02

1756 Kata
“Mahfud.” “Hadir, Pak!” “Mutia.” “Di sini, Pak!” “Nalendra.” Pak Rahmat mendongak dan mengintip dari balik kacamata tanpa bingkainya. “Nalendra?” “Palingan di kantin, Pak!” Pak Rahmat menggeleng, lelah dengan perilaku muridnya yang satu itu. Nalendra. “Yo! Pagi, Pak Rahmat,” sapa Nalendra sambil memberi hormat pada gurunya dan langsung duduk di kursinya yang berada di belakang—di pinggir jendela. “Dari mana kamu?” “Biasa, sarapan dulu, Pak. Silakan dilanjutkan, Pak.” “Ya memang akan saya lanjutkan tanpa kamu suruh. Kamu itu suka seenaknya sendiri di sekolah. Memangnya kamu pikir ini sekolah orang tuamu?” Nale mengangkat kedua tangannya menyerah mendengar omelan Pak Rahmat. “Mana mungkin ini sekolah orang tua saya, Pak. Ibu saya meninggal pas saya masih SD, bahkan bapak saya aja, saya enggak kenal, Pak. Lho? Kenapa jadi pada diem? Santai aja, kalian semua enggak usah ikut sedih sama nasib gue! Gue enggak perlu dikasihani.” “Sudah-sudah, ayo kita mulai belajarnya,” ujar Pak Rahmat memecah kecanggungan di kelasnya, yang dia sebabkan sendiri, karena mengungkit status Nale. Nale tidak akan marah, bahkan pemuda itu sudah lupa kapan terakhir kali dia marah saat orang-orang di sekitarnya membicarakan orang tuanya. Nale paling tidak suka jika orang-orang menatapnya kasihan, seolah hidup Nale benar-benar sengsara. Padahal saat ini dia bisa makan setiap hari, tidur di kasur empuk, bersekolah di salah satu sekolah favorit, jadi seharusnya orang-orang tidak perlu kasihan padanya. Hidup Nale sudah lebih dari kata nyaman—untuk seorang yang baru menginjak usia 17 tahun dan sudah menjadi yatim piatu. “Le, urusan lo sama Ilham udah kelar?” Nale melempar bola basket di tangannya ke dalam ring. “Ilham? Emangnya ada urusan apa gue sama dia?” Saat ini Nale dan Theo—sahabatnya—memilih menghabiskan waktu mereka di lapangan basket. Lebih tepatnya menghabiskan waktu menunggu Nale untuk dijemput kakaknya. “Lha, lo lupa kemarin habis adu jotos sama Ilham gara-gara rebutin Tania?” Nada suara Theo mulai meninggi, seraya bertolak pinggang. “Tadi pagi gue lihat Ilham keluar dari ruang kepsek, bisa-bisa lo dikeluarin.” “Gara-gara berantem sama Ilham?” Theo mengangguk cepat. “Ilham pasti ngadu ke bokapnya, bisa-bisa lo dikeluarin dari sekolah. Lo tahu sendiri, kan kalau kepsek kita itu hoping-nya bokapnya si Ilham?” tanya Theo yang melirih di bagian akhir kalimatnya. “Enggak akan. Palingan Ara yang dipanggil ke sini buat diceramahin.” Nale sekali lagi melempar bola basketnya. “Kayak sekarang ini.” “Lo enggak kasihan sama kakak lo, Le? Tiap minggu mesti dateng ke sini, cuma buat dengerin ocehan kepsek?” “Ngapain? Itu tugas dia, kan, sebagai kakak. Lagian gue juga enggak minta. Dia sendiri yang ngotot minta dikasih tahu apapun soal kelakuan gue di sekolah.” “Itu karena dia kakak lo! Dia sayang sama lo! Dia enggak—” “Kalau lo mau ceramahin gue, nunggu besok Jumat aja deh. Sekalian lo khutbah di masjid tuh!” Nale melempar bola basketnya ke Theo. “Kantin, yuk! Haus!” Theo mencebik kesal melihat sikap cuek Nale. Awalnya, Theo pikir Nale hanya cuek, tidak peduli pada gadis-gadis yang mengejarnya bak mangsa dengan cita rasa ternikmat. Namun, Theo salah! Nale bahkan menjadi pribadi yang lebih tidak peduli, jika berurusan dengan kakaknya. Bahkan tidak jarang, menyebut nama kakaknya bisa membuat suasana hati Nale memburuk. Langkah dua sahabat itu menuju kantin terhenti saat dari arah lorong kelas, Nale melihat Ara dengan ekspresi yang selalu sulit untuk dibaca itu sedang berjalan ke arahnya. Langkahnya cepat dan kedua matanya tidak sekalipun meninggalkan Nale yang terdiam mematung di tempatnya. “Kamu mau bahas pertemuanku dengan guru kamu di sini atau di rumah?” tanya Ara saat sudah berdiri di hadapan Nale. “Aku mau ke kantin beli minum.” “Nale! Kamu belum jawab pertanyaanku!” Nale mencebik seraya menghela napas kesal saat Ara kembali menghalangi langkahnya. “Kamu enggak lembur?” “Kamu kalau ditanya suka balik nanya, ya! Kamu pikir gara-gara siapa aku buru-buru ke sini?” Nale mengalihkan tatapannya ke mana pun, asalkan tidak melihat wajah Ara yang menyebalkan. “Kalau kamu sekolah dengan baik, enggak berantem, aku enggak akan di sini sekarang.” “Aku enggak minta kamu ke sini.” “Tapi kamu butuh wali.” “Aku enggak punya wali.” “Aku kakak kamu.” “Aku enggak pernah minta punya kakak, saudara, atau wali sekalipun! Semuanya cuma nyusahin!” Kalimat Nale berhasil membuat kedua mata Ara melebar dan menatap Nale penuh rasa tidak percaya. “Lihat siapa yang ngomong? Justru kamu yang nyusahin.” “Kalau gitu, biarin aku pergi.” “Le, bukan gitu maksudku.” “Aku bisa urus hidup aku sendiri. Jadi, kamu enggak perlu susah-susah mikirin urusanku lagi.” Ara menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan emosinya. Dirinya tidak ingin ikut tersulut amarah yang dikobarkan Nale. Ara tidak ingin emosi menguasainya, hingga membuatnya salah bicara, yang berakhir dengan kepergian Nale. Bocah laki-laki yang dulu meringkuk ketakutan, mendekap kedua lututnya di selasar rumah sakit, kini dengan berani menatap ke dalam dua manik Ara dengan nyalang. “Kita omongin ini nanti malam di rumah, ya? Aku mesti balik lagi ke kantor buat ngurus kerjaan aku yang belum selesai,” putus Ara. “Kamu mau pulang bareng?” “Bukannya kamu mau ke kantor?” “Ya sekalian, kan searah. Mau enggak? Kelan udah nunggu di depan.” “Kelan? Ngapain ke sini?” “Jemput kita,” jawab Ara pelan. “Theo, mau bareng sekalian?” “Ah, enggak, Mbak. Aku naik motor.” Ara mengangguk paham. “Le?” “Aku baru inget, mau ke kantin beli minum. Kamu pulang aja duluan, lagian aku masih mau main basket bareng Theo.” “Ya udah. Pulangnya jangan malam-malam, ya. Aku pergi dulu.” Nale mengangguk, lalu beranjak pergi bersama Theo untuk ke kantin. Sekali lagi Nale menoleh ke belakang dan menemukan Ara sudah melangkah menjauh. *** Matahari sudah tenggelam sejak dua jam yang lalu dan Nale baru saja menutup pagar rumahnya. Nale menyeret langkah malasnya masuk ke rumah yang masih dalam keadaan gelap, karena Ara belum pulang kerja. Nale langsung melempar tasnya ke atas kasur, membuka seluruh seragamnya dan segera mandi. Tubuhnya terasa begitu lengket setelah bermain basket seperti maniak. “Lo mau bikin gue mati, Le? Time-out. Lo kenapa, sih, mainnya kayak kesurupan gini?” Satu kalimat itulah yang keluar dari mulut Theo, setelah memilih mengaku kalau daripada meladeni ajakan Nale untuk kembali bertanding. Nale pikir dirinya sudah cukup lama berada di kamar mandi, tapi saat dia keluar pun, masih belum terlihat tanda-tanda bahwa Ara telah pulang. Kamarnya masih tertutup rapat, lampunya juga mati. Nale menoleh pada jam dinding yang menunjuk hampir pukul sembilan malam. Ini tidak seperti kebiasaan Ara. Kakak perempuannya itu akan menelepon atau setidaknya mengirim pesan, jika pulang terlambat. Namun, Nale tidak menemukan notifikasi apapun di ponselnya yang berasal dari nomor Ara. Nale hendak menekan nomor Ara, tapi kembali urung saat ingatannya kembali pada perjanjian mereka—lebih tepatnya perjanjian yang dibuat Nale sendiri—yang meminta untuk tidak saling menghubungi jika tidak ada masalah mendesak. Dan Ara terlambat pulang bukanlah hal mendesak, kan? Setidaknya itu yang ada di pikiran Nale saat ini. Berulang kalia Nale bermonolog dengan dirinya sendiri, menyakinkan dirinya bahwa Ara adalah wanita lajang yang berhak memiliki kehidupan sosialnya sendiri. Kakak perempuannya itu sudah terlalu lama hidup melajang. Bahkan di usianya yang sekarang, teman seumurannya paling tidak sudah menggendong satu bayi. Sedangkan Ara—seandainya bisa memilih—memilih menjadikan kantor sebagai rumah keduanya. Nale tidak habis pikir, kenapa kakaknya itu memilih menghabiskan waktunya hanya dengan bekerja? Kalau dipikir-pikir lagi, Nale hampir tidak pernah melihat Ara bersenang-senang, ya, minimal pergi nonton atau makan di mal, mungkin? Alih-alih melakukan itu semua, Ara lebih senang berada di kantor atau di rumah menonton Netflix. Nale hendak beranjak masuk ke kamarnya saat mendengar suara deru mesin dari luar rumah. Buru-buru Nale mengintip dari celah gorden dan melihat sebuah mobil sedan warna hitam berhenti tepat di depan pagar. Setelah beberapa saat kemudian, pintu di sisi penumpang terbuka, dan sosok Ara muncul di sana. Di tempatnya berdiri saat ini, Nale bisa melihat bagaimana Ara sedikit menunduk dan tersenyum pada sosok yang mengantarnya pulang. Sial! Kaca mobil yang terlalu gelap membuat Nale kesulitan untuk melihat dengan jelas sosok yang sekarang—sepertinya—masih ingin mengajak Ara mengobrol. Mobil sedan ini dan sosok yang ada di dalamnya begitu asing bagi Nale. Apakah itu teman baru Ara? Sekantor? Entahlah, tapi yang pasti jika Ara mengatakan bahwa itu adalah Kelan, sudah bisa dipastikan Nale tidak akan percaya! Nale kenal betul teman Ara yang sedikit kemayu itu dan mobil apa yang sering dipakainya untuk pergi dengan Ara. Nale buru-buru duduk di sofa dan menyalakan tv—berpura-pura—tidak tahu kalau Ara baru saja pulang dengan diantar orang asing. “Tumben baru pulang,” ujar Nale saat Ara sudah masuk dan langsung duduk di sebelah Nale. “Iya. Ada acara orientasi bos baru,” sahut Ara sembari membuka sepatu kerjanya, kemudian meluruhkan punggungnya di sandaran sofa. “Kamu nonton apa?” Nale hanya mengangguk ke arah tv. “Kamu udah makan?” “Udah.” “Beneran udah makan?” “Hm.” “Ya udah, aku bersih-bersih dulu. Setelah itu kita ngobrol soal sikap kamu di sekolah.” Ara bangkit dari duduknya. “Jangan tidur dulu.” “Aku ngantuk.” “Nale, jangan bikin aku marah. Aku capek.” “Tapi aku ngantuk,” bohong Nale. “Kenapa kamu berantem sama Ilham?” tanya Ara yang tidak peduli dengan alasan mengantuk Nale. “Jawab, Le. Kenapa kamu berantem sama Ilham?” “Kamu udah tahu sendiri jawabannya, kan? Enggak mungkin kepsek enggak ngomong ke kamu.” “Ya, beliau memang ngomong. Tapi aku juga pengen denger penjelasannya dari kamu.” “Buat apa? Bukannya selama ini setiap kali aku ribut, kamu lebih percaya dengan alasan yang dikasih tahu kepsek sialan itu?” “Nale!” Mengabaikan teguran Ara, Nale melangkah pergi meninggalkan Ara. Namun, tangannya yang hendak memutar kenop pintu kamarnya terhenti saat mendengar pertanyaan dari Ara. “Apa karena Ilham ngungkit soal mama kamu?” Nale mendengkus geli. “Kamu udah kenal aku berapa lama, sih? Kalau perkara orang-orang ngomongin orang tuaku, aku udah kebal. Aku udah enggak peduli, yang penting aku tahu kebenaran tentang mamaku.” “Lalu? Kenapa kamu berantem sama Ilham.” “Gara-gara cewek,” sahut Nale, lalu masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Nale melemparkan tubuhnya ke atas kasur. “Sial!” makinya, entah pada siapa. ***

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN