06 | Call it "Love"

1035 Kata
Seina menekan kartu keamanan apartemen dan masuk ke dalam, dengan langkah panjang ia segera mencari beberapa buku yang dipinjamnya. Seina mengeluh. Mengapa jarak apartemen itu begitu jauh dengan rumah Tristan maupun gedung perpustakaan! Belum apa-apa ia sudah merasa lelah. Mungkin ada baiknya bila ia istirahat sebentar saja? Menghilangkan lelah di tubuhnya saat ini. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk yang tersedia. Huh, sangat nyaman. Jauh beda dengan kasur yang berada di rumah panti, namun walau begitu tetap saja ia merindukan tempat tidur yang selalu setia menemaninya itu. Ia merindukan Bunda dan anak-anak panti. Seina menekan sederet nomor yang telah dihapalnya di luar kepala. “Hallo?” “Hai, Jimmy.” Sapanya sambil tersenyum. “KAK SEINA?” Pekik anak lelaki di seberang. Sungguh, Seina merindukan tawa mereka. Terdengar samar dari seberang semua anak-anak memperebutkan telepon dalam genggaman Jimmy. Oh, sebegitu besarkah rasa rindu mereka terhadapmu Seina? batinnya. Ia ingin kembali. Seina tertawa kecil mendengar perdebatan yang terdengar. “Hallo, Seina? Apa kabarmu, Nak?” Suara lembut yang selalu ia rindukan terdengar begitu bahagia. Ugh, pandangannya mulai kabur dengan air mata yang menumpuk di pelupuk matanya. “Baik Bunda. Bunda apa kabar? Sehat? Bagaimana dengan anak-anak, Bun?”  Suaranya bergetar. Ingin sekali ia pergi melihat mereka. Memeluk Bunda. Namun apa daya, ia tidak boleh gegabah. Seina bukanlah seseorang yang pandai berpura-pura. Ia takut kebohongannya akan terbongkar, dan membuat mereka semua menjadi sedih atau bahkan kecewa karena kecerobohannya yang berakibat fatal. “Bunda sehat, Nak. Anak-anak begitu merindukan kakaknya. Kapan kamu pulang, Sayang? Bunda ingin memelukmu.” Aku juga Bunda. Aku juga! Pekik batinnya. “Aku belum tahu, Bunda. Pekerjaanku sedang sangat padat dan aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini.” Tidak. Tentu aku berbohong. Maafkan aku Bunda. Seina mengerjap-ngerjapkan matanya, menahan agar tangisnya tidak tumpah. “Ya sudah, bila kamu ada waktu mampirlah, Sein. Bunda tidak akan memaksamu. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat, Sayang. Kami merindukanmu.” “Aku juga merindukan kalian,” Ia tersenyum getir. “Kami sangat menyayangimu, Sein.” “Seina lebih menyayangi kalian.” Ia memutuskan sambungannya. Sudah, ia sudah tidak kuat. Mendengar nada lembut Bunda, juga bagaimana reaksi anak-anak saat Jimmy menyebutkan namanya, membuat Seina semakin merasa bersalah. Tangisnya pun pecah. ***   Tristan menutup telepon setengah kesal. Ia berulang kali mencoba menghubungi Seina namun tidak pernah diangkat. Lidahnya berdecak kesal sambil melihat ke arah jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Ke mana Seina. Perasaannya bercampur aduk antara khawatir dan kesal. Belum lagi ditambah dengan ejekan Dini ketika ia meminta nomor telepon Seina. Ia sempat bertanya kenapa tidak ada nomor Seina di kontak ponselnya. Namun, Dini memberikan alasan ponsel Seina rusak saat kecelakaan, sehingga ia harus mengganti nomor dan ponselnya. Tok… tok… tok… Pandangannya beralih pada pintu besar, ia mendengus. Siapa lagi kalau bukan Seina? Mengingat gadis itu tidak dapat menekan bel yang letaknya begitu tinggi dari jangkauannya. Tristan sempat mengintip dari jendela dan sudut bibirnya tanpa sadar tertarik melihat usaha gadis itu melompat-lompat dengan kesal untuk menggapai bel rumahnya. Tristan sempat panik ketika Seina tiba-tiba terjatuh dalam usahanya itu. Ia cepat-cepat membuka pintu dan menemukan Seina sudah kembali berdiri, tapi ada yang aneh dengan wajahnya. Matanya sedikit membengkak dengan hidung yang merah. Apa yang membuat gadis ini menangis. Tristan ingin sekali merengkuh Seina dan menenangkannya. Namun, yang keluar malah kalimat tajam. “Sudah berapa jam kamu pergi, hm?” Seina mendongak, membuka mulut mungilnya sebelum akhirnya tertutup kembali. Seperti ada sesuatu hal yang ingin dikatakan gadis itu, namun diurungkannya. Tristan menautkan alisnya. “A-aku—” “Masuk,” perintah Tristan. “Ada apa?”[Tata1] [EYS2]  “Aduh!” Ia mengusap keningnya yang membentur punggung Tristan. Untuk apa lelaki itu berhenti mendadak seperti itu? Apa yang ditanyakannya barusan? “Eh, kamu bilang apa?” Tristan menghela napas, “Kamu. Ada apa denganmu?” Ujarnya dengan nada sedikit melembut. “Eh, hm tidak. A-aku hanya… ng, tidak apa-apa, Tristan.” Seina melemparkan senyum menutupi kegugupannya. “Kamu memerlukan bantuanku, ya?” Selalu, Seina. Selalu. Untuk setiap detiknya, aku memerlukanmu. Tristan terkekeh, “Pertanyaanmu itu seperti seorang pelayan.” Pandangannya melembut menatap Seina yang memandanginya… Heran? “Istirahatlah. Kamu terlihat sedikit kacau,” ujarnya berlalu meninggalkan Seina yang hanya berdiri mematung. ***   Sekelebat bayangan muncul. Seseorang yang mengenakan sweater merah dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya menyeberangi jalan dengan langkah pendek dan begitu lamban. Ia mencoba menghindarinya. Ia membanting kemudi mobil, menghindari orang itu. Dentuman yang begitu keras, membuat segalanya terasa berakhir dengan begitu mudah. Ia hanya dapat berharap semuanya akan baik-baik saja, sebelum akhirnya ia menutup mata dan semuanya terasa hilang… Tristan membelalakan matanya, mengatur napasnya yang menderu tak beraturan. Ia mendengus kesal, merasakan peluh yang membasahi keningnya. Lagi-lagi, mengapa ia harus bermimpi sesuatu hal yang tidak jelas seperti itu?! Ia melirik jam dinding yang menempel pada sisi kamarnya dan bangkit dari kasurnya. Sepertinya ia membutuhkan cairan untuk mengilangkan dahaga di tenggorokannya. Dengan sedikit tertatih ia berjalan ke arah pintu. Bagaimana ia bisa lupa bahwa dirinya berada di lantai atas? Itu artinya ia harus melewati anak-anak tangga untuk sampai ke dapur dan mengambil minuman. Perlahan ia meniti tangga dengan penuh hati-hati. Tangan kirinya yang terbebas dari perban dan tongkat, berpegangan erat pada penyangga. Tristan menghela napas begitu kakinya memijak lantai dasar Di ruang tamu, tidak sengaja sudut matanya menangkap sosok gadis itu. Seina tengah terlelap dengan meringkuk di atas sofa. Hah, apa yang dilakukan gadis itu? Benar-benar merepotkan! Melihat gadis itu tertidur dengan lelap, Tristan tidak tega membangunkannya dan menyuruhnya pindah. Namun, ia juga tidak mungkin mengangkat Seina dan membawanya ke kamarnya. Tristan menghampiri Seina, membungkuk mengamati wajah polosnya. Begitu dekat, seakan tidak ingin melewati setiap inci wajah gadis itu, deru napasnya menerpa wajah Seina, membuat beberapa helaian rambutnya bergerak. Hal terbodoh yang pernah dilakukannya adalah berpura-pura tidak peduli akan sosok gadis itu padahal ia begitu menginginkannya. Tristan tersenyum kecil memandanginya. Ah… ia bisa terbiasa dengan pemandangan ini. Diciumnya puncak hidung gadis itu dengan sayang. Bahkan sampai saat ini, ia belum mengetahui pasti apa perasaannya. Satu hal yang ia tahu, ia takut kehilangan Seina.  [Tata1]El, ini siapa yang nanya ya? Agak bingung di bagian sini.  [EYS2]Eh iya, lupa di edit ini pas posting ke w*****d juga hihi. Ini Tristan yang ngomong mbak
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN