Ketika tangan mulai membuka pintu dan kaki melangkah masuk nuansa putih dan silver langsung tertangkap oleh indera penglihatan. Disuguhkan berbagai macam model pakaian membuat haus para kaum hawa. Mulai dari yang simpel hingga yang glamor terpampang dengan jelasnya membuat mata menjadi melotot ingin memiliki.
Butik Ezra memang cukup besar dan luas, sangat nyaman untuk berlama-lama di dalam dengan karyawati yang ramah-ramah. Ezra memang hanya mempekerjakan karyawan perempuan saja.
Butik yang sekarang adalah tempat ketiga karena sebelumnya ruangnya tidak terlalu besar. Berhubung Ezra sudah banyak dikenal orang dan membutuhkan ruang yang lebih luas jadi ia memilih gedung yang tak jauh dari lokasi butiknya yang terakhir.
Pencapaian Ezra bisa dikatakan cepat dengan modal nekat dan berbekal hobi ia memutuskan untuk membuka butik sendiri tentunya apa yang Ezra capai tak lepas dari bantuan sang ibu.
"Buk, pakaian ini jadi Ibuk kirim sendiri?" tanya karyawati yang memakai hijab.
Ezra menoleh lalu memandang sang karyawati kemudian mengangguk sebagai jawaban iya setelah melihat pakaian yang dipegang karyawatinya itu.
"Tolong kamu bungkus saja ya, Rina." Karyawati yang bernama Rina itu pun mengangguk lalu permisi kepada Ezra selaku bosnya.
Ezra kembali ke dalam ruangannya. Di dalam ruangannya ia duduk di sofa. Tangannya menggapai sebotol air mineral karena tenggorokannya kering.
"Lelah banget," gumam Ezra setelah tenggorokannya basah.
Hari ini cukup melelahkan bagi Ezra karena pengunjung yang banyak ingin bertemu dengannya sekedar ingin tahu perancang dan pemilik butik. Tentunya berbincang-bincang juga. Tak jarang beberapa kaum emak-emak itu mempromosikan anak lelakinya masing-masing. Selalu saja ada yang berniat menjadinya menantu.
"Apa aku terlalu sibuk dengan dunia fashion hingga banyak yang ingin menjodohkan ku padahal aku bisa mencari sendiri," gumam Ezra lagi sambil menghembuskan napasnya kasar.
Apa yang digeluti Ezra sekarang memang banyak menyita waktunya sampai urusan menikah pun tak ia pikirkan.
Tok tok..
Suara pintu diketok dari luar dan Ezra mempersilahkan masuk.
"Buk, ini pakaiannya," ucap Rina berdiri.
"Letak sini saja, Rin." Ezra menunjuk meja di depannya. Rina pun mengangguk lalu meletakkan pakaian yang sudah rapi itu di meja sofa.
"Hari ini kita tutup butik lebih cepat ya, saya kasih waktu 1 jam untuk beres-beres," ujar Ezra memejamkan matanya karena kelelahan sungguh menyerang dirinya.
"Baik, Buk." Rina pun kembali keluar untuk memberitahu yang lainnya.
Butik biasanya tutup jam 6 sore dan itu dihandle oleh asistennya. Hanya saja saat ini asistennya sedang pulang kampung karena orang tuanya sakit. Wajar, Ezra merasa sangat kerepotan.
"Tama cepatlah pulang," gumam Ezra.
Ezra memutuskan untuk tidur sebentar selama 1 jam an selagi menunggu karyawatinya beres-beres.
Berbaring di sofa lalu memejamkan matanya, saat matanya baru terpejam ponselnya malah berdering. Ezra merutuki siapa yang meneleponnya di saat seperti ini. Dan benar saja tidak salah dugaan.
"Hallo, apa!" Ezra malas sendiri untuk bicara karena kesal.
"Hilih si bos marah-marah aja," jawab seseorang di seberang telepon.
"Saya baru pejamin mata, Tama." Ezra semakin kesal mendengar cekikikan asistennya itu.
"Ya maaf, kan saya tidak tahu. Saya hanya seekor lebah." Tama semakin cekikikan setelah tahu bahwa bosnya itu kesal.
"Mau apa?" tanya Ezra to the point.
"Mau duitttlahhh," kekeh Tama dari seberang telepon.
"Idihhh asisten kurang ajar," ucap Ezra. Ini hanya candaan dan memang sudah biasa ia dan asistennya bicara seperti itu. Berhubung mereka juga bersahabat bukan hanya sebatas bos dan asisten.
"Lagian nanya mau apa, ya jelas mau duitlah," tawa Tama terdengar nyaring di telinga Ezra.
"Bercanda kali bosss," kekeh Tama lagi. Ia tahu bosnya akan mengomel panjang.
"Kerja enggak, minta duit iya," ucap Ezra membuat Tama tertawa.
"Ciee rinduu," goda Tama.
"Buruan balik kamu, Tama." Ezra sungguh-sungguh mengucapkan itu.
"Yaelah baru juga beberapa hari, besok deh saya balik ke sana," kata Tama.
"Bagus, lebih cepat lebih baik." Ezra sedikit mengangkat sudut bibirnya.
"Tapi naik gaji yaa, hahah." Tama tertawa setelah mengatakan kalian yang kurang ajar itu.
Ezra menggeleng-gelengkan kepalanya sudah terlalu kesal dengan asistennya ini.
"Lalu gimana keadaan orang tua kamu, Tama?"
"Alhamdulillah, sekarang sudah membaik makanya besok balik ke sana," jawab Tama.
"Syukur deh kalau gitu. Kamu tu ada perlu apa telepon saya?"
"Telepon bos sendiri gak boleh?" goda Tama.
"Hilihhh," geram Ezra.
"Saya ngerasa bos lagi rinduin saya makanya telepon mumpung jaringan ada," kata Tama serius berhubung sinyal sulit di wilayah tempat tinggal orang tuanya.
"Saya gak rinduin kamu, Tama."
Tama tertawa mendengar penuturan bosnya, ternyata itu hanya perasaan saja.
"Ya udah saya mau tidur dulu, mumpung mata saya mau terpejam ini, byeee." Ezra mematikan sepihak sambungan telepon. Belum sempat Tama menjawab.
Ezra mematikan nada dering ponselnya karena ia yakin Tama akan berusaha meneleponnya lagi untuk mengganggu. Ia pun meletakkan ponselnya di atas meja.
Selanjutnya, Ezra memejamkan matanya. Menikmati waktu tidur sebentar walau tidur sore itu tidak baik bagi kesehatan.
Beberapa hari ini bisa dikatakan Ezra sangat kelelahan karena harus mengurus semuanya sendiri, biasanya ada asistennya yang menghandle seluruhnya dan juga mengurusi Ezra seperti makanan dan lainnya.
Beberapa hari ini Ezra bahkan makan sembarang dan tidak seimbang itu karena ia tidak ada waktu untuk mencari menu bahkan ia telat makan. Pantas saja ia merasa kelelahan.
Beberapa hari ini juga Ezra tidur tidak sesuai dengan jadwalnya. Waktu istirahatnya juga berkurang karena tidak ada yang mambantu. Lemas itulah yang ia rasakan beberapa hari ini. Tidak ada gairah semangat baginya.
Tok tok..
Pintu kembali diketok dari luar membuat Ezra terbangun dari tidurnya. Ia pun mempersilahkan masuk dan ternyata Rina.
"Buk, semuanya sudah selesai." Rina tersenyum canggung menyadari kekusutan bosnya yang ia tebak baru bangun tidur.
"Oh ok." Ezra mengangguk.
"Maaf Buk, sudah mengganggu waktu tidurnya," ujar Rina merasa tidak enak sudah mengagetkan bosnya hingga terbangun.
"Gak papa santai aja," ucap Ezra sambil tersenyum karena ia yakin karyawatinya itu merasa bersalah.
"Ya sudah kalian siap-siap di bawah. Saya cuci muka dulu dan beres-beres sebentar," ujar Ezra yang diangguki oleh Rina.
Setelah itu Rina permisi kembali ke bawah. Butik Ezra memang terdiri jadi 2 lantai. Lantai dua khusus untuk ruangannya bahkan ada 1 kamar dan dapur. Sewaktu-waktu jika Ezra malas pulang ke apartemen, ia bisa menginap di butiknya sendiri.
Ezra pun ke kamar mandi untuk mencuci muka dan merapikan rambut serta memoles sedikit wajahnya agar tidak kelihatan pucat akibat kelelahan.
Memandangi wajah lemasnya Ezra berpikir ia harus meminum vitamin atau ke dokter untuk mengecek kondisi kesehatannya sebelum ia benar-benar jatuh sakit.
Jika Ezra jatuh sakit, otomatis akan membuat ia sama sekali tidak bisa bergerak ke mana-mana bahkan beranjak dari tempat tidur pun akan susah bukan karena lemahnya, tapi keluarganya akan membuat ia istirahat tanpa boleh ngapa-ngapain terlebih lagi abangnya. Membayangkan ia akan hanya berbaring di tempat tidur saja sudah membuatnya menggelengkan kepala, tidak mau hal itu terjadi. Sudah cukup sekali ia seperti itu.
Setelah selesai, Ezra keluar dari kamar mandi lalu bergegas memasukan ponselnya ke dalam tas dan tak lupa pakaian yang sudah dibungkus karena ia akan mengantar pakaian itu ke seseorang. Turun ke bawah melihat karyawatinya sudah berkumpul lalu mereka semua berpamitan padanya. Mereka bersama-sama keluar dari butik lalu Ezra mengunci pintu butik.
Ezra berjalan menuju mobil putihnya. Masuk dan mulai menyalakan, selanjutnya mobil bergerak dengan kecepatan normal.
Tujuan Ezra adalah rumah orang tuanya. Ya, pakaian itu adalah milik ibunya lebih tepatnya itu rancangan perdana Ezra dan akan ia berikan pada wanita terhebat dalam hidupnya, ibu.
Sudah beberapa hari juga Ezra tak pulang ke rumah untuk melihat kondisi orang tuanya serta abangnya. Walau setiap hari selalu mengobrol.