Sekembalinya mereka ke hotel, Renee dan Davin sepakat untuk makan siang di restoran sebelum kembali ke suite. Sejak mereka meninggalkan dermaga tadi, Renee merasa Davin lebih banyak diam. Entah apa yang sedari tadi pria itu pikirkan. Namun, beberapa kali, Renee memergoki Davin menatap Renee dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Apa? Kamu mau tanya apa ke aku?” tembak Renee di tengah acara makan siang mereka. Kesal juga karena sedari tadi Davin terus menatapnya dengan tatapan tanda tanya itu.
Davin menggeleng, lalu menunduk dan melanjutkan makan siangnya.
Renee mendecak kesal dan kembali menyuapkan spaghetti carbonara ke mulutnya. Setelah ditembak Renee seperti tadi, Davin tak lagi mencuri-curi pandang ke arah Renee.
Renee menusuk garlic bread-nya dengan agak kesal. Ada apa dengan pria ini sebenarnya? Apa ia sedang memikirkan sesuatu untuk meledek atau menantang Renee lagi? Renee tak bisa untuk tak curiga tentang itu.
Namun, usai makan siang itu, bukannya kembali ke suite bersama Renee, Davin malah pamit akan pergi.
“Ke mana?” tanya Renee.
“Ke tempat yang kamu nggak akan suka,” jawab Davin tanpa menatap Renee.
“Ke mana emangnya? Jangan ngeledek aku, ya!” geram Renee.
“Ke jembatan tadi,” sebut Davin. Ia menatap Renee sekilas, lalu kembali memalingkan wajah. “Kalau mau ikut, ayo. Siapa tahu nanti jembatannya putus pas kita di tengah.”
“b******k,” maki Renee sembari berbalik dan pergi ke lift. Apa-apaan pria itu? Kenapa mendadak ia berubah menjadi b******n b******k lagi?
Cih. Dengan bodohnya, Renee berpikir hubungan mereka sedikit membaik hanya karena pria itu membelikannya espresso di kafe hutan tadi.
Membaik, apanya? Tak akan pernah!
***
Renee sedang menonton televisi ketika Davin pulang larut malam itu. Renee hanya menoleh sekilas padanya dan kembali menonton televisi. Davin masuk ke kamar dan segera mandi. Ia berlama-lama di kamar mandi, berharap Renee sudah tidur ketika Davin keluar nanti.
Namun, harapnya sia-sia. Bahkan, ketika Davin keluar dari kamar mandi, hanya memakai bathrobe, Renee sudah berbaring di atas tempat tidur dan tampak membaca pesan di ponselnya.
Davin sedang mencari pakaian ganti ketika Renee berkata,
“Aku lagi nyari berita kamu sama cewek di Kanada, tapi belum ada.”
Davin memutar tubuh menatap wanita itu. “Apa maksudmu?”
Renee menghela napas dan beranjak duduk. “Kamu masih ingat kesepakatan kita? Nggak ada cewek lain atau cowok lain. Nggak lucu kalau kamu muncul di headline berita gosip besok, lagi jalan sama cewek padahal kita lagi bulan madu. Iya, kan?”
Davin masih bisa menahan emosi dan mengabaikan Renee. Ia berbalik, mengambil kaos dan celana, lalu akan pergi ke kamar mandi, ketika Renee kembali berbicara tajam,
“Aku udah bilang, aku akan ngasih tubuhku. Jadi, jangan coba-coba kamu tidur sama sembarang jalang di luar sana.”
Sudah. Cukup di sini sudah kesabaran Davin. Ia melempar kaus dan celana di tangannya dan menghampiri Renee. Dengan satu sentakan, Davin menarik tangan Renee hingga wanita itu terlempar ke arahnya. Tak berhenti di situ, Davin memegang pinggang Renee dan menarik wanita itu turun dari tempat tidur.
“Sekarang aku tahu, kenapa kamu bisa sepercaya diri itu sama tubuhmu. Aku juga akhirnya ngerti, kenapa kamu semudah itu ngasih tubuhmu ke sembarang cowok.”
Davin merapatkan tubuh mereka, membiarkan Renee merasakan tubuhnya. Wanita itu terbelalak kaget. Sementara, Davin tak dapat menahan erangan merasakan panas yang sudah menyebar ke seluruh tubuhnya.
Seharian ini, Davin tak bisa bertanya-tanya dan memikirkan tentang itu. Kenapa tubuh Davin begitu mudah tersulut oleh tubuh Renee, akhirnya Davin tahu jawabannya. Wanita ini adalah w*************a. Entah sudah berapa pria yang ia goda. Memikirkan itu, kepala Davin terasa panas.
Davin menggeram dan menyurukkan wajah ke leher Renee. Tak ada perlawanan. Tentu saja. Hal seperti ini pasti sudah biasa bagi wanita itu. Renee bahkan tak melawan ketika Davin mendorongnya ke atas tempat tidur.
Davin mendengus, entah kenapa ia merasa sekesal ini. Kenapa ia begitu mudah tergoda oleh tubuh Renee? Davin … tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
***
“Maaf.” Entah untuk keberapa kalinya Renee mendengar itu. Namun, untuk kesekian kalinya, Renee tak menjawab.
Davin, yang kini sudah duduk di sebelahnya, mengacak rambutnya frustrasi.
“Kenapa kamu nggak ngomong kalau ini … yang pertama?” tanya Davin kesal.
Renee menatap Davin tajam. “Apa itu penting?”
Davin mengernyit.
“Semua cowok emang sama aja. Selalu mandang cewek serendah itu. Bahkan pas mereka nggak tahu apa pun,” sinis Renee.
Davin mengumpat kasar. “Sori, oke?! Aku nggak tahu! Aku … kenapa kamu nggak coba ngejelasin? Atau … kenapa kamu nggak nampar aku atau …”
Renee memotong dengan dengusan meledek. “Apa? Kalau aku nampar kamu, kamu akan berhenti? Kamu kelihatannya bahkan nggak bisa nahan diri.”
Davin kembali mengumpat, tampak benar-benar marah, entah kenapa. Apa ia berharap Renee sangat ahli dalam hal begini? Ya, Renee tahu cukup banyak hal tentang hubungan suami-istri. Ia bahkan pernah melihat sendiri ketika teman-temannya b******u di pesta. Renee pun berpikir jika ia bisa melakukannya dengan baik. Kelihatannya tak begitu sulit. Namun, ia belum pernah ….
“Aku tahu kamu mungkin kecewa karena tadi nggak sesuai harapanmu. Tapi, aku tadi cuma shock karena rasa sakitnya. Well, mereka bilang, yang pertama emang sakit. Jadi, besok …” Kalimat Renee terbungkam oleh ciuman Davin. Ketika Davin menarik selimut yang menutupi tubuh telanjang Renee, Renee membeku. Ia mencengkeram tangannya erat.
Tiba-tiba, Davin menarik diri. Pria itu menatap mata Renee. “Kamu takut?”
Renee mengangkat dagu. “Nggak.” Sial. Suaranya bergetar.
“Aku belum selesai, kalau kamu belum tahu,” ucap Davin, membuat Renee terbelalak.
Pantas saja, tadi pria itu menarik diri begitu cepat. Renee pikir, ada yang salah dengan pria itu, tapi tak sempat bertanya karena sibuk menahan rasa sakitnya. Sialan! Kenapa rasanya sakit sekali?
“Kali ini, aku akan pelan-pelan,” ucap Davin. “Dan kali ini, rasanya nggak akan sesakit tadi.”
Renee tak bisa untuk tak meragukan kata-kata pria itu. Namun, ia tak protes. Ia tak bisa protes, ketika sentuhan lembut pria itu di seluruh tubuhnya membuat akal sehatnya entah pergi ke mana.
***
Davin menunduk, menatap wajah Renee yang tertidur di pelukannya. Tangannya mengusap lembut rambut cokelat Renee. Seumur hidupnya, Davin tak pernah merasa sebajingan ini. Ketika melihat Renee menjerit kesakitan tadi, Davin benar-benar terkejut.
Detik itu juga, ia menarik diri. Shock dan bingung. Ia masih tak percaya … ini pertama kalinya bagi Renee. Namun, cara mencium wanita itu …. Ah, benar juga. Davin pun pandai berciuman. Hanya berciuman. Karena itu, ia tak tahu harus bagaimana ketika Renee kesakitan seperti tadi.
Davin sering mendengar teman-temannya bercerita tentang kehidupan seks mereka. Seperti yang dikatakan Renee, teman-teman pria Davin selalu menganggap para wanita begitu rendah. Tak lebih hanya untuk urusan nafsu belaka.
Davin tak pernah tahu bagaimana teman-temannya selalu berkata tentang tergoda oleh seorang wanita hingga tak bisa menahan diri. Sampai ia bertemu Renee. Sampai wanita itu menciumnya. Sampai tubuh mereka bertabrakaan secara tak sengaja, masih saling berpakaian. Itu saja sudah cukup untuk … membuat Davin tergoda.
Hanya saja … Davin tak tahu kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini pada Renee. Di hadapan Renee, tubuh Davin seolah bergerak di luar kendali otaknya. Tidak. Davin tak bisa mengendalikannya.
Namun, tentu saja, untuk malam pertama, tadi itu terlalu … menakjubkan. Detik ketika tubuh Davin mengalahkan akal sehatnya, semuanya menjadi … menakjubkan. Tak hanya Davin, tapi Renee juga ….
Davin tersenyum kecil ketika kembali fokus menatap wajah Renee. Davin masih tak percaya, ia baru saja melewati malam yang menakjubkan dengan Renee. Semua tentang malam ini sungguh … menakjubkan. Davin tak punya kata lain untuk menggambarkan itu.
***
Ketika Renee bangun pagi itu, ia tak melihat Davin di sebelahnya. Renee diam-diam menghela napas lega. Namun, itu tak bertahan lama ketika pintu kamar mandi terbuka dan Davin keluar dengan rambut basah, hanya mengenakan handuk di pinggang. Renee seketika memejamkan mata.
Namun, ia malah mendengar langkah mendekat ke arahnya. Renee mengerutkan kening, memfokuskan pendengaran. Kenapa Davin semakin dekat ke sini?
“Masih sakit?” Pertanyaan lembut Davin membuat Renee membuka mata.
Ekspresi cemas pria itu membuat Renee mematung sesaat. Lalu, ia merasakan usapan lembut Davin di rambutnya.
“Aku udah siapin air hangat buat kamu mandi,” ucap Davin yang berlutut di sisi tempat tidur.
Renee mengerutkan kening heran. “Ini … kamu ngapain?” tanyanya sembari menunjuk tangan Davin di rambutnya.
Davin menatap arah yang ditunjuk Renee, mengerutkan kening bingung. Lalu, seolah tersadar, pria itu menarik tangannya dan berdiri. Ia masih memakai selembar handuk sialan yang hanya menutupi pinggangnya ke bawah. Renee memejamkan mata dan berseru kesal,
“Pakai bajumu!”
Renee mendengar dengusan pelan pria itu sebelum ia melangkah pergi. Renee mendengar pria itu berbicara,
“Cepat mandi dan keluar. Aku akan pesan sarapan.”
Begitu pria itu keluar dari kamar tidur, barulah Renee membuka matanya dan mendesah lega.
Sekarang bagaimana? Bagaimana ia akan menghadapi Davin nanti? Apa pria itu akan menertawakan Renee karena semalam? Tidak. Yang pertama, memang Renee melakukan kesalahan. Namun, berikutnya, ia … cukup hebat. Menurutnya.
Renee mengerang dan menarik bantal di bawah kepalanya untuk membenamkan muka. Seandainya saja semalam Renee tidak kesakitan, seandainya semalam Davin tidak bereaksi seperti itu, pasti pria itu tidak akan tahu.
Tidak. Tidak apa-apa. Semalam masih bisa dimaklumi. Namun, jika Davin sampai tahu jika ia adalah pria ciuman pertama Renee, matilah Renee.
Renee melempar bantal dari wajahnya karena mulai sesak napas. Ia menarik napas, meraup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu duduk. Ia meringis merasakan nyeri di tubuh bawahnya.
Kenapa masih sesakit ini? Renee mengerang tak percaya. Memalukan sekali!
***