3. Hari yang Selalu sama

1300 Kata
Beberapa Bulan Lalu... Naura bisa mencium aroma masakan mamanya ketika keluar dari kamar, membuat langkah wanita itu langsung tergesa ketika menuruni tangga karena aroma yang menggiurkan semakin pekat tercium di hidungnya. Dan benar saja, begitu menginjakan kaki di dapur, yang bisa Naura lihat adalah punggung sang Mama yang tengah sibuk berkutat di kitchen set dengan segala perlengkapan memasaknya. "Pagi Ma..." Mama menoleh sekilas, meski tahu siapa yang menyapanya. "Pagi cantik... Gimana hari ini?” Tanya Mama ceria, sementara Naura sudah berpindah posisi duduk di meja makan, yang memang letaknya tidak jauh dari kitchen island. Wanita itu menatap punggung sang Mama, yang sudah kembali asik dengan sarapan yang dibuatnya. "Apa?" Tanya Naura bingung, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Mama. Sambil menunggu respon Mama, Naura mengambil segelas s**u coklat yang sudah tersedia di atas meja, tanpa tendeng aling-aling, pun memastikan milik siapa segelas s**u coklat yang diambilnya itu. "Hei, itu punya gue!" Protes Nata, pemuda itu memang sudah ada di sana lebih dulu, meski tidak bersuara karena sibuk dengan ponselnya. "Ck, tinggal bikin lagi apa susahnya sih? Cuma s**u coklat doang aja pelit banget." Cibir Naura, bersungut ke arah adik laki-laki satu-satunya itu. Meneguk habis s**u dalam gelas yang disambarnya, Naura tidak lantas diam, wanita itu masih sempat-sempatnya menggoda Nata dengan memamerkan gelas yang telah kosong itu di depan mata pemuda itu, hingga Nata mendengus kesal dan melemparkan tatapannya ke arah lain. "Ma, Kak Naura tuh!" Mama berdecak, mematikan kompor, mengangkat wajan nasi goreng dan membawanya ke meja makan sambil menatap kedua anak-anaknya bergantian dengan tatapan sinis, meski begitu tangannya tetap bergerak untuk membagi rata nasi goreng itu ke empat piring yang sudah tersedia di sana. "Ra, kamu itu udah jadi Dosen. Nggak malu apa masih suka gangguin adeknya kayak gitu?" Komentar Mama. "Lah, Nata juga. Udah semester 6 masih aja manja, suka ngadu sama Mama gitu. Nggak malu tuh sama kalau statusnnya laki." Ciibir si sulung masih bersungut ke arah adik laki-lakinya itu. Ah, bukan hanya adik laki-laki, tapi juga adik satu-satunya. “Kenapa memang kalau anak laki-laki manja? Nggak boleh? Kan sama-sama anak, kenapa kalau anak perempuan boleh, anak laki-laki nggak boleh? Kenapa Kakak diskriminasi gender gitu? Hayo?” “Dih.” Meninggalkan kedua kakak-beradik itu yang kemudian berdebat tanpa suara, kepala rumah tangga yang baru saja hadir di ruang makan dengan setelan kerjanya langsung menyadari pertengkaran itu hanya dengan menatap mereka. Iya, anak-anaknya yang masih saja suka berselisih di usia mereka. "Kalian tuh ya, memang nggak ada dewasa-dewasanya sama sekali? Masih merasa anak kecil atau gimana? Pada nggak sadar umur dasar.” Komentar Papa sambil menarik kursinya dan duduk di depan kedua anak-anaknya yang berada di sisi kanan dan kiri beliau. “Tahu tuh, Pa. Apalagi Kak Nana, umurnya udah pantes nikah gitu masih aja ya.” Sambung Nata tak sadar diri. “Kamu juga Nata!” Timpal Papa tidak ingin menjadi pembela salah satunya. “Lagian, kenapa Mama sama Papa jadi harus nimpalin berantemnya kalian sih? Tadi kan Mama sebenernya lagi ngomong dan nanya sama kamu, Na.” A-ah, begitukah? "Hm? Memang Mama tadi nanya apa?" Mama menatap sinis begitu mendengar balasan putrinya. Wanita itu mengitari meja sambil meletakan segelas s**u coklat pengganti ke dekat Nata, lalu duduk di kursi kekuasaannya di samping Papa. "Kamu ini, fokusnya kemana sih? Mama itu tadi tanya gimana hari ini? Kamu jadi menerima tawaran ngajar lebih dari 3 kelas tahun ini? Yakin sanggup?” Naura mengangguk dengan mulut penuh nasi goreng buatan mamanya, baru setelah makanan yang ada dimulutnya turun melewati tenggorokan, wanita itu menanggapi ucapan sang Mama. "Jadi dong, Ma. Udah di submit dari sebelum semester ini mulai kok." "Yah gawat itu mah, mahasiswa yang diajarin lo makin banyak dong yang nilainya jelek karena lo yang ngajar. Pinter kagak, sengklek iya." Olok Nata yang langsung mendapatkkan pelototan dari Naura. "Lah emang kenapa, Nat?" tanya Papa kepo. Nata tersenyum sinis menatap kakaknya, lalu beralih menatap Papa penuh hormat. Hal yang sungguh bisa terlihat jelas perbedaannya. "Ya iyalah, Pa, secara Kak Naura itu nggak sepinter kelihatannya. Apa nggak rugi tuh mahasiswa yang ngambil kelasnya," Ejek Nata nyinyir, lalu tertawa tertahan melihat reaksi Papa yang amat percaya dengan anak laki-lakinya itu. "Memangnya gitu, Ra?" Tanya Papa beralih pada putrinya. "Terserah deh menurut Nata aku gimana. Yang penting kampus, rekan kerja, bahkan profesorku udah percaya tuh sama aku, jadi bodo amat Nata mau ngomong apa." Naura meleletkan lidah ke arah Nata yang dibalas adiknya serupa. “Ehm, bener juga. Kamu itu, Nat. Jangan sembarangan ngomong gitu ah, itu sama aja artinya kamu ngeremehin anak Papa lho.” "Ckckck, udah ah! Kalian ini berdebatin apa sih? Ha yang nggak penting aja dibahas. Udah habisin makanannya, setelah itu kalian berangkat deh kemana kek sana." Putus Mama mengakhiri pembahasan yang memang pada dasarnya tidak terlalu penting itu. Tapi yah... kalau pagi mereka tidak heboh, bukan keluarga Nasution namanya. Papa cemberut seperti anak kecil, merengut menatap istrinya setelah mendengar perkataan wanita itu. "Papa juga diusir nih, Ma?" Tanya Papa manja. Mama tersenyum. "Nggak dong, kalau Papa mah malah pengin Mama iket di rumah aja seharian biar nggak kemana-mana." Bisik Mama genit sambil mengerlingkan matanya ke arah Papa. Herannya, keduanya bisa-bisanya tertawa tanpa merasa sedikitpun terganggu dengan adanya kedua anak mereka di sana. Melihat kemesraan kedua orangtuanya, Naura dan Nata pada akhirnya hanya bisa memutar bola mata malas, jelas terlihat sudah muak melihat romansa di antara kedua orangtuanya itu. Bukan apa-apa, bukan berarti mereka tidak bahagia juga dengan kedua orang tua mereka yang harmonis, hanya saja... Ayolah, sadar tempat barang sedikit. Yah, kalau memang kedua orangtuanya tidak tahu diri dan tempat, sudah seharusnya Naura yang lebih harus paham mereka, bukan? Seperti cepat-cepat menyelesaikan sarapannya dan pergi misalnya. Agar tidak lagi harus menganggu kemesraan itu. Pikiran Naura seketika beralih, melempar tatapannya ke arah Nata yang sudah dengan beringas melahap nasi gorengnya. Ckck, adik manisnya itu juga berpikiran sama rupanya. Terlihat sekali ingin segera melarikan diri dari meja makan itu. Dan benar saja, Tak lama setelahnya Nata bangkit dari kursi, berhasil menyelesaikan sarapannya dengan kecepatan cahaya. "Pa, Ma, aku berangkat dulu ya!" Pamit Nata mencium pipi Mama dan mencium punggung tangan kedua orangtuanya sebelum berlalu. “Lho, makannya udah selesai? Kok cepet banget?” “Hm, baru inget kalau ada yang harus dikerjain di kampus.” “Hatihati lho kamu, itu makanannya biar dicerna dulu dengan baik gitu.” "Iya, Ma... Nanti dicerna sambil jalan kok." Melihat adiknya yang terlihat begitu bergegas, Naura ikut-ikutan, tidak ingin ditinggal bersama dua orang tua yang selalu kasmaran itu dan menjadi seonggok daging yang tidak berguna di sana. Buru-buru Naura menenggak air mineral digelasnya, untuk mendorong turun dengan paksa makanan yang ada di tenggorokkan, lantas setelahnya bangkit, mengejar Nata yang sudah berlalu dari ruang makan. “Pa, Ma. Nana juga berangkat dulu.” “Lho, lho... kalian kok makannya cepet banget sih?” “Kan tadi Mama yang suruh.” Timpal Naura sambil bergegas berlalu, tak lupa untuk berseru. "Nataaaaa gue nebeng!" Pemuda yang baru menaruh tangannya di kenop pintu itu menoleh, menatap kakaknya dengan dahi berkerut. "Jih, punya motor sendiri juga!" "Beat gue lagi ngadat masuk bengkel." Ucap Naura dengan tampang memelas. "Lha, bodo. Naek angkot aja kalau gitu sana!" Cibir Nata meleletkan lidah, menaik pintu dan keluar dari rumah tanpa sedikitpun empati. Melihat pintu yang perlahan tertutup setelah kepergian sang adik, Naura benar-benar tidak bisa menahan emosinya lagi, lantas berseru. "Arrrggghhh Nata rese!" Umpat Naura, mendengus kesal melihat berlalunya Nata dari pandangan. Apa boleh buat, memang benar sepertinya Naura harus menaiki angkutan umum. Toh Nata tidak akan bersedia menunggunya untuk bersiap-siap. Jangankan untuk menunggunya bersiap-siap, menunggunya selesai bicara saja adiknya itu enggan. “Dasar adik durhaka!” Gerutu Naura ketika harus berjalan kembali ke bagian dalam rumah setelah tidak mendapatkan hasil apa-apa dari usahanya. Yah, Naura juga harus cepat-cepat bersiap, sebelum nanti dirinya dihadapkan dengan adegan romansa lain yang dilakoni kedua orangtuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN