Bab 1
"Cemberut aja."
Yang diajak bicara hanya mengulas senyum, seraya tangannya merapikan barisan snack yang berjejer rapi di rak.
"Ada masalah?" Teman wanitanya kembali bertanya.
Terdengar helaan nafas yang begitu berat.
"Pihak bank datang ke rumah dan mereka menyuruh segera melunasi semua tunggakannya."
"Terus sekarang gimana?"
"Pikiranku buntu, kalau seandainya toko ini aku jual lantas nantinya aku dapet uang darimana? Kamu sendiri tahu'kan hanya toko ini satu-satunya mata pencaharianku." Lirihnya perih.
"Kenapa gak minta bantuan sama keluarga suami kamu aja, toh itu juga'kan hutang suamimu juga."
"Almarhum, Ray! Almarhum." Koreksi Nada dengan gurat kelelahan di kelopak matanya.
Ya, wanita itu bernama Nada Anjani. Seorang janda beranak dua yang ditinggal meninggal oleh suaminya termasuk dengan semua hutang bekas dulu saat mereka masih mengarungi rumah tangga.
"Ya, iya almarhum, what ever lah. Kalau seandainya dulu dia becus jadi suami keadaan ini gak perlu kamu lalui." Raya masih keukeuh dengan pendapatnya menyalahkan suami Nada yang sudah meninggal.
Nada sedikit merenung, di satu sisi apa yang dikatakan temannya itu ada benarnya juga, tapi di satu sisi lagi ia percaya bahwa takdir dalam hidupnya adalah satu-satunya takdir yang terbaik.
Dengan langkah gontai, Nada kembali merapikan rak satunya lagi yang masih berantakan.
Sudah dua bulan ini ia mengandalkan satu-satunya toko kue miliknya setelah sepeninggal suaminya karena kecelakaan. Bukan mudah bagi Nada yang sekarang menjadi tulang punggung keluarga, mengingat sedari dulu ia harus berjuang mencari tambahan penghasilan sembari mengurus rumah dan kedua anaknya.
Tatapannya lurus keluar toko, tanpa sengaja matanya melihat sepasang manusia yang baru keluar dari sebuah toko HP yang tergolong mahal, tangan wanita itu merangkul lelakinya seraya bibirnya terus mengukir senyum, mereka menaiki mobil berpintu dua berwarna merah menyala yang membuat semua mata tertuju pada pasangan itu.
Nada mengukir senyum, entah kenapa dia selalu bahagia saat melihat seorang perempuan diperlakukan layaknya bak tuan putri, dalam hatinya tidak pernah menggerutu bahwa ia iri atau tidak suka. Hanya saja ia selalu bertanya-tanya, "kapan ya dirinya diperlakukan seperti itu?"
Dering telpon yang berasal dari ponsel milik Nada membuat lamunannya seketika buyar.
Ia melihat panggilan dari nomer yang tidak dikenal, dahinya mengernyit seolah sedang mengingat-ngingat apakah akhir-akhir ini ia memberikan nomer ponselnya pada orang lain?
"Bengong aja kenapa gak diangkat?" Tanya Raya seraya melihat layar ponsel Nada.
"Gak usahlah, palingan juga orang iseng."
"Aish, dasar kau ini siapa tahu dari orang yang mau order." Ucap Raya dengan yakinnya.
"Sejak kapan yang mau order menghubungi nomer pribadi aku, hah?"
Raya mengangkat bahunya menandakan bahwa dia tidak tahu jawabannya.
Setelah suaminya meninggal, memang banyak sekali nomer yang tidak dikenal masuk, entah itu lewat panggilan telepon, video ataupun chat, namun sayangnya Nada jarang merespon kecuali kalau pada teman-temannya yang sudah dikenal.
Itulah kenapa ia mengganti nomer pribadinya dengan yang baru untuk menghindari orang-orang yang gak jelas.
Matahari mulai menyembunyikan sinarnya di sebelah barat, baik Nada maupun Raya sedang bersiap untuk pulang lebih awal berhubung hari ini sepi mereka memutuskan untuk mampir dulu ke salah satu Mall hanya sekedar melihat-lihat alias cuci mata.
Baru saja mereka mau keluar, Tiba-tiba datanglah dua orang pria bersetelan jas rapi.
"Apa benar toko ini milik Mba Nada?" Tanya salah satu pria itu.
"Iya, ini toko milik saya, ada apa ya, Pak?" Ucap Nada penuh dengan kebingungan.
"Maaf, Mba. Suami anda telah menjaminkan toko ini untuk uang yang di pinjamnya dan bulan ini sudah jatuh tempo. Jadi mulai besok Mba harus mulai keluar dari toko ini.
Jantung Nada serasa berhenti saat itu juga, bahkan kepalanya mengulang pertanyaan yang sama, "kapan?" Iya, kapan suaminya menjaminkan toko ini dan uangnya kemana?