Scandal With The Boss

Fiona mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia mencubit pipinya lalu menyadari kalau apa yang terjadi antara dirinya dan atasannya adalah sebuah kesalahan. Kesalahan fatal. Skandal. Itu artinya dia telah menciptakan aibnya sendiri. Yang dia ingat tentang semalam adalah mereka minum-minum di bar baru milik Deon—Kakak Darell—atasannya yang saat ini sedang berbaring di sampingnya tanpa mengenakan sehelai benang pun. Dan entah bagaimana dia terbangun dengan keadaan yang sama persis dengan Darell.  Fiona segera menarik selimut untuk menutupi tubuh Darell. Dia memejamkan mata agar pandangannya tidak menangkap sesuatu yang sangat sensitif.  “Ya Tuhan...” merasa bersalah dan berdosa adalah perasaannya saat ini.  Darell berganti posisi, dia memiringkan tubuhnya ke samping Fiona yang sudah terduduk sembari menutupi tubuhnya dengan selimut.  “Hemmm.” Darell membuka mata perlahan.  Fiona membeku. Dia takut Darell akan menyalahkannya. Bosnya mungkin akan menganggapnya sebagai w************n. Tapi, semalam di luar kendali Fiona.   “Kamu sudah bangun?” tanya Darell seakan tidak mengingat apa pun tentang semalam.  Fiona mengangguk kaku seperti robot tanpa menatap Darell.  Hening.  “Ibuku pasti akan menyuruhku menikahimu.”  “Eh?” Fiona menoleh. Meskipun baru bangun tidur tapi ketampanan Darell malah semakin menggila. Pria berhidung mancung dengan tinggi badan 185 sentimeter itu tersenyum pada Fiona.  “Aku akan cerita kepada anak-anak kantor kalau kita sudah tidur bersama.” pernyataan pria itu membuat Fiona tercengang. Mengakui aibnya di depan anak-anak kantor? Apa pria ini sinting?!  “Jangan, Pak!” Pekik Fiona.  Apa ini semacam ancaman atau jebakan sih? Fiona menerka dalam hati.  “Mereka harus tahu.” kata Darell yang membuat Fiona semakin tak mengerti.   “Kita sudah melakukan kesalahan dan aku tidak mau siapa pun tahu soal ini. Ini skandal yang akan membuat namaku jelek!”   “Skandal yang bagus untuk disebarluaskan.”   Fiona semakin tidak mengerti dengan Darell. Oke, Darell tumbuh besar di Singapura bersama orang tuanya dan kakaknya membangun perusahaan multimedia di Indonesia. Deon tinggal di Indonesia lebih dari 10 tahun bersama paman dan tantenya sedangkan Darell tinggal di Indonesia baru setahun lamanya. Pria itu fasih berbahasa Indonesia. Meskipun status Fiona hanya sebagai sekretarisnya tapi Fiona cukup dekat dengan Darell.  Bahkan Fiona terkejut saat Darell dengan ekspresi girang menunjuk-nunjuk seekor ayam tetangga yang melintasi rumah Fiona. Saat itu Darell sengaja main ke rumah Fiona. Darell bilang dia baru pertama kalinya melihat ayam. Para tetangga Fiona yang melihat pria tampan dan tinggi itu tertawa karena merasa lucu.   “Aku baru pertama kali lihat ayam hidup.” kata Darell saat itu.   Fiona hanya memasang ekspresi kebingungan. Mungkin tidak ada ayam hidup di Singapura.  “Bantu aku cari ayam hidup.”  “Hah? Untuk apa?”  “Aku mau kasih hadiah seseorang.”  “Hah?” Fiona berkata ‘hah’ dengan lemas. Memberi hadiah seseorang dengan seekor ayam.  “Aku akan cerita kalau aku sudah tidur sama kamu.”  “Jangan, Pak Darell! Jangan! Ini sama saja dengan membunuh nama baik saya, Pak.” Fiona meraih pakaiannya dan segera mengenakannya dari balik selimut.   “Kamu harus bangga bisa tidur sama saya.”  Fiona tak habis pikir dengan pria ini. Melakukan kesalahan fatal harus dibanggakan karena melakukannya dengan atasannya sendiri, sedang Fiona tahu mereka berdua tak memiliki status apa pun kecuali atasan dan bawahan.  “Apa Anda sinting?!” Fiona bangkit dari ranjang dengan sewot. Dia tidak tahu kalau Darell adalah pria yang memiliki ego tinggi hingga Fiona harus bangga tidur bersamanya. Tapi, bagi Fiona apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Kesalahan fatal dan semakin fatal karena pria yang berhasil menyentuh tubuhnya adalah pria yang hanya ingin memanfaatkannya.  “Well, anggap saja aku salah ngomong tadi. Aku pikir kamu senang kalau kita melakukannya.” Wajah pria itu tampak bersalah, tapi tidak membuat kemarahan Fiona berkurang.  “Aku mabuk karena marah kekasihku telah mengkhianatiku. Dia menjalin hubungan dengan Deon.”  Fiona kembali tercengang. “Pak Deon?”  Darell mengangguk. “Sabrina.”  Fiona kembali tercengang mendengar nama wanita yang menjadi sekretaris Direktur Utama itu. “Sabrina sekretaris Pak Deon?”  Darell mengangguk kecil.  “Dia pacar Pak Darell?”  “Sekitar enam bulan lalu. Dan yang membuat aku semakin terluka sebenarnya Sabrina sudah lebih dulu menjalani hubungan dengan Deon. Dia meminta Deon menutupi hubungannya dan begitu pun sebaliknya. Dia meminta aku menutup rapat hubungan kita.”  Sabrina memang cantik. Wanita itu sering menghabiskan waktunya ke klinik kecantikan selama berjam-jam. Usianya masih 25 tahun lebih muda setahun dari Fiona. Tapi usut punya usut rumahnya sangat kecil dan berada di perumahan kumuh. Namun, Fiona pernah dengar kalau Sabrina suka titip tas branded pada Deon kalau Deon pergi ke Singapura atau Jepang.  “Aku minta maaf, Fi. Aku pikir kamu suka.”  “Anda menganggap saya murahan dengan berpikir kalau saya menyukai apa yang kita lakukan dan melampiaskan kemarahannya kepada saya?” Fiona menunjuk dirinya sendiri.   “Fi, Dengerin dulu, Fi, aku tidak...”  Fiona bergegas meninggalkan kamar hotel. Darell menyusulnya. Pria itu hanya melilit tubuhnya dengan selimut. Dan hotel yang mereka tempati adalah salah satu hotel milik keluarga.  Manajer hotel yang sedang melewati lobi dan tak sengaja melihat putra pemilik hotel yang hanya mengenakan selimut mengejar seorang wanita ternganga. Mulutnya terbuka. Bahkan pada saat dia berpapasan dengan Darell, dia tak bisa menyapa putra pemilik hotel itu. Bibirnya terkunci. Terkejut bukan main.  Dalam hati Fiona menyumpah serapah. Dia membenci pria itu. Dia akan meminta Deon untuk mengganti pekerjaannya. Apa pun itu asal bukan sebagai sekretaris Darell lagi.  Sebelum Darell memberi tahu kakak dan keluarganya karena skandalnya ini, rekaman CCTV sudah sampai ke tangan Deon dan orang tuanya.  *** Fiona Pov  Aku mengabaikan puluhan telepon dari Darell. Bagaimana bisa aku tidur bersamanya dalam semalam. Dan bagaimana bisa aku mabuk sepayah itu. Apa karena Si Suci dan Si Luna. Seingatku, mereka terus memaksaku untuk minum kan lalu mereka ke mana semalam hingga aku bisa berada di kamar hotel bersama Darell.  Aku menelepon Suci. “Halo, Ci?”  “Apaah! Aku masih ngantuk. Bentar lagi aku kantor nanti ngomong saja pas di kantor. Aku lagi nggak mau mikir.” telepon mati secara sepihak.  Sialan!  Lalu aku menelepon Luna tapi bukannya suara Luna malah yang terdengar suara anjing yang terus-terusan menggongong.  Mereka memang nggak bisa diandelin. Bagaimana kalau Darell seriusan bakal bilang ke orang kantor kalau dia sudah tidur bareng aku? Astaga, aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan untuk mencegah kekonyolan pria itu. Dia menjadikan aku sebagai pelampiasan tanpa memikirkan perasaanku. k*****t!  ***