01

1373 Kata
“Duh, lama-lama kacanya pecah lho, Pa.” Irsan menoleh, menatap putrinya yang bersandar di kusen pintu dan tersenyum padanya. “Udah ganteng belum?” “Udah, kok! Mama Kina pasti terpesona dan enggak bisa nolak lamaran Papa,” kekeh Ara yang kemudian melihat arlojinya. “Pa! Udah telat, nih. Ayo buruan! Cincinnya jangan lupa!” Irsan buru-buru menutup jel rambutnya dan memasukkan kotak beludru yang ada di atas kasur ke tasnya. Sekali lagi dia menatap pantulan dirinya di cermin, untuk memastikan bahwa penampilannya sudah benar-benar menarik dan tampan! “Air minum udah bawa, Ra?” tanya Irsan sembari memasang sabuk pengamannya. “Nanti beli aja di minimarket, sekalian pas ambil kue ulang tahun,” jawab Ara seraya menoleh ke bagian belakang mobil untuk memastikan dua tas pakaian miliknya dan Irsan sudah berada di sana. Mobil sedan warna hitam itu melaju membelah padatnya lalu lintas pagi hari ini. Maklum saja, ini adalah jam-jam di mana para rakyat harus berjibaku di jalanan untuk sampai di tempat rezeki mereka. Biasanya Irsan juga akan melakukan hal yang sama dengan mereka, tapi hari ini berbeda. Hari ini adalah hari spesial seorang bocah laki-laki yang akan merayakan ulang tahunnya yang kesembilan. Tahun lalu, Irsan sudah berjanji akan mengajak bocah itu menginap di vila dan mengadakan pesta kecil untuknya. “Papa tunggu di sini aja. Kalau Papa ikut turun nanti ribet! Tambah lama!” Tanpa menunggu jawaban Irsan, Ara langsung turun dari mobil dan melangkah masuk ke toko roti. Sedangkan Irsan sibuk kembali menatap pantulan wajahnya di spion tengah mobilnya dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. Tak berapa lama kemudian, Ara sudah kembali dengan sekotak keik cokelat dengan hiasan pahlawan super kegemaran bocah laki-laki yang berulang tahun hari ini. Di tangan yang satunya, sekantong plastic berisi botol-botol air mineral menyesakinya. “Udah semuanya?” Ara mengangguk. Setelah memastikan semua keperluan mereka tidak ada yang kurang, keduanya kembali melaju menuju tujuan. Setelah setengah jam perjalanan, mobil sedan Irsan perlahan menepi dan berhenti di depan pagar sebuah rumah mungil bercat putih. Irsan dan Ara langsung turun dan melihat bocah laki-laki sedang sibuk memainkan gitar akustik mini—hadiah ulang tahun dari Ara tahun lalu. “Nale, selamat ulang tahun, ya,” ujar Ara yang berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan bocah laki-laki yang dipanggilnya Nale. Namun, seperti sudah terprogram dalam kepala Nale, bocah itu langsung meletakkan gitarnya dan berlari masuk meninggalkan Ara yang kemudian menatap Irsan. Irsan hanya mengangkat bahunya, seolah sudah tidak ingin ambil pusing dengan sikap Nale padanya dan Ara. Irsan percaya, bahwa tidak perlu waktu lama lagi, Nale akan menerima kehadiran dirinya dan Ara dalam hidupnya. “Bentar, ya. Aku masih siapin baju Nale. Soalnya dia selalu keluarin lagi baju-bajunya dari dalam tas.” “Aku bantu, Ma?” Ara menawarkan bantuannya yang disambut dengan anggukan dan senyuman oleh wanita dengan paras teduh itu. “Papa tunggu di sini aja. Nanti enggak selesai-selesai, yang ada Papa ngajakin ngobrol melulu.” Irsan menggaruk belakang lehernya dan memamerkan dereta gigi rapinya pada Ara. “Papa janji bakal diem, deh, Ra.” Ara hanya memutar matanya malas, lalu melangkah masuk dan membiarkan papanya mengekori dua wanita yang sangat dicintainya ini. “Nale enggak mau pergi!” Nale berulang kali meneriakan kalimat penolakannya. Bahkan segala bujuk rayu yang dikeluarkan oleh mamanya tidak berhasil membuat Nale menurut. Nale malah semakin marah dan membuang seluruh pakaiannya, kemudian berlari keluar kamar. “Biar aku yang buju, Ma.” Ara berjalan cepat mengikuti Nale yang berlari ke halaman belakang rumahnya. Bocah itu sedang duduk bersila dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. Jangan lupakan bibirnya yang mengerucut, membuat Ara tersenyum geli. Sungguh menggemaskan bocah ini. “Nale, hari ini kita mau nginep di villa yang gede banget lho! Kamu enggak pengen ikut?” Nale membuang muka. “Tapi nanti kita tidurnya enggak di dalem villa, Le. Kita nanti mau bangun tenda, terus nyalain api unggun …” Ara melirik Nale dari ekor matanya. “Kita masak-masak di sana, makan sate, makan es krim, pokoknya banyak, deh!” Ara tersenyum dan menaik turunkan alisnya saat Nale memalingkan wajah padanya dan menatap penuh rasa ingin tahu, tentang apalagi rencana Ara saat di villa nanti. Berkemah, api unggun, dan menikmati alam adalah hal-hal yang ingin dilakukan Nale sejak dirinya ikut pramuka di sekolah. Namun, melakukan semua itu bersama Ara dan Irsan, tidak pernah masuk ke dalam daftar keinginan Nale. Nale masih menatap lurus ke kedua netra Ara. Bagi Nale, Ara adalah cewek cerewet yang menyebalkan. Ara terus saja mengucapkan apapun yang ingin diucapkannya, meskipun Nale sudah menutup kedua telinganya dengan earphones ataupun kedua telapak tangannya. Sedangkan Irsan, pria itu tidak lebih dari orang asing yang ingin sekali menggantikan papanya. Meskipun kesal jika melihat Ara di hadapannya, tapi Nale juga tidak tahu sihir apa yang digunakan perempuan itu untuk membuat Nale menurut. Nale seperti dihipnotis oleh setiap kata ajakan yang keluar dari mulut Ara. Nale merasa, jika mengiyakan ajakan Ara, maka dirinya seolah bisa ke tempat mana pun yang dia inginkan. Sihir Ara pula yang akhirnya berhasil membuat Nale duduk di kursi penumpang belakang sedan Irsan. Suara Yuni Sara melengking tinggi dari radio yang sedang menyiarkannya, membuat perjalanan yang mungkin akan memakan waktu selama dua jam untuk sampai di villa ini semakin meriah. Belum lagi ditambah dengan papa Irsan yang turut bernyanyi—meskipun suaranya berhasil membuat seluruh penumpang yang lain menutup telinganya. “Hei, apa suara Papa sejelek itu?” “Iya!” sahut Ara semangat menertawakan papanya. “Kecoak aja mungkin pada kabur, Pa, kalau denger Papa nyanyi.” “Kamu ngeledek Papa, Ra? Oh, awas ya nanti kalau udah sampai! Papa gelitikin kamu!” Semuanya—kecuali Nale—kembali tergelak mendengar ancaman Irsan yang kekanakan. Ara sesekali melirik Nale yang sibuk memandang jalanan di luar sana, bocah itu lagi-lagi tenggelam dalam pikirannya sendiri. Jika sudah seperti itu, Ara hanya bisa menghela napas pasrah. Ya, setidaknya Nale tidak lagi merengek untuk ditinggal sendirian di rumah. Dari tempatnya duduk pula, Ara bisa melihat pantulan sorot mata papa di spion tengah, berbinar. Ara bahagia melihat papanya benar-benar kembali tersenyum setelah sekian lama memilih untuk memalsukannya. Setelah kematian mama Ara, dirinya tahu bahwa papa berusaha kuat dan terus tersenyum penuh kebahagiaan di depan Ara. Berusaha terlihat bahagia, tapi sorot matanya tidak bisa menipu Ara. Lima tahun berlalu setelah kematian mama, dan papa suatu sore pulang dengan keadaan babak belur setelah dari pasar. Ara panik, tapi papa malah terlihat biasa saja dengan luka-luka di hampir sekujur tubuhnya. Saat itu, papa dikira jambret, sehingga dihajar oleh warga. Beruntung korban jambret melihat bagaimana pakaian yang digunakan pelaku, sehingga bisa menyakinkan warga pasar bahwa papa bukanlah pelaku penjambretan. Dari sanalah kisah papa dan mama Kina bermula. Kini, bukan hanya papa yang turut bernyanyi bersama Yuni Sara, melainkan juga Mama Kina. Wanita itu sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa kedua buah hatinya baik-baik saja. Senyumnya begitu menghangatkan siapapun yang melihatnya, dan Ara jatuh cinta pada senyum itu semenjak pertama kali bertemu dengannya, saat papa memperkenalkan Mama Kina. Di pertemuan pertemuan pertama itu, Ara tahu, bahwa Mama Kina adalah wanita yang tepat untuk papa. Ara membalas senyum hangat itu dan semakin keras bertepuk tangan. Namun detik berikutnya, satu suara dentuman keras dari arah depan membuat Ara langsung menarik Nale ke dalam pelukannya. Satu suara dentuman itu yang kemudian membuat dunia Ara dan Nale tidak akan pernah sama lagi. Entah untuk berapa lama—Ara sungguh tidak tahu—cahaya matahari yang menembus kaca bagian belakang mobil itu menyilaukan kedua netra Ara. Sebelah tangannya masih memeluk erat tubuh kecil di sebelahnya. “Masih hidup! Cepat panggil ambulans! Mbak! Mbak bisa dengar saya? Mbak?” Bisa. Aku bisa dengar. Ingin sekali Ara mengatakan dua kalimat itu, tapi entah mengapa tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Pandangannya masih silau, bahkan kepalanya semakin pening, berputar, dan terakhir yang Ara ingat adalah suara sirine ambulans yang meraung cepat diiringi oleh teriakan yang terus mencoba membuat Ara sadar. Namun, semuanya terlalu membingungkan Ara. Saat tubuhnya diangkut ke brankar, Ara hanya mampu berusaha mengulurkan tangannya untuk menggapai tubuh kecil yang masih tergeletak tidak bergerak di dalam mobil yang terbalik. “Nale … Nale …” Hanya nama itu yang terus digumamkan Ara, hingga akhirnya semuanya menjadi gelap dan Ara tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuh kecil yang ditinggalkannya di sana. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN