"Baiklah, antarkan aku ke sana."
Yeti bergegas bangun dari tempat duduknya. Lalu dia berjalan masuk ke kamar. Menyisir rambutnya sambil memperhatikan pakaiannya. Pantaskah aku mencari mas Fendy dengan mengenakan pakaian begini? Kenapa tidak? Bukankah kesederhanaan adalah cermin kepribadian yang baik?
Maka Yeti berjalan meninggalkan kamar itu.
Rambutnya yang tergerai sebatas bahu telah rapi disisir. Tanpa dipoles dengan bedak, wajahnya sudah memancarkan pesona. Cantik dan anggun.
Tanpa memakai lipstik, bibirnya sudah merah
delima. Senantiasa basah dan manis kalau
tersenyum.
"Mbok Naaah!" panggil Yeti.
Seorang pembantu rumah setengah baya ter-
bungkuk-bungkuk menghampirinya.
"Ya, Nyonya."
"Aku pergi dulu ya. Mbok. Jaga Dino dan Ria
baik-baik."
Ginah mengangguk.
Yeti dan Nita segera meninggalkan ruang tamu.
Dino dan Ria berlari menghampiri mamanya yang hendak pergi.
"Mama mau ke mana?" tanya Ria.
"Mau pergi sama tante Nita. Dino dan Ria di
rumah saja ya?"
"Ikut. Ikut." rengek kedua anak itu.
"Mama pergi cuma sebentar kok. Di rumah ya?" bujuk Yeti sambil mengusap-usap rambut kedua anaknya itu.
"Sungguh lho, mama pergi tidak lama,"kata Dino.
"Sungguh. Sana main lagi."
Kedua anak itu berlari ke taman seraya bercanda. Yeti dan Nita meneruskan langkahnya ke luar dari halaman rumah.
Matahari yang bersinar terik terasa menyengat kulit. Di trotoar pinggir jalan mereka berdiri menunggu taxi. Angin yang berhembus mengurai rambut Yeti.
"Kalau memang mas Fendy ada di sana, apa yang akan mbak Yeti lakukan?" tanya Nita kepingin tahu reaksi Yeti.
"Aku cuma ingin tahu apakah mas Fendy benar ada di sana. Kalau memang ada ya sudah. Aku
khawatir, sebab sewaktu mas Fendy pergi dalam
keadaan sakit. Dia berpamitan cuma mau membeli obat ke apotik."
Nita manggut-manggut. Sementara di dalam
hatinya berkata lain. Seandainya aku yang jadi
kamu, tidak akan memberi kesempatan pada suami untuk bisa berbuat sebebas itu. Apalagi sampai bermain serong dengan perempuan lain. Ah, mbak Yeti memang seorang istri yang sabar dan penuh pengertian. Tak mungkin aku bisa seperti dia.
Taxi yang meluncur berhenti di depan mereka. Yeti dan Nita bergegas naik dan duduk di jok belakang. Angin yang berhembus menerpa
wajah Yeti ketika mobil itu bergerak meluncur dari jendela yang terbuka kacanya.
"Utan Kayu, Bang." Nita menyuruh sopir taxi itu. Sopir itu mengangguk sambil melirik di kaca
spion.
Yang duduk di jok belakang itu mempunyai paras cantik-cantik. Dan yang satu sering dilihatnya ikut main film. Memang, Nita sering ikut main film sebagai figuran.
Taxi itu terus meluncur di Jalan Pramuka.
Kendaraan yang ada di jalan raya macet. Yeti dan Nita merasakan seperti di dalam oven. Keringat mengucur membasahi mukanya. Rupanya rambu lalu lintas mati, sehingga menyebabkan lalu-lintas jadi macet.
Kemudian Yeti menghela napas lega ketika
taxi yang ditumpangi sudah meluncur di jalan Utan Kayu.
"Kau tidak lupa rumahnya?" tanya Yeti.
"Tidak. Rumahnya tidak jauh dari apotik. Stop. Stop, Bang." Nita menyuruh sopir taxi itu
menghentikan mobilnya di dekat apotik. Sopir itu
menginjak rem dan mobil berhenti.
"Mana rumahnya?"
"Itu yang pagar besinya berwarna hitam," kata Nita sambil menunjuk ke sebuah rumah yang
cukup mentereng.
"Tapi mobil mas Fendy tidak kelihatan ada di situ. Berarti mas Fendy tidak ada." Yeti
memperhatikan keadaan rumah itu. Tenang dan
sepi. Tidak nampak adanya tanda-tanda kalau
suaminya ada di situ. Sebab tak ada mobil
suaminya.
"Sebaiknya kita turun dan bertanya kepada
penghuni rumah itu, Mbak. Siapa tahu mas Fendy sedang pergi dengan Dewi."
"Ah, tidak usah. Aku tidak biasa melakukan begitu."
"Jadi bagaimana, Mbak?"
"Kita pulang saja."
"Yaaah, sia-sia dong. Mbak."
"Tak apa-apa. Aku yakin mas Fendy tidak ada
di situ."
"Tapi Mbak kan perlu informasi, apakah benar mas Fendy kemarin sore datang ke situ."
"Aku rasa jangan sekarang. Biar aku tunggu
sampai nanti malam, kalau memang mas Fendy
belum pulang, apa boleh buat. Kita bisa datang lagi kemari."
"Terserah kalau Mbak maunya begitu."
"Ayo, Bang. Antarkan kami kembali ke Cempaka Putih."
Sopir taxi itu meluncurkan mobilnya lagi.
Sementara Yeti menghela napas berat. Selama
menjalani hidup berumah tangga dengan Fendy,
baru kali ini dia mencari suaminya. Padahal sudah sembilan tahun mereka hidup berumah tangga dengan dasar saling mempercayai. Saling pengertian. Baginya tak ada keresahan dan prasangka selama suaminya seringkali tidur di luar rumah. Tidur di mana saja. Yang penting saling menjaga keutuhan rumah tangga dan tetap saling menyayangi.
Tapi untuk kali ini, apakah harus dimulai dengan prasangka? Rasa kepercayaan terhadap suaminya mulai berangsur kurang?
Ah, tidak. Aku tidak boleh berubah secuilpun. Aku harus tetap seperti sediakala dengan adanya kekurangan dalam diriku.
Pembicaraan dalam diri Yeti terhenti. Taxi yang mereka tumpangi juga berhenti. Berhenti di
depan rumahnya. Dan Yeti bergegas melangkah
turun.
"Mbak Yeti, aku ada keperluan lain. Nanti malam aku kemari lagi," kata Nita yang masih ada di
dalam mobil.
"Tidak turun dulu, Nita?"
"Tidak. Keperluanku penting sekali. Mbak."
"Okey deh. Nanti malam aku tunggu ya?"
Nita mengangguk. Yeti menghempaskan pintu mobil. Lalu dia melambaikan tangan pada saat
taxi itu meluncur pergi.