Seina berjalan tergesa-gesa, mencari keberadaan lelaki itu. Sudah dicarinya ke seluruh sudut rumah besar yang nyaris menguras tenaganya, seraya memanggil nama lelaki itu, namun Tristan tidak ada di mana pun! Ia mengirim pesan kepada Dini, menanyakan keberadaan Tristan. Namun sudah 15 menit berlalu, tidak ada balasan darinya.
Seina mendengus, menyentuh dahinya yang telah dipenuhi peluh. Ia berjalan ke arah dapur, mengambil segelas air untuk melepas dahaga, namun kegiatannya terhenti begitu sudut matanya menangkap sebuah memo yang menempel pada pintu kulkas.
Jangan mencariku. Aku akan kembali.
Seina menghela napas panjang. Huh, selalu seperti itu. Membuat Seina khawatir dan hampir berbuat konyol karena mencemaskannya. Diam-diam ia tersenyum membaca kalimat itu. Tulisan tangan yang begitu rapi untuk seorang laki-laki.
“Aku menunggumu,” gumamnya lirih.
Seina tersenyum, melipat memo itu menjadi beberapa lipatan dan menyimpannya di saku celananya.
Mungkinkah Tristan mengetahui bahwa Seina begitu mengkhawatirkannya? Semoga. Bukankah ini adalah pertanda baik? Ya, Seina menginginkan itu. Seina berharap, Tristan akan membalas perasaannya. Tidak peduli dengan kebohongan, ia ingin bersama lelaki itu seutuhnya. Apa terlalu egois?
***
Tristan memandangi ke luar jendela mobil dengan tatapan kosong.
Ia kembali mengingat gadis yang ditemuinya di restorannya tadi. Senyum gadis itu. Bukan. Bukan senyuman tulus ataupun ramah, melainkan senyum kepuasan saat melihat dirinya. Namun tak dapat dipungkiri, ia merasa begitu merindukan senyuman itu.
Tristan merasa mengenal gadis itu. Ada perasaan aneh ketika melihat gadis itu. Perasaan yang sama yang ia mulai rasakan untuk Seina. Namun, siapa gadis itu? Mungkin mereka pernah bertemu, atau mungkin gadis itu adalah mantan kekasihnya? Ah, entahlah, yang ia tahu sekarang ia bertunangan dengan Seina, atau setidaknya itu menurut Dini. Tapi, ia tidak bisa memungkiri kepak lembut sayap kupu-kupu di perutnya yang mulai muncul ketika memikirkan atau berdekatan dengan Seina.
Tristan tersenyum mengingatnya. Tiba-tiba, iamerindukan Seina. Sepertinya ia harus kembali ke rumah dan menunda pekerjaannya kembali.
“Putar arah. Kita kembali ke rumah.” Tukasnya pada supir pribadinya, langsung mendapat anggukan hormat.
“Baik Pak.”
***
“Siapa yang melihatnya datang ke sini?!”
Dini menatap para pegawai restoran milik adiknya dengan tatapan mengintimidasi.
Seorang pelayan lelaki mengacungkan tangannya. “Saya sudah melarangnya, Bu. Tapi Pak Tristan datang lebih awal lalu mempersilahkan mereka masuk.”
Dini berdecak. Ia mengumpat beberapa kali untuk gadis tidak tahu diri itu. Mengapa harus kembali muncul di hadapan Tristan?! Belum cukupkah selama ini menyakiti perasaan adiknya itu?
“Kalian yang mengundang Tristan? Mengapa tidak bilang saja bahwa aku yang mengurusi semuanya untuk restoran ini selama keadaannya kembali pulih!”
Percuma saja. Dini tahu, Tristan bukan seseorang yang mudah diatur. Apalagi bila yang mengingatkannya adalah bawahannya sendiri.
“Tidak, Bu. Pak Tristan sendiri yang datang, itu pun tanpa sepengetahuan kami. Kami juga sangat terkejut dengan kedatangannya. Maka dari itu, kami tidak mempunyai alasan untuk melarangnya.”
“Untuk apa dia ke sini?” Dini memijat tulang hidungnya.
Seorang chef mulai angkat bicara, “Menurut Pak Tristan, ia hanya ingin memastikan restoran ini tetap berjalan sempurna, sesuai keinginannya, Bu.”
