“Kamu mau ke mana?”
Tristan menautkan alis melihat Dini yang sudah rapi.
Dini memutar bola matanya, “Aku harus ke rumah mertuaku, Tristan. Bulan ini tepat tiga tahun peringatan kematiannya.”
Evan, suami Dini, memang sudah pergi meninggalkan Dini akibat penyakit yang dideritanya. Sebanyak apa pun doa yang dikirimnya pada Tuhan, kondisinya tidak menunjukan kemajuan. Sampai akhirnya Dini dapat mengikhlaskannya dan Evan pun pergi dengan kedamaian.
Dini menghela napas. Tidak, suaminya tidak meninggalkannya. Evan masih setia berada di hatinya. Kenangan tentang lelaki itu tidak akan dengan mudah terhapuskan, walau dengan cara apa pun.
Tristan tahu, di balik senyuman kakaknya, terdapat kesedihan yang teramat mendalam. Astaga, bagaimana ia bisa lupa tentang bulan kepergian Evan?! Mengapa ia harus membuat Dini jadi sedih.[Tata1] [EYS2]
Dengan langkah tertatih, Tristan menghampiri Dini dan mendekapnya. Mengusap punggung wanita itu dengan lembut. “Kalau kamu ingin menangis, keluarkanlah.” Ucapnya tulus.
Dini melepaskan pelukannya, “Tidak. Aku tidak akan menangis. Seperti janjiku pada Evan, juga mertuaku. Air mataku hanya akan membuatnya sedih di sana. Dengan sebuah doa, mungkin Evan akan tahu bahwa aku benar-benar merindukannya. Sangat merindukannya.”
“Kamu tahu Tristan? Kamu beruntung sekali memiliki Seina. Dia selalu ada untukmu, bahkan sebelum kamu menyadari bahwa kamu sedang membutuhkan seseorang. Itulah mengapa aku selalu menyukainya.Tidak mudah untuk mendapatkan orang seperti itu, Tristan.”
Dini mendongak menatap Tristan dan tersenyum menangkup wajah adiknya, “Kamu satu-satunya yang kupunya. Aku ingin melihatmu bahagia, Tristan.”
Tristan menggenggam tangan Dini yang mengelus lembut wajahnya.
Demi Tuhan ia tidak sanggup melihat Dini tersakiti. Hanya Dini yang ia punya saat ini. Tidak, ia punya Seina bukan? Tristan tidak dapat memungkiri itu, sebetulnya ia juga merasa “sedikit” terhibur dengan kehadiran Seina akhir-akhir ini. Ia harus mulai membuka hati untuk gadis itu. Bagaimana pun juga, Seina adalah tunangannya kan?
Dini mundur beberapa langkah mengambil koper yang ternyata sudah siap. Dengan senyuman yang masih mengembang, Dini menjelaskan tanpa memandang Tristan yang semakin mengerutkan dahi.
“Aku akan tinggal di rumah mertuaku untuk beberapa minggu, Tristan. Aku sudah meminta Seina untuk menemanimu selama aku pergi.”
***
Demi para bapak Panda, Seina benar-benar tidak habis pikir.
Seminggu. Bersama Tristan.
Oh jangan salahkan dirinya bila kisah hidupnya berakhir karena jantungnya yang berhenti berdetak! Bayangkan seminggu hanya berdua dengan lelaki itu. Bagaimana bisa jantungnya berdetak normal bila tinggal satu atap dengan Tristan?! Walaupun hanya seminggu, namun tetap saja! Mengingat wajah tampan itu terlintas saja, jantungnya pasti meronta seperti ingin keluar.
Seina menghela napas menatap pintu kokoh di hadapannya. Dahinya berkerut, menimbang pikiran yang terlintas. Tanpa pikir panjang, segera diketuknya pintu itu dengan lembut. Ah, bukan lembut. Hanya sedikit gugup.
Huh, ia harus dapat mengontrol detak jantungnya!
Berkali-kali pintu itu diketuknya, sampai tangannya sedikit memerah. Huh, apa tidak ada orang? Seina mengeluh pelan. Punggungnya terasa berat membawa ransel berisi perlengkapan yang dibutuhkannya. Duh, ia merasa seperti anak SMP yang ikut serta dalam perkemahan.
