Encounter
POV Iqbal
Prologue
Aku tak paham arti debaran di d**a ini. Di dekatnya, hatiku menjadi berbunga, senyumku merekah begitu saja, seolah masih ada harapan untuk bahagia. Gadis itu membawa embun sejuk di permukaan hatiku yang lama gersang. Apakah aku jatuh cinta?
Namun, bagaimana dengan sumpah yang telah terucap? Sumpah yang terpaku mati di dasar jiwa, bahwa aku tak akan pernah jatuh cinta lagi. —Bahwa aku tak akan pernah lagi membawa seseorang untuk terpuruk bersamaku ke dalam duka memilukan ini.
Ya Tuhan, mengapa dia harus datang? Mengapa pertemuan dengannya harus digariskan? Haruskah sumpah yang telah terpaku mati itu kucabut paksa?
***
Bab 1: Encounter
Langit malam ini berwarna hitam kelam, tidak ada bulan separuh seperti malam sebelumnya, pun bintang gemintang. Hampa.
Gerombolan penghias malam tersebut bersembunyi malu di balik awan. Hujan tengah mengguyur bumi pertiwi, tidak begitu deras, tapi cukup untuk membuat para pengendara sepeda motor memilih berhenti dan berteduh. Juga membuat para pejalan kaki berlari-lari kecil melindungi kepala dengan tangan, walaupun nyatanya tiada berguna.
Jangan heran, memang beginilah penduduk negeri ini. Sudah jelas hanya ada dua musim —hujan dan kemarau— tetap saja enggan untuk sekadar menyiapkan mantel plastik penghalang air membasahi badan di musim hujan.
Entah mengapa, seringkali orang-orang terpaku pada satu harapan tak mendasar. Sudah jelas langit gelap, masih saja berharap,"Ah, semoga saja di jalan nanti tidak hujan."
Aku menatap sayu dari balik kaca jendela yang berembun, cahaya lampu-lampu jalan tempias di antara rintik-rintik hujan yang menebal sesaat, lalu kembali tipis, tak menentu.
Jika diperhatikan dengan seksama, dalam suasana hati yang tenang, mood yang on point tentu saja, kerlap-kerlipnya tetap terlihat indah. Bahkan boleh dibilang sangat indah, cahaya berwarna-warni seolah menari terbawa angin.
Seperti kata orang bijak, "Keindahan ada di mana-mana, tinggal bagaimana cara kalian menemukannya."
Sayangnya, suasana hati manusia tidak selalu sama. Ketika perasaan gundah melanda, jangankan hujan gerimis, hari yang cerah dengan langit biru pun tidak akan menolong. Tetap saja yang tercipta hanya gerutu dan keluh kesah. Mengapa begini, mengapa begitu.
Sudut mataku menangkap dua orang muda-mudi berlari-lari kecil menuju gerobak penjual sate di pinggir jalan Ade Irma Suryani, romantis sekali. Yang laki-laki bersusah-susah melindungi kepala wanitanya dengan jaket, tak peduli punggungnya sendiri sudah kuyup. Mereka sama-sama tersenyum saat beradu pandang, mesra betul, sebelum kemudian menyebutkan pesanan.
Asap mengepul di antara milyaran rintik-rintik yang tak dapat dihentikan itu, melanglang buana, lalu hilang di atas sana.
Sepasang muda-mudi lainnya tertawa cekikikan, tak bisa kudengar, tapi aku yakin dengan apa yang terlihat dari sini. Laki-lakinya memainkan air yang mengalir turun dari kanopi, sesuai harapan, disambut rengekan manja sang kekasih.
Aaahhh, kuhela napas berat. Seketika hatiku kesal begitu saja. Tidak, aku bukannya sedang iri dengan pasangan-pasangan di luar sana. Tidak sedang mendengki dengan umbaran kemesraan mereka.
Hanya saja, apa mereka lupa?
Lupakah, kalau saat ini sedang berada di depan sebuah bangunan yang mayoritas diisi oleh orang-orang sakit, orang-orang yang sedang berjuang sembuh. Mungkin terlalu kasar jika kusebut berjuang menghindari kematian, lagipula sejatinya kematian itu tidak terhindarkan, bukan?
Namun, nyatanya demikian, saat keluar —diizinkan pulang— meninggalkan bangunan megah ini, memang hanya ada dua kemungkinan. Sembuh atau mati.
Muda-mudi itu masih saja tertawa, tangan mereka bergandengan mesra. Menyambung kisah indah yang sedang mereka ukir bersama.
Namun, malam ini pemandangan itu memudar, berganti dengan kisah lain yang menyeruak memenuhi pikiranku. Tidak hanya sekadar kisah romansa yang acap kali dihiasi keindahan, tapi juga lika-liku perjalanan hidup yang sarat akan haru-biru perjuangan.
Inilah kisahku.
Seorang pemuda tanggung di awal duapuluhan. Darah setampuk pinang dan umur setahun jagung. Emosi yang masih labil, belum sepenuhnya dewasa, tapi sudah dihadapkan dengan pahitnya kenyataan.
Takdir yang tersurat, semesta yang tak memihak, atau hukuman atas kesalahan kedua orangtuaku? Entahlah.
Tar! Tar! Tar! Petir menggelegar bersama hujan yang turun deras sempurna. Kaca jendela bergetar. Sontak, entah mengapa kenangan-kenangan pahit itu kembali. Menyeruak begitu saja tanpa dapat kukendalikan. Aroma pilunya kentara.
"Iqbal, tante mohon, tolong lepaskan Tiara. Tinggalkan dia."
Kata-kata tante Mona waktu itu terngiang di telingaku. Sudah berbulan-bulan lalu, tapi gemuruh di d**a kala mendengar lontaran kalimat dari mulutnya masih terasa, sama kagetnya ketika mendengar suara petir barusan, bahkan lebih.
"T-tapi kenapa, Tante? Kami saling menyayangi, kami sudah punya janji-janji masa depan, rencana-rencana yang ...." Bibirku gemetar, tak sanggup melanjutkan kalimat.
"Iqbal. Tiara itu dari kecil sudah hidup susah. Kalau sekarang harus ikut hidup susah lagi bersamamu, kasihan dia. Maaf, kalau tante nyinggung perasaan kamu, tapi harusnya kamu sadar dengan kondisimu sendiri. Kamu tak akan mungkin bisa membahagikan Tiara." Tante Mona terlihat menggigit ujung bibir, menyesal akan kata-katanya.
Aku paham, tak ada orangtua yang ingin anaknya hidup susah, apalagi di posisi tante Mona, di mana Tiara adalah anak semata wayangnya. Anak gadis satu-satunya yang akan menjadi penerus keluarga. Di samping itu, aku juga paham akan kondisi diri ini, jangankan untuk menjamin kebahagiaan orang lain, bagaimana kondisi badan esok hari saja, aku tak dapat pastikan. Dengan dua jarum yang ada di tanganku ini, jujur saja, aku tak yakin minggu depan masih bertahan hidup. Bukan pesimis, hanya realistis.
"Iya Tant ...." Aku menggigit bibir, menelan tangis ke dalam, teringat kata mediang ibuku, seorang laki-laki tak boleh meneteskan air mata di hadapan manusia lain, apalagi seorang wanita.
Itu sama saja dengan menjatuhkan harga diri seorang laki-laki. Seorang laki-laki sejati hanya menangis tatkala bersimpuh di hadapan Tuhannya.
Tante Mona awalnya adalah orang yang paling mendukung hubungan kami. Apalagi setelah tahu bahwa aku mendapatkan beasiswa penuh ke salah satu PTN ternama. Mungkin, ia melihat masa depan anaknya akan cukup cerah jika bersamaku.
Namun, semesta terkadang punya cara yang unik untuk membuat kita terpana, Tuhan punya rencana lain, kondisi berubah seratus delapan puluh derajat, sekarang kondisinya sudah berbeda. Aku bukan lagi Iqbal yang dulu. Karena kenyataan itu pulalah Tante Mona berubah. Dari yang awalnya paling mendukung, menjadi begitu menentang.
Tekadku sudah bulat, semuanya benar-benar kuakhiri saat itu juga ketika sadar gelagat Tiara juga sama sekali tidak ingin mempertahankan hubungan ini. Ia diam saja, seolah setuju dengan perkataan ibunya. Dia tidak salah, hanya aku yang terlalu bodoh dan naif.
Bodohnya aku, terlalu percaya akan yang namanya cinta tanpa syarat. Unconditional love, kata mereka. Omong kosong!
Sebulan kemudian aku menemukan foto pernikahan Tiara yang diposting di sosial media. Dia tertawa di sana, dia bahagia. Syukurlah, setidaknya, aku tak perlu menyesali keputusan itu ketika melihat ia tidak bahagia, apalagi menderita.
Tar! Tar! Tar! Petir menyambar lagi, semakin ganas.
Lamunanku buyar seketika saat Dokter Zia yang sedang bertugas datang mendekat. "Gimana Iqbal? Aman?" tanyanya sambil mengecek mesin yang berkedip-kedip di sampingku.
"Aman, Dok."
"Tekanan darah kamu stabil. Cuci darahnya selesai satu setengah jam lagi ya. Tidur aja biar gak terlalu pusing, jangan ngelamun."
"Siap." Aku tersenyum sebelum akhirnya petugas berpakaian serba putih itu menjauh kembali ke nurse station, menemui perawat-perawat lainnya.
Dua selang yang melekat di tangan kiriku terus bekerja. Mengeluarkan darah kotor menuju mesin, berputar-putar di sana melalui selang transparan, masuk ke sebuah tabung penyaringan, melewati bubble trap, lalu mengembalikan darah tersebut ke tubuhku saat sudah bersih. Inilah proses Hemodialisis.
Mataku tak bisa tertidur, walau rasa pusing mulai menyerang.
Metatap gelembung-gelembung aneh yang terlihat memperburuk bentuk tanganku ini membuatku sadar akan sesuatu.
Aku sedang berada di dasar paling bawah perjuangan terberat kehidupan. Seumur hidup akan terus begini. Berjuang bertahan hidup dengan mesin cuci darah dua kali seminggu. Mana mungkin aku membawa seseorang untuk menderita bersamaku.
Yang benar saja, lagi pula, siapa yang mau?
Kalaupun ada seseorang yang mungkin mau karena rasa cintanya padaku, orangtuanya bagaimana? Orangtua mana yang mau anak gadisnya berjodoh dengan laki-laki penyakitan seperti aku?
Sudah tepat keputusanku untuk memilih sendiri. Mulai malam ini aku bersumpah, tak ada kata cinta lagi dalam kamusku.