Dini mendengus kesal, “Kalian tahu, aku tidak mungkin merubah konsepnya yang rumit itu! Lalu bagaimana tanggapannya?”
“Pak Tristan puas sekali dengan bantuan yang Ibu Dini berikan untuk restoran ini.” Seorang pelayan wanita melemparkan senyuman.
“Baiklah. Jangan sungkan untuk mengabariku bila gadis itu datang kembali! Mengerti?” Tukasnya.
Mereka mengangguk patuh.
Dini mengambil ponsel dalam tas jinjingnya, mengirim sebuah pesan untuk Seina.
Kamu tenang saja. Mungkin ia akan kembali sebentar lagi.
Huh, ia semakin berharap dalam waktu dekat ini Seina akan mengubah perasaan Tristan. Ia berharap Seina memiliki hati Tristan seutuhnya. Ia akan mendukungnya, walaupun tidak mungkin ia paksakan. Seina bukan gadis seperti itu.
***
Seina menghempaskan bokongnya di atas kursi bar di dapur rumah Tristan. Ia meraih cangkir yang berada di hadapannya. Menghirup aromanya dalam-dalam, merasakan uap hangat yang mengurai dari cangkir tersebut menerpa wajahnya. Baru ia akan menyesap teh manis hangat buatannya, pintu rumah itu terbuka dan menampakkan sosok Tristan. Kedua mata mereka sempat bertemu, namun hanya Seina yang tersenyum, sementara Tristan menatapnya datar.
“Aku mencarimu tadi.”
“Aku kan sudah tinggalkan pesan.” jelas Tristan. Lelaki itu berjalan ke arahnya dengan langkah yang mulai membaik, “Kamu hanya membuat satu?” Sebelah alisnya terangkat.
“Huh?” Seina mengernyit, namun sedetik kemudian ia mengangguk paham. “Ini untukmu saja.” Ia menyerahkan cangkir itu kepada Tristan. Lelaki itu menggeleng pelan, terukir senyuman samar di bibirnya. Ah, tidak. Tristan hanya ingin menggodanya saja.
“Ini, makanlah.” Tristan memberikan kantung plastik berlogo restoran miliknya. “Aku sengaja membawakannya, aku yakin kamu belum makan sampai aku pulang. Dasar merepotkan!”
Seina sedikit mengerucutkan bibir. Jujur saja, Tristan ingin sekali menyentil hidungnya yang menggemaskan itu.
“Hm, sebenarnya aku memang belum makan. Tapi aku tidak nafsu makan.” Seina menghela napas. Walaupun ia sedang duduk di atas bangku yang cukup tinggi, namun ia tetap mendongak melihat Tristan.
“Jangan melamun,” Tristan menyadarkannya Seina yang sedang duduk termenung. “Ini. Minumlah.”
Tristan memberikan segelas air dan sebuah tablet. “Kamu punya maag, bukan? Kurasa ada baiknya jika menuruti saranku, sebelum kamu dilarikan ke rumah sakit.”
“Tidak separah itu,” Seina mengelak.
“Seina, lubang sekecil apa pun kalau tidak ditutupi akan semakin membesar,” jelas Tristan.
Tanpa membantah lagi, Seina menelan tablet itu. Sudut bibir Tristan tertarik melihat gadis itu. Astaga, ia benci berpura-pura tidak peduli seperti ini. Padahal hatinya bergemuruh begitu mengetahui Seina mempunyai sakit maag. Memang hal kecil yang wajar, namun tetap saja… Ah, entahlah. Ia merasa harus mengurangi rasa tak acuhnya pada gadis itu, sehingga bila terjadi sesuatu pada Seina, gadis itu tidak akan segan-segan untuk menjelaskan padanya.
“Tunggu 30 menit. Setelah itu, habiskan makananmu.”
***
“Kamu harus berhati-hati padanya, Sein. Oh, astaga! Aku harap kamu akan membantuku untuk membuat Tristan tidak mengingat gadis itu kembali!” Dini memijat pelipisnya, “Kamu harus membuat Tristan mencintaimu, Seina.”
“Tenanglah, Dini. Ada apa sebenarnya? Gadis itu? Siapa yang kamu maksud?”
Seina mengernyitkan dahinya menatap Dini yang begitu gelisah. Begitu masuk rumah, Dini langsung memonopoli Seina dengan alasan urusan “perempuan”. Lelaki itu sempat menggerutu kesal.
“Teressa.”
Seina memiringkan kepalanya, “Siapa itu?” Nada polosnya membuat Dini semakin tidak enak hati jika harus menjerumuskan Seina ke dalam masalahnya. Ah, bukan hanya masalahnya. Namun, masalah adiknya. Tentu saja, Dini tidak akan tinggal diam!
“Apa kamu ingat gadis yang pernah memakimu di depan umum, padahal kamu tidak sengaja menyenggolnya?”
Seina menerawang. Ah, iya. Gadis cantik itu. Gadis itu mempunyai mata kucing yang indah. Rambut kemerahan yang bergelombang. Kaki jenjang dan kulit putih mulus yang menggoda. Siapa pun tidak akan meragukan kecantikannya.
Tunggu, lalu apa hubungannya dengan Dini, atau mungkin… Tristan?
“Maksudmu, gadis yang menegurku waktu itu bernama Teressa?”
Dini tertawa sarkastik mendengar pertanyaan Seina, “Itu bukan teguran, Seina. Dia memakimu! Di depan semua orang. Seharusnya kamu tidak menganggap dia orang baik.” Ucap Dini gemas.
Bagaimana mungkin Dini mampu menjerumuskan gadis polos seperti Seina ini?! Oh, semoga Tuhan tidak menghukumnya. Tapi, Dini harus melakukannya untuk Tristan. Teressa. Gadis itu tidak pantas untuk adiknya!
“Oh, Seina. Aku hanya tidak ingin kalian terluka. Bukankah kamu mencintai Tristan?”
Seina mengangguk samar. “Ya. Tapi belum tentu Tristan merasakan hal yang sama. Percuma saja Dini, bila kamu menghasutku untuk—Hei, tunggu! Dari mana kamu tahu perasaanku?” Seina mengetuk kecil dagunya yang berkerut samar.
“Dari mana? Dari mana kamu tanya?” Dini mendengus, “Aku melihat bagaimana caramu menatap Tristan. Matamu begitu berbinar seakan kau diberi sebuah permen termanis darinya. Kamu pun rela menjaga dan merawatnya tanpa iming-iming ap—“ lidahnya lantas terhenti sejenak. “Ah, iya benar. Karena perjanjian kita, tentu saja. Tapi bukankah kamu melupakan perjanjian itu seperti halnya diriku?
“Kamu tahu, aku tidak peduli lagi tentang perjanjian konyol itu. Tentu saja aku tidak akan menjebloskanmu ke penjara. Kamu tidak salah, walaupun hanya sedikit bertindak bodoh saat itu. Lagi pula kamu telah banyak membantu, sampai sekarang, sampai adikku benar-benar terlihat pulih.”
“Lalu?” Seina memiringkan kepalanya.
“Lalu apa?” Alis wanita itu terangkat.
“Apa hubungan semua ini dengan Teressa?” tanya Seina lagi.
Dini menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. “Teressa adalah masa lalu yang buruk untuk Tristan. Kamu tahu Seina? Gadis itu hanya memanfaatkannya saja, tidak benar-benar tulus mencintainya. Kamu tahu? Teressa yang saat itu masih menjadi kekasihnya bahkan tidak terkejut dan segera ke rumah sakit untuk sekadar melihat Tristan. Dia tidak mau repot-repot menjaga dan merawat Tristan seperti halnya yang kamu lakukan. Dia malah mencari lelaki lain dan berkencan.
“Tristan tidak pernah percaya perkataanku mengenai Teressa. Tristan benar-benar mencintai Teressa dengan tulus. Namun sayangnya, gadis itu tidak memiliki perasaan yang sama. Teressa hanya mencintai jabatan Tristan juga harta kami!” lanjutnya mendesis.
“Mulai sekarang, kamu harus mengawasi Tristan. Jangan sampai mereka bertemu. Kamu tidak mau Tristan mengetahui semuanya dan pergi darimu kan?” ucap Dini mengakhiri penjelasannya.
Seina hanya bisa tertegun mendengar kata-kata Dini.