Rumah Tristan— Ah, ralat. Rumah orangtua Tristan tepatnya, sangat besar. Seina sempat terkagum-kagum melihat rumah itu dari luar gerbang. Ia tidak salah alamat kan? Sepertinya tidak, karena pesan yang dikirim oleh Dini masih tersimpan. Lalu, mengapa tidak ada orang yang membukakan pintu?! Ugh, ingin sekali Seina berteriak, tapi ia mengurungkan niatnya.
Tidak sengaja sudut matanya menangkap tombol bel yang menggantung di sisi pintu. Mungkin dengan menekan itu seseorang yang berada di dalam akan membukakan pintu?
Seina berjinjit meraih tombol itu, namun usahanya sia-sia. Terlalu tinggi. Ugh, ia harus melompat-lompat seperti anak kecil yang ingin merebut bonekanya dari kakaknya yang tinggi menjulang. Seina menggerutu beberapa kali, sampai akhirnya…
BRUK!
“Aww! Aduh duh duh, pantatku—”
Seina memejamkan matanya menahan sakit. Tangannya mengusap bokongnya yang mencium lantai. Duh, semoga saja tidak ada yang melihat kejadian memalukan it—
“Kenapa kamu duduk di situ?”
Seina mendongak melihat Tristan sudah di ambang pintu, entah kapan Seina tidak menyadarinya. Astaga, semoga Tristan tidak melihat proses kejadiannya!
“A-ah, i-itu tadi—”
“Masuklah.”
Huh! Seina mengucapkan syukur berkali-kali. Untunglah Tristan tidak menanyakan hal-hal yang semakin membuatnya malu dan terkesan gugup. Aduh, mengapa harus lelaki tampan memikat yang melihatnya dengan kondisi seperti ini? Salah. Mengapa harus ceroboh begini? Pikirannya bergulat. Malu sekali.
“Aku akan menutupnya dalam detik kelima.”
Baru disadarinya, sejak tadi ia melamun. Seina segera bangkit dari posisi yang memalukan itu. Tangan yang mengusap bokongnya yang masih perih terpaksa terhenti melihat tatapan Tristan yang menguncinya. Wajahnya tetap datar seperti saat pertama menyambutnya di ambang pintu.
“I-iya.”
***
“Kamu bisa pakai kamar ini.”
Tristan menyerahkan kunci kamar padanya. Seina menempati kamar tamu yang berada di lantai dasar, sementara Tristan berada di lantai atas.
“Baiklah,” Seina mengangguk ragu.
“Kenapa?” Sebelah alis Tristan terangkat melihat Seina yang tiba-tiba menggelengkan kepala. “Kamu tidak suka?” Tristan terlihat menghela napas, sebelum kemudian ia melanjutkan kalimatnya, “Dini memang menyuruhmu menempati kamarnya yang berada di samping kamarku. Tapi aku tidak akan membiarkan orang lain beristirahat di dekatku. Itu akan membuatku terusik. Jadi nikmatilah, walaupun aku masih belum yakin kalau kita bertunangan, bukankah kita sudah satu atap?” Dengan nada tajam kalimat itu terlontar dengan mulus.
Seina terperangah. Demi Tuhan, apa yang barusan diucapkan lelaki itu? Hatinya seperti teriris ribuan pisau yang telah diasah tajam. Seina menunduk, menyembunyikan wajahnya. Penglihatannya memburam, ia mengerjap-ngerjapkan matanya menghalangi air mata yang akan terjatuh, mendarat mulus di pipinya.
“Aku ke kamar dulu.”
Masih dengan menunduk ia berlalu menjauhi Tristan.
Gadis itu menghilang di balik pintu kamar tamu.
***
Seina menyusul Tristan ke kamarnya setelah ia meletakkan barang-barangnya untuk bertanya apakah Tristan membutuhkan bantuannya. Walaupun perkataan Tristan menyakitinya, tapi ia tetap harus menjalankan permainan ini. Namun, begitu ia sampai di ruang tamu, ia melihat Tristan memegang kepalanya sambil terhuyung. Dengan panik, Seina menahan tubuh Tristan dan membawanya ke arah sofa. Ia kemudia berlari ke arah dapur dan kembali dengan segelas air.
“Ini, minum dulu,” ujarnya sambil menyodorkan gelas.
Tristan menggenggam gelas yang berada di tangannya. Ah bukan, lelaki itu menggenggam tangannya. Menuntun gelas itu untuk diteguknya. Seina buru-buru mengambil tindakan sebelum jantungnya berdegup kencang.
Ia bangkit dari posisinya yang duduk di samping Tristan. Namun pergelangan tangannya ditarik dengan lembut oleh lelaki itu, membuat Seina terkesiap saat ia terduduk di pangkuan Tristan.
Demi Tuhan, apa ini?!
Lelaki itu menyandarkan kepalanya yang masih dibalut dengan perban ke pundaknya. Deru napas lelaki itu menerpa lekukan lehernya. Kamu berhasil Tristan. Berhasil membuatku tidak mengerti jalan pikiranmu itu! Gerutu batinnya.
Tristan mengeluh. Seina memberanikan diri mengangkat tangannya, mengusap lembut kepala Tristan. Sampai dirasakannya Tristan tidak bergerak. Deru napasnya begitu teratur. Seina mengirup dalam aroma yang tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Kedua tangannya memeluknya.
Tristan tertidur dalam rengkuhannya.
***
Tristan membuka matanya perlahan. Rasa nyaman membuatnya tidak ingin mengubah posisi saat ini. Diliriknya Seina yang berada di pangkuannya. Gadis itu tengah tertidur. Wajahnya begitu dekat. Sudut bibirnya tertarik melihat betapa tenangnya gadis itu terlelap dalam posisi seperti itu.
Seingatnya, Tristan-lah yang tertidur dengan posisi menyandarkan kepala di pundak mungil gadis itu, namun entah siapa yang memutar keadaannya hingga Seina tertidur dalam dekapannya. Atau memang kenyamanan yang diberikan gadis itu begitu kuat, sehingga membuatnya tanpa sadar mendekap Seina agar gadis itu tidak pergi?
Jadi, apa maksud dari perasaannya saat ini?!
Tatapannya tidak lepas dari gadis itu. Sungguh, ini adalah pemandangan yang paling menyenangkan. Tristan menghela napas, bila Seina tidak tertidur mungkin gadis itu akan merasakan wajah keduanya yang telah menghapus jarak.
Entah mengapa ia merasa Seina adalah obat penenang yang baru untuknya. Walaupun tanpa disadarinya, Seina merupakan alasan mengapa dengan begitu mudah emosinya memuncak dan surut. Akal sehatnya seakan hancur karena gadis itu.
Ia sedikit menunduk, menyentuh hidung Seina dengan hidungnya. Huh, seandainya ia sudah tidak membutuhkan seseorang untuk membantunya berjalan, mungkin ia akan mengangkat Seina saat itu juga. Menggendongnya dengan sayang, dan menikmati wajah polosnya dalam jarak. Yah, setidaknya itu tidak membuat darahnya berdesir hebat seperti saat ini. Astaga! Sebegitu besarkah pengaruh gadis itu untuknya?
Namun, bukankah karena keadaannyalah yang membuat Seina berada dalam pangkuannya saat ini? Merengkuh gadis itu. Memandangi wajah damainya dalam tidur. Dan tersenyum sendiri?
Kau berhasil Seina. Berhasil membuat akal sehatku tidak berfungsi!
***
Seina mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mengadahkan kepalanya, melihat Tristan yang sedang menatapnya datar.
“Sampai kapan kau akan menghalangiku, hm?”
Pertanyaan itu membuatnya menyadari posisinya saat ini. Astaga, bagaimana ia bisa berada di pangkuan Tristan? Duh, memalukan sekali. Terakhir kali yang dia ingat, lelaki itulah yang menariknya dan membuatnya kebingungan setengah mati.
Tapi, mengapa ia berada dalam rengkuhan lelaki itu? Merasakan sebuah tangan melingkar di perutnya. Kepalanya juga bersandar di d**a lelaki itu. Astaga, mengapa posisi mereka seperti ini?!
Seina melirik tangan kiri Tristan yang terbebas dari perban, kini terlepas dari perutnya. Ada rasa kehilangan saat lengan kokoh itu tidak lagi melingkar.
“Aku menahanmu, agar tidak terjatuh.”
Tristan menjelaskan dengan tatapan datarnya. Kapan seorang Seina dapat mengukir senyuman lembut di wajah tampan lelaki itu? Mendengar penjelasannya tadi, cukup membuktikan bahwa Tristan memang sengaja melakukannya agar ia tidak merosot turun ke bawah.
“Maaf,” ujarnya lembut.
Seina bangun dari posisinya, tidak lupa untuk membantu Tristan yang terlihat masih meringis mendapati kaki kanannya yang belum pulih total.
“Antarkan aku ke kamar.”
“Iya.”
Seina mengangguk, memapah Tristan yang tanpa disadarinya sedang memandangi Seina dengan intens.
Merasa diperhatikan, Seina mendongak menatap Tristan. Pandangan mereka bertemu. Ada perasaan yang tak biasa di dalam diri mereka. Langkah mereka terhenti, namun keduanya tidak saling melepas pandangan. Kedua mata Tristan mengunci pandangan Seina. Sementara kedua mata Seina membuat pikirannya seakan tidak berfungsi.
Tristan berdeham pelan, menyadarkan Seina yang terlihat salah tingkah. Entah mengapa, justru respon gadis itu membuatnya terhibur. Pipinya yang merona membuat Tristan semakin gemas.
Seina kembali memapah Tristan. Dengan hati-hati ia menuntun lelaki itu meniti tangga. Sebanyak apa pun anak tangga, akan dilewatinya dengan senang hati bila bersama dengan lelaki itu. Ugh! Seina merutuki dirinya sendiri akan gurauannya.
Sampai. Ah, Seina bahkan menyesal menuntun Tristan dengan cekatan. Seharusnya ia memperlambat momen itu. Ia berdecak pelan, membuat Tristan menoleh dengan alis bertaut memandangnya. “Kenapa?”
“A-ah, t-tidak.” Seina mengangguk mantap, menutupi kegugupannya. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Kamu sudah lapar? Ingin kubuatkan sesuatu?”
“Terserah saja.”
Seolah tidak peduli, Tristan berlalu masuk ke dalam kamarnya. Seina masih menunggu di ambang pintu.
“Kamu ingin aku buatkan apa? Bagaimana kalau krim sup asparagus?” tanyanya dengan senyuman mengembang melihat Tristan yang menatapnya dengan alis terangkat.
Sesuai harapannya. Ingin sekali ia menjawab, “Buatlah. Aku ingin melahap semuanya.” Namun, alih-alih ia malah bertanya kembali, seakan meragukan kemampuan Seina dalam hal memasak. Bukan apa-apa, bahkan restorannya saja belum menyediakan krim sup, apalagi dengan campuran asparagus.
“Kamu bisa membuatnya?” Dahinya mengernyit, ragu.
Seina tersenyum, “Tentu. Biar kubuatkan ya.” Dengan senyuman mengembang gadis itu berlalu.
Seina tertawa? Walaupun sangat pelan, tawanya itu sanggup membuat Tristan membeku. Demi Tuhan, ia menyukai tawa manisnya itu.
***
Tristan memandangi semangkuk krim sup di hadapannya.
“Hanya satu?” Tristan mengenyitkan dahi menatap Seina yang tengah bertopang dagu memandanginya.
Tertangkap basah. Seina buru-buru mengubah posisinya. Dilemparkannya senyum, memamerkan deretan giginya, menutupi kegugupan yang melandanya. Ia menggeleng samar menjawab pertanyaan Tristan. Memang, ia hanya membuat semangkuk. Dan itu spesial.
Khusus untuk Tristan.
“Aku sudah kenyang.” Lanjutnya meyakinkan Tristan.
Namun dahi lelaki itu malah semakin berkerut dalam, “Kamu bahkan belum memakan apa pun.” Balasnya tegas.
“Sudah kok. Aku sudah mengganjal perut dengan roti yang ku bawa.” Seina tersenyum.
Lagi-lagi ia berbohong. Tidak, bukan karena ia kehabisan bahan, hanya saja hari ini ia sedikit lelah. Namun mengingat sup yang dibuatnya untuk Tristan, rasa lelah itu terluapkan seketika. Huh, tapi tetap saja badannya terasa pegal.
Mengingat tentang kebohongan kecilnya soal roti yang ia bawa. Huh, tidak pernah terpikirkan sama sekali untuk membawa benda lain selain pakaiannya. Seina bahkan lupa untuk membawa beberapa novel yang dipinjamnya dari perpustakaan itu. Sepertinya ia harus kembali ke apartemen itu dan mengembalikan novelnya. Sudah lewat tanggal pengembalian seharusnya.
Seina menghela napas. Ia merindukan aroma perpustakaan itu.
***
“Kamu melamun, hm?”
Seina terkesiap melihat Tristan yang sedang memandanginya heran.
“Ah, ehm… memangnya kamu bilang apa tadi?”
Tristan mendengus kesal. Itu artinya Seina tidak menghiraukannya? Tidak mendengarkan komentarnya yang bahkan jarang sekali dilontarkan untuk para koki dan cheff di restorannya.
Bagus. Seina tidak mendengarkan pujian yang diberikannya.
“Ng… bagaimana rasanya?” Seina mentap Tristan dengan mata melebar dan berbinar. Membuatnya gemas!
Astaga, mengapa harus bertanya dengan wajah seperti itu?! Tristan menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Memalingkan wajah, kembali memandangi krim sup asparagus yang… hm, enak?
“Para pegawaiku membuatnya lebih enak dari pada ini,” tukasnya tajam. Jujur saja, ia paling tidak suka pembicaraannya diabaikan. Ia sedikit kesal dengan gadis itu.
Tristan dapat melihat Seina dari sudut matanya. Gadis itu tersenyum? Apa-apaan dia! Tidak seharusnya bersikap seperti itu. Seharusnya Seina marah atau bahkan memakinya. Namun yang dilakukan gadis itu hanya tersenyum seraya mengangguk paham, walaupun ada sirat kekecewaan di kedua matanya.
“Aku memang tidak bisa memasak.”
Tidak Seina, kamu hebat.
“Aku tidak bisa membuat makanan yang ku buat menjadi spesial.”
Kamu bahkan dapat membuatku memujimu, andai kamu mendengarkanku tadi.
“Tapi terima kasih, kamu sudah menghabiskannya.”
Seina tersenyum ke arahnya. Baru ia sadari, krim sup itu telah habis dilahapnya. Bahkan Tristan ingin meminta lebih. Andaikan ia tidak memberi komentar tajam untuk Seina, mungkin akan dengan mudahnya ia meminta Seina untuk membuatkannya kembali.
“Oh iya, sepertinya aku akan pergi sebentar. Aku akan kembali sekitar dua jam.” Perkataannya mampu membuat Tristan menoleh.
“Pergi?”
“Ya.”
“Ke mana?”
“Ke perpustakaan. Aku ingin mengembalikan buku, sekalian meminjam sih.” Seina terkekeh geli, entah apa yang ditertawakannya.
Tristan mengangguk. Ia bangkit dari duduknya sambil berjalan dengan tertatih. Seina langsung menghampirinya, memegangi lengan lelaki itu dan menuntunnya. Entah mengapa reaksi gadis itu membuat Tristan diam-diam tersenyum hangat, namun gadis itu tidak menyadarinya.
“Jangan terlalu lama.” Aku akan merindukanmu.
Seina tersenyum manis. Tentu saja bukan karena kalimat terakhir yang disambungnya dalam hati, namun karena gadis itu memang selalu tersenyum.
“Janji.” Seina mengangguk seraya melepaskan pegangannya.
Saat itu juga, Tristan ingin menariknya kembali.
[Tata1]El, kalau ini diubah menjadi seperti ini gimana? Biar ada jeda dan gak terlalu dekat kematian Evan. Juga biar nantinya akan menjadi masuk akal kalau DIni jatuh cinta lagi karena jeda kepergian suaminya sudah cukup lama.
[EYS2]Okay mbak.