung. Davin mendengus pelan, melepas sepatu dan melipat celananya ke atas, lalu melompat turun ke sungai. Renee memekik kaget. “Kamu ngapain nyebur di situ? Nggak dingin?” tanya Renee dengan nada kaget. “Dingin, tapi segar juga,” balas Davin sembari menghampiri Renee. Ia menarik kaki Renee dan melepas ikatan tali sepatu olahraga yang baru dibelinya tadi pagi di supermarket Shine World yang luar biasa lengkapnya. “Aku bisa lepas sepatuku sendiri,” Renee berusaha menarik kakinya. Davin menahan kaki Renee. “Tapi, dari tadi kamu nggak mau ngelepasin buah di pangkuanmu itu.” Renee akhirnya berhenti melawan, membiarkan Davin melepas sepatunya. Setelahnya, Davin kembali naik ke dermaga. Mengalah akan buahnya, Davin mengambil sepotong pie. Di sebelahnya, Renee asyik memainkan kakinya di air sambil memasukkan sepotong demi sepotong buah di pangkuannya. Syukurlah, sepertinya ketakutannya yang berlebihan tadi sudah lenyap. Ketika tiba-tiba Renee menoleh padanya, Davin terkejut. “Apa?” galak Davin untuk menutupi keterkejutan. Renee menunjuk sungai di bawahnya. “Dalam, nggak?” Davin menoleh ke arah yang ditunjuk Renee. “Nggak begitu di bagian sini. Kayaknya emang dikhususkan buat keluarga yang bawa anak kecil, jadi nggak begitu dalam.” Renee mengangguk-angguk dan menatap ke bawah. “Kamu mau nyoba?” tanya Davin. Renee menggeleng, tapi tatapannya masih di sungai di bawahnya. Davin memasukkan potongan terakhir pie di tangannya, lalu turun. Renee menatapnya heran. “Kamu ngapain turun lagi?” Davin tak menjawab. Ia menghampiri Renee, lalu memindahkan kotak buah di pangkuan Renee ke dek. Kemudian, ia melipat ujung celana Renee ke atas. Renee berusaha menepis tangan Davin, tapi tak berhasil. Lalu, Davin memegangi pinggang Renee. “Ka-kamu mau apa?” panik Renee seraya memegangi tangan Davin. “Pegangan,” perintah Davin pelan. Renee terbelalak kaget, lalu menjerit ketika tubuhnya melayang di udara, sebelum mendarat di sungai. Renee memekik dan langsung berpegangan pada kedua lengan Davin. “Whoa, whoa, whoa!” Renee menunduk ke arah sungai. Ia masih memegangi lengan Davin dengan erat sembari menggerakkan kakinya perlahan. “Aku nginjak batu!” jerit Renee senang. Wanita itu perlahan melepaskan pegangannya di lengan Davin dan berpegangan di dek. Ia berjalan, lalu tertawa. Davin tersenyum melihat Renee tampak bersenang-senang. Ia menyentuh air sungai dengan tangannya, lalu bergidik kedinginan. Davin kembali tersenyum sembari mengikuti Renee dan menjaga di belakangnya. Renee berhenti dan berbalik. Ia menatap Davin. Davin pikir, wanita itu akan meneriaki Davin, tapi ia malah tersenyum lebar, persis seperti anak kecil. “Kamu benar. Airnya dingin, tapi segar. Mungkin kalau lebih siang lagi, airnya hangat ya, kena matahari?” Davin menunduk menatap air sungainya. “Mungkin, kalau di musim panas.” Davin melihat riak air ketika Renee memainkan kakinya. Davin tersenyum melihatnya. “Kalau di sungai, serunya main apa?” tanya Renee. “Kamu nggak akan suka,” jawab Davin sembari mengulum senyum. “Emangnya, separah apa?” Renee terdengar penasaran. Davin membungkuk menyentuh air dengan tangannya, lalu menatap Renee. “Ini.” Davin memercikkan air ke wajah Renee. Seketika, wanita itu tampak shock. “Kamu … barusan ngapain?” “Main air. Itu yang paling seru kalau kamu main ke sungai. Tapi, ini airnya dingin kalau buat main air. Kita bisa masuk angin kalau main air di sungai sedingin ini,” terang Davin. Renee menyipitkan mata kesal. “Tapi, aku tetap nggak bisa diam aja,” katanya. Sebelum Davin sadar apa maksud Renee, wanita itu sudah meraup air dan melemparnya ke arah Davin, tepat ke wajahnya. Davin mengusap wajahnya yang tersiram air. Ia menatap Renee yang perlahan berjalan mundur. “Kamu duluan yang mulai tadi,” kata wanita itu. Davin menyipitkan mata tak rela. Ia menciduk air sungai dan mendekat. Renee tampak panik. Wanita itu terus mundur, hingga ia tiba-tiba menjerit kaget karena tersandung batu cukup besar di belakangnya. Davin melompat ke depan dan membungkuk di atas Renee, berhasil menangkap Renee sebelum wanita itu jatuh ke sungai. Tatapan Renee dan Davin bertemu. Mereka saling menatap selama beberapa saat. Renee tersadar lebih dulu dan bergerak kecil. Detik itulah, tubuhnya menyentuh tubuh Davin. Davin terkejut karena sentuhan itu bagai sengatan listrik yang mengaliri seluruh tubuhnya. Seketika, dingin air sungai itu tak lagi terasa. Dengan satu tangan berpegangan di dek dan satu tangan di punggung Renee, Davin menarik wanita itu berdiri tegak bersamanya. Davin sudah berbalik untuk menjauh, tapi ia menghentikan langkah dan kembali pada Renee yang masih tampak kaget dan bingung. Davin menggandeng tangan wanita itu dan membawanya ke tempat mereka tadi. Ia memosisikan Renee di depan dek, lalu memegangi pinggangnya dan mengangkat wanita itu ke atas. Renee memekik kaget dan seketika berpegangan erat di bahu Davin. Bahkan, sentuhan wanita itu di bahunya mampu menyebarkan panas yang tak biasa di bagian yang disentuhnya. Davin menghela napas, menjauh dari Renee dan membasuh wajah dan rambutnya dengan air sungai. Setelah kepalanya terasa lebih dingin, barulah Davin naik ke dermaga. Ia menyisir rambutnya yang basah dengan tangan. “Aku pikir kamu mau mandi di sungai tadi,” celetuk Renee. Davin tersenyum kecut. Seandainya wanita itu tahu apa yang telah ia lakukan pada tubuh Davin. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN