bc

Piramida Cinta di Kota Yogya [Completed]

book_age16+
482
IKUTI
2.4K
BACA
dark
friends to lovers
goodgirl
tomboy
prince
princess
drama
comedy
sweet
campus
like
intro-logo
Uraian

Piramida cinta telah aku temukan di Yogya seraya dengan benih-benih cinta yang tumbuh subur di dalam hatiku. Di kota yang romantis dengan keindahan bangunan candi yang penuh misteri. Di langit biru Yogya, aku menemukannya. Terelak oleh logika meski perasaan selalu berkata, ‘Ya’. Tertahan di bibir meski suara hati ingin mengemukakannya. Terjerat dalam jiwa dan butuh waktu untuk memasang kembali sebuah piramida cinta yang tertidur di jantung hati.

Vanessa

“Jane pernah berkata kepada Amoer bahwa cinta itu seperti matahari. Ada saatnya terbit, menghangatkan di pagi hari, menyilaukan di siang hari, dan saat terbenam itu tandanya luka, karena berwarna merah jingga. Lalu matahari tenggelam dan langit berubah gelap. Kadang matahari juga tidak muncul karena tertutupi awan. Jika tidak ada matahari di siang hari pertanda hujan. Langit akan gelap dan hujan akan turun. Jika di dunia ini tidak ada cinta, pertanda kegelapan menguat dan air mata akan bercucuran.”

Dion

“Cinta itu ibarat sebuah piramida berukuran kecil. Bertingkat sesuai kadar rasa. Di tingkat pertama diawali dengan pertemuan, lalu tingkat selanjutnya adalah rasa suka hingga puncaknya adalah cinta. Setelah itu ada piramida berukuran besar. Di piramida berukuran besar itulah letak cinta di hati seseorang diuji. Akan ada rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kepedihan. Untuk mencapai puncaknya adalah saling berpegangan erat, saling menguatkan ketika cinta diterpa badai. Bukan saling melepaskan. Ketika saling melepaskan, piramida akan rubuh dengan sendirinya.”

chap-preview
Pratinjau gratis
BAB 1
Sesaat sebelum masuk kelas, aku datang ke ruangan Ibu Kalista. Salah satu dosen yang baik, ramah dan terpercaya. Agak ragu juga bilang terpercaya, aku belum menemukan data yang akurat untuk bisa menyebutnya terpercaya. Dia bisa meramal nasib seseorang hanya dari melihat garis-garis yang melengkung di telapak tangannya. Dan itu adalah alasanku datang ke ruangannya. Mungkin aku adalah mahasiswi ke seribu yang mendatangi ruangannya hanya untuk konsultasi masalah pribadi. “Apa kamu yakin ingin diramal?” tanya Bu Kalista dengan celak gelap dan tebal di bawah matanya, membuat mata Bu Kalista terlihat horor. “Dari sekian ribu orang yang diramal, ramalanku hanya melesat 2% saja, lho.” tambahnya, membuat aku takut sekaligus penasaran. “Bagaimana?” Bu Kalista mencondongkan wajahnya di depanku. Aku mengerjap-ngerjap sesaat. Dengan kemantapan hati aku mengatakan, “Ya,” setelah rasa penasaran yang berbulan-bulan berkecamuk di benakku tentang mimpi itu. Mimpi yang menghiasi malam-malamku di asrama. Aku mengulurkan tangan di atas meja. Bu Kalista mulai menarik tanganku dan mengusap-usap telapak tangan dengan jemari tangannya. Aku merasa tangan Bu Kalista hangat dan basah. Keringat. Matanya memelotot melihat garis-garis melengkung di tanganku. Seketika matanya menatap tajam ke arahku, tepatnya ia menatap bola mataku. Mengunci pandangan mataku untuk beberapa detik. Lalu dengan gerakan cepat Bu Kalista kembali mengusap-usap telapak tanganku dan mulutnya mulai komat-kamit tidak jelas. Terdengar seperti bisikan. Bu Kalista menutup rapat telapak tanganku dengan telapak tangannya. “Ya Tuhan, semoga aku salah.... semoga aku salah.... semoga aku salah....” ucapnya berulang-ulang membuat rasa penasaranku buncah. “Kenapa, Bu? Bu Kalista, ada apa?” tanyaku penasaran dilingkari rasa takut yang membuat dadaku berdebar hebat! Aku cemas.                                                                                 “Usttt...” ucapnya seraya menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Bu Kalista kembali menatap telapak tanganku. “Vanessa Oby,” Bu Kalista mengucapkan nama lengkapku. “Ada apa, Bu? Apa yang akan terjadi?” tanyaku masih panik dengan debaran di d**a yang semakin cepat. Aku tampak bodoh dan konyol. Kalau ada Molly di sini, dia pasti tertawa terbahak-bahak. Aku menghela napas panjang mencoba menenangkan diri untuk sesaat. Aku pasrah. Apa pun yang akan dikatakan Bu Kalista akan aku dengarkan. “Kamu akan menemukan seseorang yang kamu cari. Akan tetapi, di sisi lain kamu akan kehilangan seseorang yang kamu cintai. Sayang aku tidak bisa melihat akhir dari  ramalanku ini. Semuanya gelap. Itu pertanda buruk!” Mata Bu Kalista menyipit ngeri. Kata-katanya terdengar menakutkan. “Kamu bisa kehilangan semuanya. Maka dari itu, bibirku mengucap doa semoga ramalanku salah.” Jantungku seperti mencelus keluar mendengar perkataannya. “Apa yang harus aku lakukan, Bu Kalista?” Sebenarnya ketakutan ini lebih kepada nada suaranya yang mengerikan seperti raungan serigala. “Takdirmu sudah tertulis. Tuhan yang menentukan segala-galanya. Seberapa besar usaha kita pun kalau Tuhan menghendaki itu terjadi. Maka itu akan terjadi, Vanessa. Satu lagi, aku merasa ada sesuatu yang ganjil saat aku menggenggam tanganmu. Aku tidak bisa memasuki kedalaman tanganmu, Vanessa. Ada kekuatan aneh yang menghalangiku menemukan sesuatu yang ganjil itu.” “....” *** Seminggu kemudian...                                              Aku menghela napas untuk kesekian kali. Amel sedang menata rambutku dengan sisir berwarna emas menyala. Malam ini ada acara pesta dansa yang rutin diadakan tiap tahun di Gedung Aula Kesenian. Sebenarnya aku tidak mau ikut di acara yang tidak penting. Di pesta dansa selalu diwajibkan membawa pasangan. Boleh pacar ataupun sekadar teman dekat. Boleh juga pacar sewaan. Dan aku tidak memiliki pasangan atau semacamnya. Pesta dansa sialan! Ini hanya jebakan untuk mereka yang tidak memiliki pacar sepertiku. Kelimpungan mencari pasangan dadakan hanya untuk satu malam. “Aku tidak mau ikut, Mel. Kalian saja.” seruku menggoyang-goyangkan tubuh agar tatanan rambutku rusak. Amel tidak menggubris ucapanku. Dia sangat serius menata rambutku. Amel  sudah siap 30 menit yang lalu. Gaun hitam yang panjangnya jatuh tepat di atas lutut membuat Amel tampak langsing dan elegan. Sedangkan Molly, sibuk mencatok rambutnya agar lurus sempurna, memakai gaun bermotif polkadot dengan tambahan long dress berwarna merah muda yang terbuat dari renda. Sejujurnya menurutku style Molly ramai. Tapi itulah gaya dan seleranya. Kami bertiga sudah bersahabat sejak kami resmi menjadi penghuni asrama di lantai tiga. Satu lagi sahabat kami, namanya Daniel. Molly adalah pecinta film Bollywood. Film India yang paling  sering ia tonton adalah film yang aktornya Sharukkhan. Bahkan Molly hafal semua adegan-adegan film Kal Ho Naa Ho. Molly tahu di menit keberapa Pretty Zinta menikah dan di menit keberapa lagu Maahi Ve diputar. Alasannya menyukai film Kal Ho Naa Ho, menurut Molly film itu mengisahkan tentang sebuah pengorbanan. Pengorbanan cinta tepatnya. Walaupun Molly pecinta film Bollywood, ia sangat mengidolakan Lee Min Ho. Dua sisi yang bertolak belakang bukan? Alasannya mengidolakan Lee Min Ho, hmm... karena dia tampan. Sedangkan Sahrukkhan terlalu tua untuk diidolakan olehnya. Alasan yang menurutku sedikit aneh. Umur Molly masih 19 tahun. Dia juga penyuka anime Jepang. Selalu bergaya gothic. Meski sering disemprot Miss Alya karena penampilannya. Amelia Kansesa. Cewek ini... tergila-gila dengan kerajaan Inggris. Ia pengaggum Lady Diana. Dia juga sangat menyukai Pangeran Harry. Semua anggota keluarga kerajaan disukainya. Impiannya adalah menikah dengan Pangeran Harry. Impian yang cukup mustahil Mengingat Amel adalah mahasiswi Arkeologi yang tinggal di Indonesia dan bukan keturunan darah biru. Darahnya merah. Darah biasa. Tidak bisa dipungkiri, Amel memiliki wajah yang cantik. Lebih cantik dari aku dan Molly. Oh ya, dia selalu berusaha berpenampilan seperti Kate Middleton yang anggun dan elegan. Daniel. Berwajah oriental dengan rambut berponi ala Nobita. Tidak lupa kacamata klasik yang berbentuk bulat sempurna. Benar-benar mirip Nobita. Terkadang suka bertindak aneh dan impulsif. Dibandingkan kedua sahabatku, aku hanya cewek biasa dengan berbagai kekurangan. Tidak secantik Amel ataupun sekeren Molly. Tapi aku adalah tipe orang yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi juga daya imajinasi yang tinggi pula. “Van, tenang saja. Kita sudah menyiapkan seorang cowok untuk kamu, kok. Kamu bakal berdansa dengan dia. Ganteng lho, orangnya.” sahut Molly renyah. Serenyah tempe goreng. Kemudian wajahnya kembali tertunduk, sibuk dengan catokan rambutnya. “Siapa? Daniel?” tanyaku sinis. Daniel selalu mengaku sebagai reinkarnasi dari idolanya, Bruce Lee. Namun bentuk wajahnya  mirip Nobita. Dengan bentuk kacamata yang bulat dan rambut berponi menegaskan kalau ia adalah reinkarnasi dari Nobita. Hanya saja bentuk tubuhnya lebih mirip Giant (Jaian). “Heiii... Daniel sudah aku booking.” Tandas Amel. “Tidak ada cowok lagi sahabat pun diembat.” ujar Molly lalu terkekeh. “Aku baru saja putus dari Arman masa langsung gandeng cowok baru, nanti dipikir cewek gampangan lagi sama Arman. Kalau Daniel, kan, dia tahu aku tidak mungkin sama Daniel.” Amel membela diri. “Yaelah sudah tahun 2017, Mel. Move on dong! Kalau kamu berpasangan dengan Daniel nanti dipikirnya kamu tidak laku, lho. Mungkin juga Arman bakal berpendapat kalau kamu tidak bisa lepas dari dia.” Tandas Molly membuat Amel membeku sesaat. Tangannya diam, tidak bergerak di atas kepalaku. “Kamu sama siapa, Mol?” tanyaku melirik Molly. “Dion,” jawabnya santai. Dion? Cowok itu? Cowok sok dan ugal-ugalan itu. Cowok yang pernah merubah kelas Arkeologi menjadi ruangan komunitas pecinta binatang melata. Mataku membelalak terkejut. “Kamu sama Dion?” kataku masih tidak percaya. “Iya, Non Vanessa. Kenapa?” Molly menoleh ke arahku dengan tenang. “Dion itu nakal Molly. Image-nya negatif seantreo khatulistiwa. Aku yakin kalau bukan karena orang tuanya sebagai donatur terbesar di kampus kita, sudah dari dulu dia dikeluarkan dari kampus.” kataku berapi-api. Takut kalau image negatif dari Dion menular ke Molly, layaknya virus. “Dion itu temanku. Tenang saja aku tidak akan jatuh cinta sama dia. Kakekku bilang, berteman itu boleh dengan siapa saja, Van, sama mafia sekalipun tidak ada masalah. Asal kita tahu batasannya saja.” ujarnya bijak. Meletakan catokan di atas meja lalu menyisir rambutnya. Kakek? Ehmm, aku jadi ingat kakekku. Sudah lama juga aku tidak bertemu dengan Kakek. Terakhir melihatnya saat aku kelas dua SMP. Aku memang sedikit malas bertemu dengan kakek. Alasannya... kakekku itu aneh. Dia sangat penyendiri. Dan anehnya Kakek sering mengataiku Penyihir! Berkali-kali aku harus mengatakan kalau aku ini cucunya bukan  Penyihir. Tetap saja Kakek selalu menyebutku Penyihir dengan raut wajah penuh ketakutan sampai ayahku meyakinkan Kakek bahwa aku ini cucunya. Cucu yang ia beri nama Vanessa Oby. Kalau ayahku yang berbicara barulah Kakek mengakuiku sebagai cucunya. Ya, mungkin karena faktor usia, sebegitunya Kakek melupakan cucunya. Menyedihkan. “Lagian Dion tidak seburuk yang kamu lihat kok. Kalau kamu sudah kenal dia, pasti kamu tidak akan berbicara seperti itu.” Lanjut Molly, membuyarkan bayanganku tentang Kakek. “Memang dia buruk! Bisanya Cuma melanggar aturan saja, Ya kan, Mel.” Kataku mencari pembelaan dari Amel. “Tidak,” sahutnya datar, membuat aku tersentak. “Aku pernah bertemu Dion kok. Ngobrol juga sama dia. Dion baik dan asyik kok, Van.” jawabannya membuat aku kesal. “Pada belain Dion sih!” gerutuku sebal. “Makanya kalau ada Dion coba deh ngobrol. Pasti ketagihan ngobrol sama dia.” Molly meraih sisirnya yang bergigi jarang kemudian meluncur ke kaca rias. “Ketagihan? Memangnya mengobrol dengan Dion itu seperti ekstasi ya?” tanyaku meledek. Suara ketukan terdengar dari arah jendela. Pasti itu Daniel. Daniel memang agak aneh. Dia suka sekali main ke asrama putri khususnya kamar kami. Dia lebih sering bergaul dengan aku, Amelia dan Molly dibandingkan teman cowoknya. Daniel tipe orang yang fleksibel, bisa suka sama cewek dan cowok. “Daniel,” kata Molly setengah berbisik membuka jendela. Daniel nyengir. “Aku lagi proses diet. Makanya aku sering banget datang ke sini.” Jelasnya seraya mengusap keringat yang memenuhi pelipisnya. Asrama putri terdiri dari tiga lantai dan kamar kami ada di lantai paling atas. Daniel menggunakan tangga untuk naik ke atas. Salah satu hal konyol yang selalu ia lakukan. Penyebab ia berkeringat. “Aduh badan kamu tuh gendut. Penuh dengan lemak. Susah buat kurusnya.” Celoteh Molly mencubit pinggang Daniel yang penuh gelambir. Aku dan Amel tertawa mendengarnya. “Bentar lagi juga kita ke aula.” tukas Amel. Daniel mengusap keringatnya dengan tisu yang disodorkan Molly. Kemudian Molly bergegas memakai sepatu yang terbuat dari kulit sapi berhak sepuluh senti. Amel masih berkutat dengan rambutku. Entah dibuat apa rambutku ini. Sebelumnya aku sudah menceritakan tentang mimpiku itu. Dan tentang peramalan dari Ibu Kalista yang menakutkan pada Amelia, Molly dan Daniel. Mereka hanya menasehatiku kalau mimpi hanya bunga tidur. Mimpi tidak bermakna apa-apa. Ramalan Bu Kalista itu lebih sering melesat. “Bagaimana kalau ramalan Bu Kalista benar terjadi?” tanyaku tak terkendali. Sumpah. Aku bermaksud untuk melupakan mimpi dan ramalan Bu Kalista. Tapi, aku tidak bisa melupakan mimpi ataupun ramalan Bu Kalista begitu saja. Meski aku tahu ini adalah konyol dan kekanak-kanakan. “Bu Kalista itu hanya menakut-nakutimu saja, Van. Ramalannya sering melesat. Bu Kalista hanya terobsesi untuk jadi peramal hebat.” Elak Molly. “Bentar deh, mimpi kamu tuh tentang teman SD kamu, kan?” tanya Daniel. “Iya. Di mimpi itu wajah teman SD Vanessa yang bernama Aray muncul. Tersenyum kepada Vanessa dan Vanessa meleleh seperti es, lalu dia mengingat kembali cinta pertamanya yang—” kata Molly dramatis. “Iya, dan Molly seorang drama queen!” potongku cepat, melirik Molly tajam. “Van, tujuan dari mimpi adalah untuk membersihkan kekacauan dalam pikiran. Sepertinya pikiran kamu memang lagi kacau ya?” Molly menatapku aneh, aku masih menatapnya tajam. ***      

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

The Perfect You (Indonesia)

read
290.2K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
91.0K
bc

Marry The Devil Doctor (Indonesia)

read
1.2M
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.5K
bc

His Secret : LTP S3

read
651.3K
bc

Mrs. Rivera

read
45.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook