Bab 12 Open Up

1580 Kata
  Renee akhirnya keluar dari kamar satu jam setelah terakhir Davin melihatnya. Wanita itu berjalan pelan ke meja makan. Davin menahan keinginan untuk menggendong wanita itu. Khawatir wanita itu akan menuduhnya gila. “Kamu pesan banyak banget,” komentar Renee heran melihat meja makan yang penuh. Davin berdehem. “Pengen aja.” Renee menatap meja makan yang penuh berbagai makanan. Dari spaghetti carbonara yang kemarin siang dipesan Renee di restoran, makaroni bolognese, pizza, salmon asap, seafood fried rice, sup, sampai toast dan sandwich. Renee mengangguk-angguk, lalu mengambil sandwich. “Kamu nggak makan?” tanya Renee ketika melihat Davin hanya menatapnya, tidak ikut makan. “Aku udah,” dusta Davin. “Trus, makanan sebanyak ini siapa yang abisin?” tanya Renee bingung. “Ya, buat nanti. Paling habis ini aku lapar lagi,” sahut Davin asal. Renee menghela napas dan melanjutkan makan. Sampai Renee menghabiskan dua potong sandwich, tak satu pun dari mereka berbicara. Davin bisa merasakan kecanggungan di antara mereka. Berusaha memecah kecanggungan itu, Davin bertanya, “Kamu hari ini mau ke mana?” tanya Davin. Renee tampak ragu sejenak. “Di kamar aja. Aku malas ke mana-mana.” Davin hanya mengangguk. Setelah menghabiskan dua potong sandwich dan sepotong toast, Renee meneguk jus jeruk dan membawa secangkir teh hangat ke kamarnya. Davin hanya menghela napas menatap pintu kamar yang kembali tertutup dengan Renee di dalamnya. Apa Renee baik-baik saja? Davin meninggalkan meja makan dan pergi ke pintu kamar, tapi ia hanya berdiri di sana selama beberapa saat. Davin memutuskan untuk duduk di sofa ruang tamu saja sembari menonton televisi. Sepertinya, hari ini ia tidak akan pergi ke mana-mana. Siapa tahu Renee membutuhkannya. *** Renee terbangun dalam posisi nyaman di atas tempat tidurnya. Ia mengerjap, tapi ruangan itu agak sedikit gelap dari biasanya. Tadi, ia ingat, ia sedang duduk di sandaran tempat tidur sembari melihat-lihat sesuatu di ponselnya. Namun, ketika terbangun, ia sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur, dengan selimut menutupi tubuhnya. Renee beranjak duduk dan mencari ponselnya di tempat tidur, tapi tak menemukannya. Ketika ia menoleh ke meja, dilihatnya ponselnya ternyata ada di sana. Renee terbelalak melihat jam di ponselnya. Ternyata, ini sudah sore. Hampir petang, malah. Pantas saja kamar itu gelap. Renee tertidur seharian. Ada apa dengannya? Renee menoleh ke luar dan mengerang. Renee turun dari tempat tidur untuk menyalakan lampu, lalu menutup tirai kamar. Setelah mandi air hangat, Renee keluar kamar. Namun, betapa terkejutnya Renee mendapati ruangan di luar kamar tidur itu gelap. Renee berjalan sembari meraba dinding untuk menyalakan lampu. Begitu lampu menyala, tatapan Renee jatuh pada sumber suara erangan dari sofa. Davin tampak tidur di sofa dalam posisi tak nyaman. Pria itu mengangkat lengan untuk menutupi matanya. Renee seketika merasa bersalah ketika Davin kembali mengerang dan beranjak duduk. “Aku … cuma mau nyalain lampunya soalnya udah gelap,” Renee menjelaskan. Davin mengerjap, lalu menoleh ke arahnya. Pria itu terbelalak kaget dan langsung berdiri. Ia sempat oleng dan kembali duduk, tapi kembali berdiri lagi. “Kamu … udah bangun? Mau aku pesenin makan?” tawar pria itu. Renee mengerjap. Tatapannya mau tak mau tertuju ke rambut ikal Davin yang tampak sangat berantakan. Biasanya, sudah cukup berantakan sebenarnya, tapi kali ini … beberapa anak rambutnya bahkan mencuat sembarangan. Renee menunjuk ke rambut Davin. “Rambutmu … nggak pa-pa?” tanya Renee hati-hati. Tangan Davin seketika terangkat ke rambutnya. Pria itu berdehem. “Sebenarnya, rambutku biasanya kayak gini. Kemarin-kemarin aku masih rajin ngerapiin rambutku.” Rajin? Renee meragukan itu. Davin berdehem. “Kayaknya udah sore …” “Malam, maybe,” ralat Renee. Davin mengangguk. “Kamu pasti lapar. Kamu pesan makan malam aja dulu. Aku mau mandi. Itu … um … kamu nggak perlu nunggu aku.” Renee mengerutkan kening. Memangnya, sejak kapan mereka menunggu satu sama lain untuk makan? Mereka hanya kebetulan memesan bersamaan karena lapar di waktu yang sama. Renee mengangguk cuek, sementara Davin berjalan ke kamar. Bahunya sempat menubruk kusen pintu ketika ia berjalan sambil mengucek mata. Renee mendengus geli. Ada apa pula dengan pria itu? Apa yang membuatnya tertidur sampai sore juga? *** Ketika Davin selesai mandi dan keluar dari kamar tidur, Renee sedang menyantap makan malamnya dengan lahap. Davin berhenti di depan pintu dan menatap wanita itu lekat. Davin tersenyum ketika Renee dengan lahapnya memakan pizza. Hingga, tatapan wanita itu terarah ke Davin dengan potongan pizza masih di mulutnya. Davin mengerjap, Renee mengerjap. Davin seketika memalingkan wajah, pura-pura tak melihat. Ia berdehem dan malah pergi ke sofa, lalu duduk di sana. Ketika Davin menoleh pada Renee lagi, wanita itu sudah memegangi pizza-nya dengan tangan dan sedang menatap Davin juga. “Perasaanku aja, atau emang ada yang aneh sama kamu?” tanya Renee. Davin mengerjap. “Apa yang aneh?” “Kamu … nggak ngeledek atau ngetawain aku tentang malam pertama kita. Kamu bahkan nggak ngungkit itu sama sekali.” Davin mengerutkan kening bingung. Apa malam pertama mereka adalah hal yang harus diledek dan ditertawakan? Davin bahkan tak tahu di mana lucunya untuk menertawakan itu. “Dengar, aku emang belum berpengalaman. Secara praktek, kemarin yang pertama. Tapi, aku sekarang udah tahu dan …” “Tunggu,” Davin menyela. “Kenapa itu jadi masalah?” tanya Davin heran. Renee mengedik. “Karena kamu pasti udah terbiasa tidur sama banyak cewek, juga kamu kelihatannya udah berpengalaman banget, jadi …” “Kemarin juga yang pertama buat aku,” sebut Davin. Pizza di tangan Renee terjatuh. Wanita itu ternganga. Davin berdiri, ragu selama beberapa saat, tapi akhirnya memutuskan untuk menghampiri Renee. Davin duduk di depan Renee, di seberang meja. “Apa semengejutkan itu?” tanya Davin hati-hati. Renee yang baru sadar ia masih ternganga, segera menutup mulutnya. Ia menatap Davin, menggeleng bingung, lalu mengedik, menggeleng lagi, kemudian mengangguk, dan mengedik. “Dan apa maksudnya itu tadi?” “You’re a good kisser.” “You too,” balas Davin. “Ah …” Renee bergumam sembari mengangguk-angguk. “Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Davin. Renee mengedik. “Tanya aja. Kalau aku nggak jawab, berarti itu bukan pertanyaan yang boleh kamu tanyain.” Davin tersenyum kecil. “Kamu nggak pa-pa? Atau … masih sakit karena semalam?” tanyanya hati-hati, tak ingin menyinggung Renee. Renee mengedik. “Aku baik-baik aja. Kalau nanti kamu mau …” “Bukan itu,” Davin buru-buru memotong. “Bukan itu arah pembicaraanku, oke?” “Ah.” Renee mengambil potongan pizza yang tadi ia jatuhkan dan melanjutkan makannya. “Mau?” Renee mendorong piring pizza-nya. Davin menggeleng. “Nanti aku pesan sendiri. Kamu habisin aja. Tadi kan, kamu juga belum makan siang.” Renee tanpa sungkan menarik lagi piringnya, membuat Davin harus menahan senyum. Renee … terkadang terlalu jujur, terlalu polos, terlalu … baik. Namun, kenapa Davin tak bisa melihat itu semua selama ini? Tentu saja, karena sikap dingin dan ketus Renee. Wanita itu menyembunyikan banyak hal di balik ekspresi dingin dan make up tegasnya. Sekarang, Davin bisa melihat itu. “Kalau selama ini kamu belum pernah … tidur sama cowok, pacarmu …” “Aku nggak pernah benar-benar punya pacar,” potong Renee. “Dulu pernah. Sekali. Waktu di luar negeri. Tapi, yah … itu. Dia ngajak aku tidur dan mutusin aku waktu aku nolak.” Renee mengedik cuek, seolah itu hal yang biasa. “Kenapa?” Renee menyipitkan mata. “Aku bukan cewek murahan.” Wanita itu salah paham. “Bukan gitu, maksudku,” buru-buru Davin berkata. “Dari yang aku dengar, kamu lama tinggal di luar negeri. Teman-temanmu juga …” “Aku nggak mau terlibat skandal sama siapa pun dan aku nggak mau dimanfaatin karena itu.” Renee menghela napas berat. “Mungkin kamu nggak tahu, tapi aku ini anak yang nggak diinginkan di keluargaku. Jadi, seenggaknya, aku harus jaga sikap di luar sana kalau nggak mau ditendang kakekku. Aku bahkan nggak pernah nyium siapa pun karena takut terlibat skandal.” Davin terlongo. “Berarti, di restoran itu …” Renee tampak agak terkejut karena barusan mengakui itu. Wanita itu berdehem. “Ciuman pertamaku. Meski kayak yang kamu bilang, I’m a good kisser. Aku banyak nonton orang ciuman. Live.” Renee memasang ekspresi cuek ketika mengatakannya. “Tapi, meski aku nggak latihan sebanyak kamu, ciumanku tetap good, kan?” Renee tersenyum angkuh. “Jadi, jangan coba-coba ngetawain aku tentang itu. Aku nggak akan tinggal diam,” ancam Renee. “It was my first kiss after five years.” Davin tak tahu kenapa ia mengakui itu, tapi Renee kembali ternganga mendengarnya. “Seriously? No kissing in five years and never slept with anyone before?” “Well, aku sibuk ngebangun perusahaanku. Lima tahun lalu pun, nggak bisa dibilang ciuman. Cuma nempelin bibir aja. Tentang ciuman, aku juga kayak kamu, belajar dari apa yang aku lihat. Live.” “Uh, wow.” Yeah. Uh, wow. Davin pun terkejut mereka memiliki kesamaan untuk hal itu. Selama ini, ia menjaga diri dan hatinya untuk Siena. Meski di depan Siena, ia selalu bersikap seperti playboy. Lalu, itu juga yang ditangkap orang-orang di sekitar Davin. Namun, selain karena Siena, Davin sungguh tak punya waktu untuk tidur dengan sembarang wanita dan berciuman di mana saja karena sibuk membangun perusahaannya. “Tapi, kenapa kamu ngejalanin hidupmu kayak gitu?” tanya Renee. Davin menunduk dan mendengus. “Aku orang yang teguh dan bertekad kuat. Kalau aku udah punya satu tujuan, aku akan berusaha keras buat itu. Selama ini, alasanku Siena dan perusahaan. Aku benar-benar jatuh cinta sama Siena, tapi harus patah hati juga karena dia.” Davin tersenyum kecut. “Karena itu, kamu nekat ngelamar aku di sana?” dengus Renee. Davin mengangguk. “Aku selalu berusaha keras buat dapatin apa yang aku pengen. Tapi, kalau aku nggak bisa dapatin itu, aku akan masang target yang lebih tinggi lagi.” “Apa waktu itu, aku kelihatan kayak gitu di matamu?” Renee mengangkat alis ragu. Davin menghela napas. “Seenggaknya, satu-satunya orang di sana yang akan nerima lamaran orang asing kayak aku, cuma kamu. Yang lain kemungkinannya nol. Tapi, kamu ngasih aku harapan karena aku sempat dengar percakapanmu di telepon sebelumnya.” Renee mendengus sinis. “Penguping licik.” Davin mengangguk. “Tapi, aku yakin, kamu pasti nyesal sama keputusanmu itu,” sebut Renee. Davin mengernyit. Setelah Renee menyebutkan itu, Davin baru sadar. Sejak saat ia pertama bertemu Renee hingga saat ini, tak pernah sekali pun Davin merasa … menyesal. Mengeluh? Ya. Kesal? Ya. Marah? Ya. Menyesal? Tidak. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN