Senyumnya merekah di sepanjang lorong kampus menuju kelas. Yap, itu hari pertama Naura menjadi Dosen, dosen pengganti sementara selama dosen utama mata kuliah yang diajarnya mengajukan cuti hamil. Memang sih tidak terlalu istimewa untuk kebanyakan orang, tapi menurutnya ini akan jadi pengalaman yang menyenangkan untuk karir Naura kedepannya.
Sambil menyelesaikan disertasi yang sedang Naura kerjakan untuk syarat lulus S3. Setelah mempertimbangkan dengan seksama dan memastikan bahwa pekerjaan itu tidak akan menganaggu penelitiannya, menurut Naura tidak ada salahnya menerima tawaran rekan professor pembimbingnya untuk menggantikan beliau di kelas mahasiswa S1.
Langkah Naura terhenti di depan ruang kelas tempatnya akan berbagi ilmu. Wanita itu menarik napasnya banyak-banyak, menghembuskan diri untuk membuatnya tenang menghadapi anak-anak muda yang akan berada dalam pengawasannya selama satu semester ke depan. Tangan wanita itu kemudian meraih kenop pintu ruang kelas di hadapannya, mengatur ekspresi wajahnya lalu…
"Selamat pagi semua." Sapa Naura dengan senyum formal meletakan barang bawaannya di atas meja. Naura mengingatkan diri, bahwa dirinya tidak perlu mengakrabkan diri atau terlampau melebihi kapasitasnya sebagai seorang dosen di ruangan itu.
Di luar mungkin Naura bisa menjadi teman bicara para mahasiswa, tapi di dalam kelas Naura ingin mengeluarkan wibawanya agar tidak diremehkan oleh para mahasiswa. Bukan tanpa alasan, Naura jelas memiliki pertimbangan yang matang mengapa dirinya memutuskan menjadi sosok yang demikian.
Naura kemudian memutar tubuhnya, menghadap para mahasiswa yang kini sudah menaruh seluruh perhatian padanya.
"Oke, rekan-rekan. Bisa saya memperkenalkan diri?"
Bukannya menjawab, para mahasiswa itu malah sibuk memandangi Naura sambil bercakap-cakap dengan teman-teman di sekitarnya. “Baik. Mungkin banyak di antara kalian yang bertanya-tanya, kenapa bukan Bu Inggit yang sekarang berdiri di sini padahal jelas-jelas kalian mengambil mata kuliah dengan nama beliau sebagai pengajarnya.”
Untuk sesaat kelas hening, tepat begitu Naura bersuara dan mulai menjelaskan situasinya.
“Seperti yang mungkin kalian tahu, atau ada sebagian yang belum tahu juga—Bu Inggit sedang hamil besar, dan untuk beberapa bulan ke depan beliau akan cuti sehingga semua kelas yang diajar beliau akan menjadi tanggungjawab saya. Jadi untuk kalian yang merasa kecewa dengan pergantian ini, semoga bisa menerimanya dan bekerjasama dengan saya untuk satu semester ke depan ya.”
Satu kelas masih hening, hingga kemudian Naura memberikan waktu bagi para mahasiswa itu untuk berbicara.
“Sampai sini ada pertanyaan?”
Beberapa mahasiswa mengangkat tangan mereka secara bersamaan, atau kalau bisa diperjelas hampir sepertiga isi kelas mengangkat tangan mereka terlihat ingin bertanya. Tentu saja Naura tidak bisa mempersilakan semuanya, bukan? Maka dari itu Naura memutuskan memilih salah satunya untuk mewakili, dan yang dipilihnya adalah gadis berkacamata berambut sebahu di baris kedua yang terlihat menunjukan raut begitu serius di wajahnya.
"Ya, silakan? Mau bertanya apa? Um…" Naura mencoba memikirkan sebuah nama, tapi nama itu tidak melintas sedikitpun di kepalanya.
Benar, itu hari pertamanya dan mereka belum bertukar informasi. Agaknya Naura sendiri lupa memperkenalkan dirinya di depan para mahasiswa itu.
"Iki, Bu."
"Ya Iki, silakan."
"Kelas ini masih atas nama Bu Inggit. Jadi apa nilai akhir yang akan kami dapat nanti juga dari Bu Inggit? Atau…"
Naura tersenyum tipis, memahami jelas mengapa gadis itu menanyakannya.
"Walaupun kelas ini masih atas nama Bu Inggit, Bu Inggit sudah menyerahkan otoritas semuanya pada saya. Jadi dari awal semester hingga akhir nanti, semua nilai menjadi tanggungjawab saya juga—tentu semua penilaian itu tergantung dan sesuai dengan bagaimana kemampuan kalian dalam menyerap mata kuliah ini kedepannya."
Naura menatap Iki lurus, kemudian memberikan jeda untuk gadis itu menanggapi ucapannya. Tapi beberapa detik berselang Iki tidak mengatakan apa pun, hingga Naura memutuskan untuk mengambil alih kembali keadaan.
“Jawaban saya sudah cukup dimengerti, Iki?”
“Ah ya, Bu. Terima kasih.”
Naura mengangguk sebagai balasan, dengan senyum tipisnya yang nyaris hampir tidak bisa dilihat. Matanya kembali mengedar ke seluruh penjuru kelas, di mana tatapan tak sabar mahasiswa lain sudah menunggu kesempatan mereka untuk mengajukan pertanyaan lainnya.
“Ada lagi yang ingin bertanya?”
Kali ini Naura tidak sempat memilih siapa yang ia persilakan untuk bicara, karena para mahasiswa itu sudah lebih dulu membuka mulut mereka bahkan sebelum ia persilakan.
“Kayaknya masih terlalu muda untuk dipanggil Ibu, jadi gimana kalau kami panggil Mbak aja?”
Naura bahkan tidak sempat bereaksi untuk pertanyaan itu karena pertanyaan lainnya sudah menindih pertanyaan yang lain. Begitu juga yang berikut dan berikutnya.
“Mbak udah menikah?”
“Usia Mbak berapa?”
"Pasti belum menikah, kan? Kalau pacar gimana?"
“Kriteria yang Mbak sukain untuk dijadiin pacar?”
Naura menarik dan menghembuskan napasnya pelan, bahkan memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri. Wanita itu sengaja tidak memasang senyumnya, ingin menegaskan bahwa apa yang dibahas mahasisawa itu kali ini jelas tidak pada tempatnya.
“Pertanyaan yang tidak berhubungan dengan mata kuliah yang saya ajar nggak akan saya jawab. Kalau nggak ada pertanyaan lainnya, kita bisa mulai kelas hari ini, kan? Di mulai dengan perkenalan diri, saya akan panggil nama kalian sesuai daftar absensi.”
Hanya saja, entah karena gugup atau apa, Naura sampai melupakan satu hal hingga seseorang mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebelum Naura memulai membacakan daftar absensi.
“Bu, masih ada yang mau bertanya.” Iki, gadis yang mengajukan pertanyaan pertama kali tadi kembali bersuara, menarik perhatian Naura yang langsung menatap ke arahnya dan mengikuti arah pandangan Iki yang terlempar ke arah lain sebagai isyarat.
“Berhubungan dengan mata kuliah saya?” Tanya Naura hanya ingin memastikan, meski bisa dipastikan pertanyaan yang akan mahasiswa itu ajukan tidak seperti yang sebelumnya ia terima. Sebab yang mengajukannya adalah seorang gadis lainnya.
Gadis itu mengangguk. “Seharusnya sih begitu, Bu. Kalau memang bisa dikatakan berhubungan dengan kelas ini.”
“Hm?”
“Ibu belum memperkenalkan nama Ibu sama kami. Bukannya seharusnya Ibu memperkenalkan diri terlebih dulu sebelum kita benar-benar memulai sesi kelas ini?”
A-ah…
“Maaf, saya sampai lupa soal itu. Saya pikir saya udah memperkenalkan nama saya tadi. Oke, kalau begitu perkenalkan nama saya Na—”
"Maaf, Bu, saya telat."
Naura belum sempat menyelesaikan ucapannya, ketika pintu kelas terbuka dan sosok seorang yang penampakannya terlihat seperti mahasiswa muncul di sana dengan napas terengah. Sosok itu membungkuk sambil berusaha mengatur napasnya, belum memperlihatkan wajahnya pada Naura yang menatap pemuda itu dengan sedikit tatapan heran.
Melirik arlogi yang melingkar di pergelangan tangan, mata Naura kembali pada sosok pemuda yang masih berusaha mengatur napasnya itu.
"Kamu telat 15 menit kelas saya. Lain kali kalau hal ini terjadi lagi saya akan anggap kamu absen, tapi karena ini hari pertama dan saya juga baru akan memulai perkenalan jadi saya biarkan. Silakan, kamu boleh duduk."
Pemuda itu kemudian menaikan pandangannya, dengan senyum yang sudah terukir tipis di bibir sebagai ungkapan terima kasih. Saat itu, untuk pertama kalinya mereka bertukar pandang, dan tepat di detik yang sama senyum tipis di wajah pemuda itu seketika pudar, berganti dengan raut wajah terkejut yang kini terpasang di sana.
"Na-Naura?"
"Ya?" Naura refleks menjawab ketika namanya disebut, sebelum beberapa detik setelahnya ia sadar bahwa situasinya seharusnya tidak berjalan demikian.
Pemuda ini tidak seharusnya memanggilnya seperti itu, kan? Dan dari mana dia tahu nama Naura? Di saat Naura bahkan belum memperkenalkan dirinya sendiri di kelas itu.